Tidak semua cinta datang dua kali. Tapi kadang, Tuhan menghadirkan seseorang yang begitu mirip, untuk menyembuhkan yang pernah patah.
Qilla, seorang gadis ceria yang dulu memiliki kehidupan bahagia bersama suaminya, Brian—lelaki yang dicintainya sepenuh hati. Namun kebahagiaan itu sekejap hilang saat kecelakaan tragis menimpa mereka berdua. Brian meninggal dunia, sementara Qilla jatuh koma dalam waktu yang sangat lama.
Saat akhirnya Qilla terbangun, ia tidak lagi mengingat siapa pun. Bahkan, ia tak mengenali siapa dirinya. Delvan, sang abang sepupu yang selalu ada untuknya, mencoba berbagai cara untuk mengembalikan ingatannya. Termasuk menjodohkan Qilla dengan pria bernama Bryan—lelaki yang wajah dan sikapnya sangat mirip dengan mendiang Brian.
Tapi bisakah cinta tumbuh dari sosok yang hanya mirip? Dan mungkinkah Qilla membuka hatinya untuk cinta yang baru, meski bayangan masa lalunya belum benar-benar pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lesyah_Aldebaran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Sebelas
Setelah makan malam selesai, Brian memanggil pelayan dan menyelesaikan pembayaran dengan gerakan yang tenang dan berwibawa, seperti biasanya. Setelah itu, Brian berdiri dan mengulurkan tangannya ke Qilla, memberikan isyarat untuk beranjak pergi bersama.
"Let's go home, my lovely wife," ucap Brian, sambil tersenyum hangat yang langsung membuat jantung Qilla berdebar. "You're the one who makes my world complete, my forever love," tambahnya, dengan suara rendah dan berat.
Qilla berdiri dari duduknya, lalu tanpa ragu mencubit pinggang Brian pelan. Wajahnya memerah menahan malu. Bagaimana tidak-tiga pelayan masih berdiri tak jauh dari mereka. Qilla bahkan bisa melihat salah satu dari mereka menunduk canggung, sementara dua lainnya sibuk mengalihkan pandangan, pura-pura tak melihat momen intim tuan dan nyonya mereka.
Brian dengan cepat menangkap tangan istrinya yang masih mencubitnya. Pria itu menarik tubuh Qilla pelan, membuat pinggang gadis itu kini hanya berjarak sejengkal dari dadanya.
"Why are you pinching me, sweetheart?" bisik Brian sambil menatap mata Qilla dalam-dalam, matanya memancarkan kehangatan yang hanya dimiliki oleh seorang suami pada istrinya.
Qilla ikut menatap suaminya dengan kesal yang tertahan. Ugh, this man! batinnya. Ingin rasanya Qilla meninju wajah Brian sekarang juga-bagaimana bisa seorang pria selalu berhasil membuatnya salah tingkah hanya dengan satu kalimat dan tatapan penuh pesona?
"I'm embarrassed, okay? They're still standing there," bisik Qilla pelan sambil melirik ke arah pelayan.
Brian terkekeh ringan. "Let them see how much I love you," ucapnya tenang, lalu dengan lembut mencium punggung tangan Qilla.
Qilla menunduk, mencoba menutupi wajahnya yang semakin merah. This is so unfair, pikirnya. Karena entah mengapa, setiap kali Brian berbicara begitu... dia selalu kalah.
Ketiga pelayan itu hanya bisa berdiri terpaku, menyaksikan kemesraan Brian dan Qilla yang benar-benar bikin iri. Wajah mereka memerah, bukan karena panas, tapi karena menahan rasa gemas yang nyaris meledak. Saking gemasnya, salah satu dari mereka sampai mimisan!
"Duh Tuhan... suami kayak gitu nyarinya di mana sih? Cipa juga mau, tolong kabulkan doaku," batin Cipa, salah satu dari pelayan itu sambil menatap tak berkedip.
"Ya Allah, nggak kuat. Ini romantisnya kelewatan. Perempuan itu benar-benar beruntung punya suami kayak dia," batin pelayan yang berdiri di tengah, sambil memegang dadanya sendiri yang deg-degan.
"Sumpah, gemas banget. Ada yang punya karung? Aku bawa pulang mereka berdua sekalian, plis!" batin pelayan yang ketiga setengah frustasi.
Brian dan Qilla akhirnya melangkah keluar dari restoran, disambut udara malam yang mulai mendingin. Angin sepoi-sepoi berhembus, membuat Qilla merapat ke sisi Brian. Gadis itu melingkarkan tangannya erat di lengan sang suami, mencari kehangatan dari tubuh pria yang paling dia cintai.
Brian menoleh pelan, menatap Qilla dengan sorot mata yang penuh cinta. Pria itu kemudian mengecup lembut ubun-ubun istrinya-hangat, penuh ketulusan. Sentuhan kecil itu membuat Qilla tersenyum, hatinya menghangat, seolah dunia malam itu hanya milik mereka berdua.
Ketika mereka tiba di mobil, Brian dengan sigap membukakan pintu untuk Qilla. Sikap sopan dan perhatian itu selalu membuat hati Qilla hangat dan terasa spesial.
Begitu mereka duduk di dalam mobil dan mobil mulai melaju, Brian membuka percakapan dengan suara yang hangat dan tenang.
"Sayang, mas punya permintaan untuk kamu. Jangan bolos sekolah lagi, oke? Kamu bilang ingin menjadi dokter, tapi kalau kamu bolos terus, bagaimana kamu bisa mencapai impianmu itu?"
Qilla memasang wajah cemberut, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Brian dengan gerakan yang manja. "Ugh, aku pasti bisa kok jadi dokter tanpa harus sekolah," katanya dengan nada yang sedikit mengeluh, namun tetap menunjukkan kepercayaan dirinya.
Brian hanya tertawa pelan, namun tidak membalas perkataan Qilla. Sebagai gantinya, tangannya bergerak sebentar untuk mengelus kepala Qilla dengan lembut, menunjukkan kasih sayang dan pengertian.
Perjalanan pulang mereka berlalu dalam keheningan yang nyaman, hanya diterangi oleh cahaya lembut dari lampu-lampu jalan menyinari jalanan seperti menghiasi malam dengan bintang-bintang kecil. Di dalam mobil, udara hangat, membuat mereka berdua merasa nyaman dan rileks.
Rasa kantuk mulai menguasai Qilla, kelopak matanya terasa berat. Sebelum gadis itu benar-benar tertidur, dia berbisik pelan dengan suara yang lembut dan mengantuk. "Terima kasih ya, mas, udah selalu sabar sama aku."
Brian menoleh sebentar, senyum hangat menghiasi wajah Brian saat dia meraih tangan Qilla dan menggenggamnya erat. "Mas yang seharusnya berterima kasih, karena memiliki istri seperti kamu, yang cantik, penyayang, lucu, dan manja," bisiknya dengan suara yang hangat dan penuh perasaan. "Tidurlah, sayang. Mas akan membangunkan mu saat kita sudah tiba di rumah," tambahnya dengan lembut.
Dengan anggukan kecil, Qilla menyerah pada rasa kantuknya dan terlelap dengan damai, tangannya tetap menggenggam tangan suaminya yang hangat dan nyaman.
Sesampainya di rumah, Brian menurunkan kecepatan mobilnya saat gerbang utama mulai terbuka perlahan. Deretan lampu tembaga berdesain klasik menyala hangat di sepanjang pagar tinggi yang megah, menyambut kedatangannya seperti biasa.
Pandangan Brian langsung tertuju pada istana megah yang berdiri megah di hadapannya. Arsitektur Eropa bergaya klasik-modern dengan pilar-pilar tinggi, atap berlapis kilau emas, dan detail ukiran yang tampak mewah di setiap sudut bangunan menciptakan aura kemewahan tak tertandingi. Di tengah halaman, air mancur besar menari dengan cahaya biru yang berpendar, menambah kesan elegan pada suasana malam itu.
Mobil Brian melaju perlahan melewati jalan utama beraspal batu yang dibingkai rumput hijau sempurna, hingga akhirnya berhenti tepat di depan tangga marmer istana itu.
Brian mematikan mesin mobil, pria itu membiarkan dirinya menikmati pemandangan indah wajah Qilla yang tertidur lelap di sebelahnya. Napas Qilla yang teratur dan wajahnya yang damai, seperti anak kecil yang lelah setelah seharian bermain, membuat senyum bahagia muncul di wajah Brian. Pria itu menatap Qilla dengan penuh kasih sayang, merasa bersyukur memiliki istri seperti dia.
Brian keluar dari mobil dengan perlahan, lalu berjalan mengelilingi kap hingga ke sisi Qilla. Dengan gerakan hati-hati, Brian membuka pintu mobil lalu menyelipkan salah satu tangannya ke belakang punggung dan lutut istrinya, mengangkat tubuh mungil istrinya itu dalam pelukannya dengan lembut dan penuh kasih sayang.
Dalam tidurnya, Qilla mengerang pelan, tapi tetap terlelap dengan nyenyak. Brian membawanya masuk ke dalam rumah.
Brian melangkah masuk ke dalam lift yang ada di rumahnya, sebuah fasilitas yang pria itu sediakan khusus untuk kenyamanan istrinya agar Qilla tidak perlu kelelahan menaiki tangga.
Setelah pintu lift terbuka di lantai dua, Brian melangkah keluar dari lift menuju kamar dengan langkah yang tenang, membawa Qilla yang masih tertidur lelap. Begitu sampai di kamar, Brian membaringkan Qilla perlahan di atas ranjang, menarik selimut untuk menyelimuti tubuh Qilla hingga dada. dengan senyum lembut, Brian duduk di samping Qilla, memandangi wajah istrinya yang cantik dan tenang dalam tidurnya.
"Meski sedang tidur, kamu tetap terlihat sangat cantik, sayang," bisik Brian, matanya tak lepas dari wajah Qilla yang damai. Tangannya terulur lembut, mengusap pelan rambut Qilla, menunjukkan cintanya yang mendalam.
Brian mendekat perlahan, menatap wajah istrinya yang terlihat begitu damai. Dengan penuh kelembutan, Brian mencium kening Qilla, lalu menurunkan ciumannya ke pipi sang istri. Pandangannya jatuh pada bibir Qilla yang mungil dan berwarna pink alami, sedikit terbuka karena napas yang tenang. Perlahan, Brian menunduk dan menyentuh bibirnya ke bibir istrinya. Brian sedikit melumat bibir Qilla yang begitu manis.
Qilla menggeliat kecil dan membuka matanya perlahan. Pandangan pertamanya adalah wajah suaminya yang sangat dekat, mata mereka bertemu dalam tatapan yang hangat dan penuh cinta.
"Mas?" gumam Qilla pelan, suaranya masih berat khas orang baru bangun tidur dan mencoba memproses apa yang terjadi.
Alih-alih menjawab Brian justru kembali mencium bibir istrinya, tapi kali ini lebih dalam. Membuat jantung Qilla berdebar kencang. Tubuh Brian bergerak pelan dalam posisi misionaris, Brian menatap dalam mata Qilla, napas mereka saling membaur.
Qilla memukul pelan dada Brian, bukan karena marah, melainkan karena malu dan gugup. "Berat tau... turun dulu, ah," bisiknya dengan suara manja, sementara pipinya sudah memerah seperti tomat matang.
Brian menarik wajahnya perlahan, namun tetap mempertahankan posisinya di atas Qilla. Senyum miring terlukis di bibir Brian.
"This punishment for your behavior dear," bisiknya dengan suara rendah namun mengalun lembut seperti aliran listrik yang menjalar halus menelusuri setiap inci tubuh Qilla.
"Sudah lama aku menunggu hukuman darimu, mas," ucap Qilla dengan senyum menggoda, jari-jarinya perlahan mengelus dada suaminya.
"You are so wild hm," bisik Brian sambil mengusap lembut pipi Qilla dengan ujung jarinya. Sentuhannya perlahan turun ke leher, di mana ia mengecupnya dengan penuh kasih.
Qilla menggigit bibirnya, berusaha menahan desahan kecil saat sentuhan Brian membakar perlahan kulitnya. Bibir pria itu menjelajahi dengan lembut, sesekali meninggalkan jejak manis di beberapa tempat.
"Ah..." Qilla mengerang pelan, tubuhnya sedikit bergetar saat Brian meninggalkan satu tanda merah muda di lehernya. Setetes air mata menetes, entah karena perasaan campur aduk yang Qilla rasakan-rasa cinta, rindu, dan hangat yang mengikat.
Brian tersenyum tampan saat melihat jejak kemerahan yang ditinggalkannya di kulit Qilla, lalu mengecupnya perlahan seolah menenangkan. Brian menatap wajah istrinya dengan penuh kasih.
Salah satu tangan Brian mengusap lembut pipi istrinya, menghapus air mata yang masih mengalir.
"Sakit, sayang?" tanya Brian dengan nada lembut.
Qilla hanya menggeleng pelan, tanpa kata. Matanya terpejam, tubuhnya gemetar ketika merasakan tangan Brian perlahan menyusuri pahanya.
Gadis itu menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan gejolak dalam dirinya saat sentuhan itu menyentuh area sensitifnya membuat jantungnya berdetak tak beraturan.
"Ugh… m-mas, jangan nakal," bisiknya, nyaris tak terdengar. Wajahnya memerah, tatapannya menghindar malu, namun jemarinya justru menarik pelan kerah kemeja suaminya.
"Bukannya kamu sendiri yang mulai nakal, hm? Sampai-sampai mas harus memberimu sedikit pelajaran khusus."
Rona merah membakar pipinya. Namun saat Brian menyentuh lembut tengkuknya dan menariknya mendekat, semua keraguan lenyap, tergantikan oleh hangatnya ciuman penuh cinta yang mereka bagi.
Ciuman mereka semakin panas. Brian membisikkan kalimat-kalimat kecil di antara lumatan lembutnya, membuat tubuh Qilla gemetar. Brian membalik tubuh Qilla perlahan, menatapnya penuh hasrat dan cinta.
"Ah..." Qilla berusaha menahan gejolak dalam dirinya, menggigit bibir bawahnya untuk meredam desahan yang nyaris lolos. Tapi sentuhan Brian terlalu dalam, terlalu menggetarkan, membuat jantungnya berdebar hebat.
Melihat itu, Brian menatapnya lembut. Tangannya menyentuh pipi Qilla, ibu jarinya mengusap pelan bibir istrinya yang mulai memerah.
"Jangan gigit bibirmu, sayang. Biarkan semua rasa itu mengalir. Jangan ditahan—nanti bibirmu bisa terluka."
"Uhmm." Brian baru saja memasukan salah satu jarinya kedalam lubang Qilla yang masih sempit.
Oke, mari kita tinggalkan sejenak adegan suami-istri yang penuh cinta itu.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Jujur, menulis bagian ini membuat saya cukup ragu dan hati-hati. Harap bijak dalam membaca, dan jangan lupa istigfar ya.