Adriella menjalani hidup penuh luka dalam balutan kemewahan yang semu. Di rumah milik mendiang ibunya, ia hanya dianggap pembantu oleh ayah tiri dan ibu tirinya. Sementara itu, adik kandungnya yang sakit menjadi satu-satunya alasan ia bertahan.
Demi menyelamatkan adiknya, Adriella butuh satu hal, warisan yang hanya bisa dicairkan jika ia menikah.
Putus asa, ia menikahi pria asing yang baru saja ia temui: Zehan, seorang pekerja konstruksi yang ternyata menyimpan rahasia besar.
"Ini pasti pernikahan paling sepi di dunia,” gumam Zehan.
Adriella menoleh pelan. “Dan paling sunyi.”
Pernikahan mereka hanyalah sandiwara. Namun waktu, luka, dan kebersamaan menumbuhkan benih cinta yang tak pernah mereka rencanakan.
Saat kebenaran terungkap dan cinta diuji, masihkah hati memilih untuk bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Volis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Pengiriman
Jam menunjukkan pukul tujuh malam saat Zehan pulang ke rumah. Saat berjalan melewati ruang makan, Zehan menoleh sekilas. Di meja makan panjang itu, ia melihat Bastian duduk di kursi utama, bersama Rika di sisi kanan dan Bara di sampingnya, sementara itu Alessia duduk di sebelah kiri berhadapan dengan Rila, masing-masing tengah menikmati makan malam.
Namun tidak ada Adriella. Zehan bingung, biasanya kalau dia pulang jam segini Adriella juga ada di sana.
Zehan kembali menatap ke depan dan melanjutkan langkahnya menuju tangga. Ia menaikinya perlahan, menyusuri koridor lantai dua yang sunyi hingga ke ruangan paling sudut, kamar yang ia dan Adriella tempati bersama.
Zehan membuka pintu pelan.
Adriella tertidur di atas meja kerja, kepalanya bersandar di lengan kanan, sementara tangan kirinya masih menggenggam pulpen yang menempel di tepi selembar sketsa. Di hadapannya, laptop masih menyala, menampilkan halaman laporan produksi dan catatan-catatan kecil yang ia ketik sebelum tertidur. Kertas-kertas berserakan di meja, sebagian menumpuk, sebagian jatuh ke lantai.
Zehan melangkah pelan mendekat, memandangi wajah istrinya yang tampak letih.
“Pasti kamu capek banget, sampai ketiduran kayak gini,” gumamnya pelan.
Ia menyentuh bahu Adriella dengan lembut. “Adri, bangun sebentar. Makan dulu, ya.”
Adriella menggeliat pelan dan membuka matanya. Ia berkedip beberapa kali, menyesuaikan diri dengan cahaya lampu.
“Kamu sudah pulang?” suaranya parau.
“Baru saja,” jawab Zehan lembut. “Ayo, makan dulu. Nanti kamu bisa tidur lagi.”
Adriella menatap sekeliling dan menghela napas. “Baiklah. Tapi kita makan bareng, ya? Kamu mandi dulu, aku beresin ini sebentar.”
Zehan tersenyum kecil, lalu mengangguk. “Oke. Aku akan mandi cepat, nanti kamu keburu ketiduran lagi.”
Adriella tersenyum tipis sambil mulai mengumpulkan kertas-kertasnya, sementara Zehan melangkah ke kamar mandi.
🍁🍁🍁
Adriella menuruni tangga perlahan, setelah selesai membereskan dokumen-dokumen di meja kerjanya. Ia sudah mengganti pakaian dengan piyama berwarna biru muda. Wajahnya masih menyimpan sisa kantuk, tapi matanya mulai jernih. Di belakangnya, Zehan yang baru selesai mandi mengikuti dengan kaus hitam dan celana santai.
Dapur rumah itu sudah sepi. Adriella langsung menuju dapur kecil di sisi samping yang biasa ia gunakan. Ia mengambil dua piring dan memanaskan lauk di microwave.
Zehan duduk di kursi tinggi dekat meja bar kecil.
“Lumayan lapar juga ternyata,” ucap Zehan sambil menguap kecil.
“Nggak makan tadi di proyek?” tanya Adriella sambil tersenyum.
“Makan sih, tapi cuma mie cup. Nggak kenyang.”
Setelah semua makanan siap, mereka duduk berdampingan di meja makan kecil dapur. Lampu kuning hangat menggantung di atas mereka, menciptakan suasana tenang.
“Bangunan yang aku kerjain sekarang tinggal dua hari lagi selesai,” ujar Zehan di sela-sela makan. “Setelah itu, aku bisa istirahat dulu. Nunggu tender baru keluar.”
“Wah, bagus dong. Akhirnya kamu bisa santai sebentar.”
Zehan mengangguk. “Iya. Pinggangku juga udah mulai protes.”
Adriella terkekeh. “Kalau kamu sakit, lebih baik periksa ke dokter.”
Zehan tersenyum. "Kalau masalah itu tidak perlu. Aku yakin bisa bikin kamu puas."
Adriella cemberut mendegar ucapan Zehan yang salah arah. "Kamu apa-an sih, siapa juga yang ngomongin itu!"
Zehan terkekeh. "Bercanda kok. Aku tahu kamu khawatir sama aku. Kamu sendiri gimana? Masih sibuk banget?” Dia pun mengubah topik.
“Pesanan kain untuk Velveta udah hampir selesai. Besok rencananya dikirim,” jawab Adriella. “Setelah itu, pekerjaan agak lebih ringan. Tinggal kontrol pengemasan dan pengiriman.”
Zehan menyuap nasi lagi sebelum berkata, “Kalau gitu hari Minggu kita kencan, yuk.”
Adriella melirik cepat dengan alis terangkat. “Kencan?”
“Iya. Kita belum pernah jalan berdua sebagai pasangan yang benar-benar pasangan,” ujar Zehan sambil tersenyum.
Adriella tersenyum kecil. “Boleh juga. Mau ke mana?”
“Nggak tahu. Kita cari tempat tenang aja.”
Adriella tertawa. “Deal.”
Malam itu mereka makan perlahan. Di antara suapan dan canda ringan, ada kehangatan yang tumbuh perlahan. Bukan karena kewajiban, tapi karena perlahan, mereka mulai menemukan kenyamanan satu sama lain.
🍁🍁🍁
Di lantai bawah rumah keluarga Bastian, suasana malam tampak tenang. Tapi di salah satu ruang kerja pribadi yang jarang digunakan, Bara duduk di balik meja kayu dengan ponsel di tangan dan map dokumen kosong di depannya. Lampu meja menyinari wajahnya yang serius, tidak ada senyum sok ramah seperti biasanya.
Ia mengetik pesan singkat:
"Nanti malam. Shift jaga terakhir. Pastikan bahan batch terakhir tercampur kain sisa dari gudang lama. Jangan terlalu mencolok."
Pesan itu dikirim ke nomor seseorang bernama Andre, salah satu staf gudang junior yang baru bekerja beberapa bulan. Pria muda itu pernah terjerat masalah pinjaman pribadi dan butuh uang dengan cepat. Bara tahu semua itu dan tahu cara memanfaatkannya.
Tak lama, ponselnya bergetar.
Andre: “Siap, Pak. Asal aman.”
Bara menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. Matanya menatap layar ponsel dengan tenang.
"Kalau dia gagal, semua mata bakal ke kepala proyek," gumamnya lirih.
Sementara itu, di kantor utama, bagian pengemasan mulai bersiap menyortir kain yang akan dikirim ke Velveta besok pagi. Semua jadwal sudah diatur Adriella sejak minggu lalu.
Tapi tak satu pun dari mereka tahu, bahwa dalam tumpukan kain yang akan masuk tahap akhir pengepakan, beberapa lembar telah diganti secara diam-diam mirip bentuk dan warnanya, tapi dengan kualitas rendah yang mudah sobek saat dicuci.
Semuanya tampak normal.
Dan justru di situlah letak bahayanya.
🍁🍁🍁
Pagi itu, gudang utama perusahaan sudah mulai ramai oleh aktivitas staf yang menyiapkan pengiriman kain untuk Velveta. Truk pengangkut terparkir di sisi belakang bangunan, dan beberapa pekerja mulai menyusun bal kain ke atas troli.
Adriella datang lebih pagi dari jadwal. Ia mengenakan blouse putih bersih dan celana panjang abu-abu, rambutnya diikat rapi ke belakang. Dengan clipboard di tangan dan daftar batch di bawah lengannya, ia langsung menuju area pengepakan.
“Saya mau periksa barang sebelum masuk truk. Jangan ada yang diangkut sebelum saya selesai cek,” ucapnya tegas pada kepala gudang.
“Baik, Bu,” jawab staf di dekat pintu masuk.
Dari sudut gudang, Andre menegang begitu melihat kedatangan Adriella. Ia sedang berdiri di dekat tumpukan batch yang sudah ia selipkan dengan bahan berkualitas rendah.
Matanya langsung melirik ponselnya, dan dengan tangan cepat ia mengetik pesan: "Bu Adriella datang pagi-pagi. Lagi periksa langsung."
Pesan itu dikirim ke Bara.
Adriella mulai mengecek tumpukan pertama, membandingkan kode kain dan nomor batch dengan data di clipboard. Ia meraba permukaan kain, memeriksa tekstur dan warna. Hasilnya sesuai.
Namun sebelum ia sempat beralih ke tumpukan kedua, suara akrab namun tak diinginkan menyela dari belakang.
“Wah, pagi-pagi udah kerja keras banget, Bu Kepala Proyek.”
Adriella menoleh cepat. Bara berdiri beberapa meter di belakangnya, mengenakan setelan semi-kasual dan senyum santai di wajahnya.
“Ada perlu apa, Bara?” tanyanya singkat.
“Cuma mau lihat-lihat. Kan aku juga bagian dari proyek. Yah, kadang penasaran juga sama apa yang kamu kerjain,” katanya sambil melangkah mendekat.
Alih-alih pergi, Bara mulai bertanya ini-itu tentang jenis bahan, metode pengepakan, bahkan rincian klien. Ucapannya terlihat seperti sekadar basa-basi, tapi pertanyaannya terus-menerus dan menyela fokus.
“Jadi, semua bahan ini udah kamu cek satu-satu? Nggak capek? Kenapa nggak tinggal percaya saja sama laporan anak gudang?”
“Karena itu tanggung jawabku,” jawab Adriella pendek, matanya tetap ke lembar data.
Tapi Bara terus berbicara, berdiri terlalu dekat, sesekali memegang kain lalu menaruhnya kembali dengan seenaknya. Adriella tak bisa memotong pembicaraan dengan kasar, apalagi di depan staf lain.
Akibatnya, waktu berlalu tanpa terasa. Ketika ia sadar, batch terkahir sudah mulai dimuat ke truk tanpa sempat ia periksa.
Dan Bara hanya tersenyum.
“Wah, udah hampir selesai aja. Hebat, ya kamu. Kayaknya nggak perlu dicek semua juga udah oke.”
Adriella hanya bisa menahan napas dalam-dalam. Gangguan itu tidak bisa dibilang pelanggaran. Tapi cukup halus untuk membuatnya kehilangan kendali atas proses yang seharusnya dia pimpin.
Di sisi lain gudang, Andre kembali bekerja seperti biasa. Tapi di dalam hatinya, ia tahu, pagi ini terlalu dekat dengan bahaya.
Ia hanya bisa berharap, apa yang disembunyikannya tak ikut terbongkar dalam pemeriksaan terburu-buru itu.
menyelidiki tentang menantunya
yg blm mendapat restu...
pasti bakal kaget...
lanjut thor ceritanya
sama" gak tahu malu...
padahal mereka cuma numpang hidup...
yg punya kendali & peran penting adalah pemilik sah nya...
lanjut thor ceritanya
semoga Pak Bastian
menendang kamu...
setelah melihat bukti...
murka terhadap Bara
setelah menerima buktinya...
lanjut thor ceritanya di tunggu up nya
aku sudah mampir...
dan baca sampai part ini...