Impian setiap wanita adalah menikah dengan pria yang mencintai dan dicintainya. Namun takdir berkata lain untuk Azura, gadis cantik yang terpaksa menikah dengan pria pengidap gangguan jiwa demi kepentingan keluarga tirinya.
Meski sang ayah masih hidup, hidup Azura sepenuhnya digenggam oleh ibu tiri yang licik dan kejam. Akankah Azura mampu bertahan dalam pernikahan yang tak diinginkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 11 - PDKT
Menuruti kata hati, Azura pun memutuskan untuk mengenal Rangga lebih dekat.
Saat merenung di kamar, ia pun teringat seorang asisten wanita paruh baya bernama Bu Sari, yang membisikkan sesuatu,
“Kalau Nona ingin mengenal Tuan Rangga lebih dalam… coba saja ke ruang lukis di lantai dua. Itu tempat yang paling sering Tuan Rangga datangi saat suasana hatinya baik.”
Azura menyimpan saran itu dalam hatinya. Dan siang itu, dengan langkah hati-hati, ia menuju tempat yang dimaksud.
Hingga akhirnya, sebuah pintu besar berwarna cokelat tua dengan jendela kaca buram berdiri di hadapannya.
Azura mengintip sekilas dan benar. Di dalamnya ada sosok Rangga, ia sedang duduk tenang di hadapan sebuah kanvas besar dengan kuas di tangannya.
Perlahan, Azura membuka pintu. Suara engsel yang berdecit pun membuat Rangga menoleh sejenak, namun tidak bereaksi lebih.
Ia hanya kembali menatap kanvasnya dan melanjutkan lukisannya seolah Azura adalah bayangan semu yang bisa diabaikan.
Namun meski begitu, Azura mengumpulkan keberaniannya, lalu masuk dan menutup pintu dengan pelan.
“Rangga…” panggilnya lembut.
Rangga menghentikan gerakan tangannya sepersekian detik. Bahunya menegang sedikit, namun ia tidak menoleh. Lalu, kuasnya kembali menari di atas kanvas.
Azura hanya berdiri beberapa langkah di belakangnya, sambil memperhatikan sosok pria yang begitu fokus, begitu larut dalam dunia yang seolah hanya ia yang mengerti.
Tangan Rangga bergerak cepat namun penuh arah, sehingga menciptakan lekukan-lekukan warna yang mengalir liar namun indah.
Warna merah, biru, dan hitam saling bercampur di atas kanvas putih. Lukisan itu abstrak, tidak jelas apa bentuknya, namun membuat Azura kagum dan tersentuh.
“Lukisanmu… sangat indah,” ucap Azura.
Rangga menghentikan kuasanya lagi. Kali ini ia menoleh, dan menatap Azura dengan matanya yang sayu. Ia tidak bicara, namun tatapannya yang kosong seolah bertanya, Kau benar-benar berpikir begitu?
Meski tidak mendapat respon yang baik, Azura pun tersenyum walau merasa gugup. “Aku serius. Lukisanmu… seperti menyampaikan rasa sakit. Tapi juga keinginan untuk bebas," ujarnya.
Seakan tidak peduli, Rangga hanya menoleh lagi ke kanvas. Tangannya bergerak sekali lagi, lalu ia meletakkan kuas di pinggir meja sambil bergumam kecil tapi tidak terdengar oleh Azura.
Tangannya kini kotor oleh cat, begitu juga bajunya. Tiba-tiba, ia berbisik, “Semua orang bilang lukisan ini gila… seperti aku.”
Azura tersentak seraya menahan napasnya karena terkejut dan tidak menyangka jika Rangga akan bicara padanya.
“Kalau begitu…” ucap Azura sambil melangkah mendekat. “Aku ingin belajar dari kegilaanmu. Karena kadang… dunia waras terlalu kejam bagiku.”
Rangga kembali menoleh. Kali ini, ada sedikit kerutan di keningnya, seperti sedang mencerna kata-kata Azura. Ia tidak bicara lagi, namun tatapannya tidak sekeras sebelumnya.
Suasana pun menjadi hening dalam beberapa saat....
Azura hanya duduk di bangku panjang di sudut ruangan sambil memperhatikan Rangga yang melanjutkan lukisannya.
Ia tidak ingin memaksakan percakapan, dan hanya cukup berada di sana. Menjadi saksi diam dari dunia penuh warna yang tersembunyi dalam benak suaminya.
"Ya, pendekatan awal yang cukup baik Azura."
**
Dalam beberapa saat, Azura masih duduk di sudut ruangan yang dipenuhi aroma cat dan terpaan udara lembut dari jendela yang terbuka.
Sedangkan Rangga tetap di tempatnya, tetap membisu dan tidak terganggu. Ia tenggelam dalam dunia lukisannya seolah keberadaan Azura tidak mengusiknya sedikit pun.
Azura tersenyum kecil. Ada semacam kedamaian yang aneh dalam kebersamaan tanpa suara ini. Namun, perlahan perutnya mulai terasa kosong dan tenggorokannya pun terasa mengering.
"Aneh... rasanya aku sudah berjam-jam di sini," batinnya.
Ia pun menoleh ke arah Rangga. Pria itu masih duduk dengan posisi yang sama, dengan tangan yang tetap menari dengan kuasnya. Seolah-olah tidak ada tanda-tanda ia akan berhenti atau beristirahat.
"Dia pasti juga belum makan apa-apa… atau minum...," gumam Azura.
Azura pun berdiri perlahan, lalu melangkah ke luar ruangan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Azura berjalan menuju dapur dengan langkah yang tidak terdengar. Ia menyusuri tempat yang kini mulai terasa familiar baginya.
Sesampainya di dapur, beberapa asisten menyambutnya dengan sedikit terkejut.
“Nona Azura? Ada yang bisa kami bantu?,” tanya Bu Sari, salah satu asisten rumah tangga yang paling senior.
“Aku ingin menyiapkan camilan untukku dan Rangga. Dia belum makan dari tadi, dan… aku ingin membawakannya langsung," jawab Azura sambil tersenyum.
“Tapi… Nona, biar kami saja yang menyiapkan. Itu tugas kami," ucap Bu Sari yang hendak mengambil alih, tapi ragu-ragu.
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin… mencoba jadi istri yang baik. Meskipun sedikit saja," jawab Azura.
Para asisten pun saling pandang. Ada rasa segan, namun juga kagum atas sikap lembut Azura.
Akhirnya mereka pun membiarkan Azura memilih sendiri isi nampannya. Azura mengambil dua gelas jus jeruk segar, beberapa biskuit, dan roti lapis kecil yang sudah disusun rapi.
Beberapa saat kemudian, dengan hati-hati ia kembali ke lantai atas. Nampan di tangannya sedikit bergetar karena gugup, namun semangatnya lebih besar dari rasa cemas itu.
Begitu pintu ruang lukis terbuka kembali, Azura mendapati Rangga masih dalam posisi yang sama. Ia tidak menoleh, bahkan ketika Azura mendekatinya.
Dengan hati hati, Azura meletakkan nampan kecil itu di meja samping dekat Rangga. Ia mengatur dua gelas minuman dan piring-piring kecil berisi camilan, lalu duduk di bangku yang sama seperti sebelumnya.
“Rangga… aku bawa minum dan sedikit camilan,” ucap Azura dengan suara yang rendah, hangat, dan tanpa paksaan.
Meski tidak ada respons, Azura tidak merasa kecewa. Ia lalu mengambil satu biskuit dan menggigitnya, kemudian menyesap jus jeruknya sambil terus memperhatikan sosok di sebelahnya.
Sementara itu, Rangga masih larut dalam lukisannya, namun tangannya tampak lebih lambat dari sebelumnya. Ada jeda di setiap goresan kuasnya, seolah ia mulai mendengar.
Beberapa menit pun telah berlalu.
Tiba-tiba, tanpa menatap Azura, Rangga perlahan meletakkan kuasnya di meja. Ia memandang lukisannya sejenak, lalu, dengan gerakan kecil yang hampir tak terlihat tangannya bergerak mengambil salah satu gelas jus.
Azura terpaku. Ia merasa senang saat melihat Rangga menyesap minuman itu. Meski hanya sedikit, namun cukup membuat Azura tersenyum.
“Itu jus jeruk… aku tidak tahu kamu suka yang manis atau asam, jadi kupilih yang sedang-sedang saja,” gumam Azura.
~ Wow... Azura mahir juga ya. Apakah pendekatannya akan berlanjut dengan baik? Nantikan di episode selanjutnya ya... 🤗~
BERSAMBUNG...
yang laju kak up nya.........
yang kenceng, jangan sampai kendor...... ok.
aku suka ceritanya.
dan tetap semangat untuk berkarya
maaf🙏🏻 sudah dui tunggu
tambah lagi doooooooong