⚠️ sebelum baca cerita ini wajib baca Pengantin Brutal ok⚠️
Setelah kematian Kayla dan Revan, Aluna tumbuh dalam kasih sayang Romi dan Anya - pasangan yang menjaga dirinya seperti anak sendiri.
Namun di balik kehidupan mewah dan kasih berlimpah, Aluna Kayara Pradana dikenal dingin, judes, dan nyaris tak punya empati.
Wajahnya selalu datar. Senyumnya langka. Tak ada yang tahu apa yang sesungguhnya disimpannya di hati.
Setiap tahun, di hari ulang tahunnya, Aluna selalu menerima tiga surat dari mendiang ibunya, Kayla.
Surat-surat itu berisi kenangan, pengakuan, dan cinta seorang ibu kepada anak yang tak sempat ia lihat tumbuh dewasa.
Aluna selalu tertawa setiap membacanya... sampai tiba di surat ke-100.
Senyum itu hilang.
Dan sejak hari itu - hidup Aluna tak lagi sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim elly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 29
Aluna tiduran di sofa siang itu. Suasana rumah keluarga Pradana sangat sepi, hanya suara jam dinding yang terdengar berdetak pelan.
Udara dari pendingin ruangan terasa dingin menusuk, tapi tak bisa menenangkan hati Aluna yang sejak pagi sudah kesal karena Laura terus sibuk urusan rumah.
Tiba-tiba terdengar suara bel pintu.
Ting..tong...
“Berisik, akh, bibiiii!” teriak Aluna dari ruang tengah dengan malas.
Namun tidak ada sahutan. Aluna menghela napas berat, matanya memutar ke arah tangga.
“Kemana lagi si Laura…” gumamnya kesal.
Dengan langkah malas, ia bangkit, menyeret kaki menuju pintu rumah. Rambutnya yang panjang acak-acakan, ekspresinya datar tapi penuh rasa sebal. Saat pintu terbuka—keduanya sama-sama terkejut.
“Lo... Ngapain lo di sini?” tanya Aluna ketus, matanya menyipit.
Baskara celingak-celinguk, menatap papan nama rumah yang terpampang di gerbang, seolah memastikan dirinya tidak salah alamat.
“Ini rumah keluarga Pradana kan?” tanyanya dengan nada bingung.
“Iya. Mau ngapain?” tanya Aluna sambil melipat tangan di dada, suaranya tajam seperti pisau.
“Lo siapa di sini?” ucapnya gugup.
“Gue anaknya. Mau apa lo ke sini?” jawab Aluna dingin, menatap tanpa berkedip.
“Ekh, Baskara, dari tadi!” ucap Laura yang baru keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah dan handuk kecil melingkar di leher.
Aluna langsung mengerutkan alisnya.
“Aluna, ini Baskara… anak tante,” ucap Laura pelan.
“Apa??” Aluna membelalak, nadanya penuh keterkejutan.
“Baskara, ini Aluna, anaknya Pak Axel,” lanjut Laura.
“Apaa?” kini giliran Baskara yang kaget, suaranya meninggi.
Aluna menatap dingin ke arah Baskara lalu berbalik tanpa berkata apa pun, kembali ke sofa. Ia menjatuhkan diri di sana dan menatap televisi tanpa minat.
“Bibiiii!” teriak Aluna lagi.
“Ya, Neng, maaf, bibi dari warung,” sahut ART dari dapur.
“Mau yogurt di kulkas,” ucap Aluna datar, matanya tak lepas dari layar TV.
Baskara memperhatikan sekeliling rumah. Dinding putih tinggi, lantai marmer mengilap, aroma mahal yang asing baginya.
“Buset, gede amat rumahnya,” gumamnya dalam hati, kagum tapi juga minder.
“Duduk, Bas,” ucap Laura lembut.
“Ibu betah tinggal di sini?” tanya Baskara pelan, mencoba mencairkan suasana.
“Alhamdulillah,” jawab Laura sambil tersenyum kecil, menatap ruangan dengan pandangan kosong.
“Anjir, tinggal sama Dajjal emak gue aman nggak ya…” gumam Baskara dalam hati sambil melirik Aluna yang masih bersikap seperti ratu di singgasana.
“Kamu udah makan?” tanya Laura lembut.
“Belum, Bu,” ucap Baskara.
“Makan yuk, Ibu udah masak,” ucap Laura penuh kasih.
“Boleh,” jawab Baskara sambil mengangguk sopan.
Mereka berdua menuju ruang makan. Aluna hanya melirik, matanya penuh sinis.
Damn, ternyata dia anaknya brengsek itu… pikir Aluna, rahangnya mengeras.
“Aluna, makan, Nak,” ucap Laura lembut.
“Nggak laper,” jawab Aluna ketus tanpa menoleh.
“Kalo gitu tante makan ya sama Baskara,” ucap Laura pelan.
“Hmm,” jawab Aluna singkat, matanya tetap terpaku pada TV, tapi nada suaranya cukup membuat udara terasa tegang.
Tak lama, Axel datang—membawa kantong makanan dan sebuah kotak besar di tangannya. Senyum lebar terpampang di wajahnya.
“Alunaaa! Papa pulang!” seru Axel ceria.
“Papa bawa apa?” tanya Aluna manja, nada suaranya langsung berubah lembut.
“Ini makanan kesukaan Aluna, sushi! Sama ini—buat Aluna, boneka Labubu,” ucap Axel sambil tersenyum.
“Makasih, Papa,” ucap Aluna sambil memeluk Axel erat-erat, seperti anak kecil yang akhirnya dapat perhatian.
“Mas udah pulang,” ucap Laura dari meja makan, suaranya agak bergetar.
“Oh, iya…” ucap Axel, senyumnya menegang ketika pandangannya jatuh pada Baskara.
“Lagi apa dia di sini?” ucap Axel tajam.
“Loh, Mas udah tau Baskara?” tanya Laura bingung.
“Dia teman Aluna yang mau bunuh Aluna,” ucap Axel ketus, nadanya penuh kemarahan yang ditahan.
“Apaa?!” Laura kaget, menatap Baskara tak percaya.
“Bu… itu—itu…” Baskara gelagapan, wajahnya pucat.
Aluna masih bersandar di pelukan Axel, tersenyum tipis penuh kemenangan, tatapannya menembus ke arah Baskara.
“Kok kamu gitu sih, Bas… Ibu nggak pernah ajarin kamu gitu loh,” ucap Laura kecewa, suaranya lirih tapi menusuk.
Aluna merasa puas mendengar itu. Senyum puas tersungging di bibirnya.
“Papa jangan marah,” ucap Aluna lembut, menatap wajah Axel dari dekat.
“Nggak, sayang. Papa nggak marah,” ucap Axel lembut, tangannya membelai rambut putrinya.
“Tapi jantung Papa berdebar kencang, nih, kedengeran,” ucap Aluna sambil menempelkan telinganya ke dada Axel.
“Papa emosi, sstt…” bisik Axel pelan sambil tersenyum kecil, berusaha tenang.
Sementara itu, Laura menatap Baskara penuh rasa bersalah.
“Minta maaf,” ucap Laura lirih.
“Udah, Bu, waktu itu…” ucap Baskara dengan suara pelan, menunduk.
Aluna yang masih menempel di dada Axel hanya menaikkan satu alisnya, wajahnya datar tapi jelas puas.
“Sudah, sudah, nggak perlu,” ucap Axel memalingkan wajahnya dingin.
“Maaf ya, Mas,” ucap Laura sambil menunduk dalam-dalam.
“Iya,” ucap Axel datar, tanpa ekspresi.
“Papa nonton sama aku,” ucap Aluna sambil menarik tangan Axel manja.
Axel menuruti. Aluna menyuapi Axel sushi dengan senyum ceria, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Laura dan Baskara menjadi bayangan di pinggiran pemandangan itu.
“Ibu yakin betah di sini?” tanya Baskara pelan, mencoba mengalihkan perhatian ibunya dari rasa malu.
“Iya. Kamu butuh uang berapa?” tanya Laura tiba-tiba, lembut tapi tegas.
“Buat bimbel sih, Bu,” jawab Baskara sambil menunduk.
Laura bangkit, pergi ke kamar, lalu kembali membawa sejumlah uang. Ia menyerahkan uang itu dengan senyum keibuan.
“Main dulu di sini sama Ibu, jangan dulu pulang,” ucap Laura.
“Nggak enak, Bu…” ucap Baskara canggung.
“Ibu kangen, Bas. Sama kamu. Di taman yuk,” ajak Laura tersenyum, matanya sedikit berkaca.
Mereka pergi ke taman, duduk berdua di dekat kolam renang. Laura tersenyum samar, sementara Baskara sesekali melirik rumah besar itu dengan wajah bingung.
Sementara itu, Axel dan Aluna di ruang tengah terlihat begitu akrab. Aluna tidak ingin melepaskan ayahnya sedikit pun, seolah takut Axel akan berpaling ke orang lain.
“Papa, mau ke pantai, tapi berdua sama Papa,” ucap Aluna manja.
“Kapan?” tanya Axel sambil menoleh.
“Sekarang,” jawab Aluna sambil bersandar di bahu ayahnya.
“Hayu,” ucap Axel semangat, seperti ingin lari dari ketegangan rumah itu.
Mereka pun beranjak, menyiapkan diri.
“Laura, aku pergi ke pantai sama Aluna,” ucap Axel datar.
“Aku ikut, ya,” ucap Laura sambil tersenyum.
“Alunanya nggak mau,” ucap Axel cepat.
“Oh gitu ya… hati-hati ya, Mas,” ucap Laura masih berusaha tersenyum meski hatinya remuk.
“Iya,” jawab Axel pendek.
Mereka pergi, meninggalkan Laura dan Baskara berdiri di teras dengan pandangan kosong.
“Bu, dia cinta nggak sih sama Ibu? Kok dia gitu…” bisik Baskara pelan.
“Emang sikapnya gitu, liat aja anaknya kayak gitu kan,” ucap Laura lirih, matanya menerawang.
“Tapi, Bu… Ibu bahagia dengan sikap mereka yang kayak gitu?” tanya Baskara pelan.
“Yang penting kamu bisa sekolah dan Ibu hidup nyaman,” ucap Laura sambil mengelus rambut Baskara, mencoba menenangkan diri.
“Kita main yuk,” ajak Laura sambil tersenyum lemah.
“Kemana?” tanya Baskara.
“Anter Ibu belanja,” ucap Laura.
“Iya, ayok,” jawab Baskara.
Mereka pun pergi ke mall, mencoba menjernihkan pikiran Laura yang sudah mulai stres hidup di rumah keluarga Pradana—rumah besar yang megah tapi terasa dingin, penuh rahasia, dan persaingan halus yang menusuk hati.
Bersambung....
tapi ruwetan baskara aluna🤣
tapi aku suka ama anaknya🤣