NovelToon NovelToon
Silent Crack

Silent Crack

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Obsesi / Beda Usia / Romantis
Popularitas:455
Nilai: 5
Nama Author: Penulismalam4

Romance psychological, domestic tension, obsessive love, slow-burn gelap

Lauren Hermasyah hidup dalam pernikahan yang perlahan kehilangan hangatnya. Suaminya semakin jauh, hingga sebuah sore mengungkapkan kebenaran yang mematahkan hatinya: ia telah digantikan oleh wanita lain.

Di saat Lauren goyah, Asher—tetangganya yang jauh lebih muda—selalu muncul. Terlalu tepat. Terlalu sering. Terlalu memperhatikan. Apa yang awalnya tampak seperti kepedulian berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih intens, lebih sulit dihindari.

Ketika rumah tangga Lauren runtuh, Asher menolak pergi.
Dan Lauren harus memilih: bertahan dalam kebohongan, atau menghadapi perhatian seseorang yang melihat semua retakan… dan ingin mengisinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

01_Pagi yang Dingin

Pagi itu seharusnya sama seperti hari-hari biasanya. Matahari menembus tirai tipis di kamar tidur, menumpahkan cahaya lembut ke sprei putih yang tampak sedikit kusut. Lauren terbangun lebih dulu dari suaminya—kebiasaan yang ia pelihara sejak awal pernikahan mereka. Ia selalu suka menikmati beberapa menit sunyi sebelum rumah benar-benar hidup.

Dari tempatnya berbaring, ia memandangi punggung Arga yang menghadap ke sisi lain. Nafas pria itu teratur, berat, tidak gelisah seperti minggu-minggu sebelumnya. Lauren sempat ingin menyentuhnya—menyapu rambutnya yang sedikit berantakan, menempelkan dahi ke punggungnya seperti dulu. Tapi tangannya berhenti di udara.

Ia tidak tahu sejak kapan ia mulai ragu menyentuh suaminya sendiri.

Lauren menghela napas pelan, menurunkan tangan, lalu bangkit dari tempat tidur. Kakinya menyentuh lantai dingin, dan rasa itu membuatnya sedikit tersadar. Ia berjalan ke dapur, membiarkan rutinitas sederhana itu mengisi celah-celah pikirannya yang berantakan.

Aroma kopi mulai memenuhi ruangan saat ia menekan tombol mesin. Bunyi tetesan pertama terdengar menenangkan, memberikan jeda sebelum kerumitannya sendiri kembali mengejarnya.

“Laur?” suara Arga dari lorong terdengar serak, seperti baru menyadari pagi telah datang.

Lauren menoleh. “Pagi. Mau kopi?”

Arga mengangguk tanpa senyum, tanpa ciuman di kening seperti dulu. Ia duduk di kursi bar, memijat tengkuknya sebelum membuka ponsel. Kecerahan layar memantul di wajahnya. Lauren memperhatikan perubahan kecil itu—cara Arga langsung fokus pada ponselnya, bukan padanya.

“Tidurmu nyenyak?” tanya Lauren, mencoba memulai percakapan ringan.

“Lumayan,” jawab Arga singkat, matanya tak beranjak dari layar.

Dulu, percakapan pagi mereka adalah hal favorit Lauren. Sekarang setiap kata terasa seperti mengetuk pintu rumah kosong.

Lauren menyerahkan secangkir kopi padanya. Arga hanya menggeser kursi dan menerima tanpa benar-benar bertemu mata. “Thanks.”

Lauren duduk di seberangnya, menautkan jari-jari di pangkuannya. “Hari ini pulang jam berapa?”

“Belum tahu. Banyak meeting.” Jawaban itu datar. Terlalu cepat, seperti sudah siap jauh sebelum ia bertanya.

“Oh.” Lauren mengangguk, meski hatinya menegang sedikit.

Keheningan kembali turun. Arga akhirnya meletakkan ponsel, menatap meja. “Kamu kenapa? Dari tadi diam.”

Lauren tersenyum kecil—tipis, tidak sepenuhnya jujur. “Aku nggak apa-apa. Cuma… capek. Kerjaan lumayan banyak.”

Arga mengangguk, seolah percaya begitu saja. “Ya udah. Jaga kesehatan.”

Lagi-lagi singkat. Lagi-lagi dangkal.

Ada jeda panjang sebelum Arga berdiri, mengambil jaketnya, dan mengangkat tas kerja. “Aku berangkat dulu. Ada presentasi pagi.”

Lauren ikut berdiri. “Iya. Hati-hati.”

Arga berhenti sejenak di ambang pintu. Dulu, momen seperti itu adalah tempat ia kembali memberi Lauren pelukan singkat, cium pipi, atau sekadar mengelus rambutnya. Namun hari ini, Arga hanya mengangguk lalu melangkah keluar.

Pintu tertutup.

Rumah kembali sunyi. Bukan sunyi yang menenangkan, melainkan sunyi yang terasa seperti ruang kosong yang terlalu besar untuk diisi oleh satu orang.

Lauren menatap cangkir kopi Arga yang masih setengah penuh. Kepulan uapnya memudar pelan.

Ia mengusap wajahnya, merasakan denyut halus di pelipis. Ada sesuatu yang berubah. Sesuatu yang ia tidak bisa sentuh tapi terus merayap di antara mereka.

Dan untuk pertama kalinya, Lauren merasa takut menanyakannya.

Karena ia khawatir ia sudah tahu jawabannya.

____

Setelah Arga pergi, Lauren berdiri cukup lama di ruang tamu, menatap pintu yang baru saja tertutup. Ada perasaan kosong yang mengalir perlahan, seperti air yang merembes melalui celah-celah rumah yang dulu terasa penuh.

Ia akhirnya bergerak ketika menyadari jam terus berjalan. Ia butuh keluar. Butuh bernapas.

Lauren mengambil tasnya dan merapikan kunci rumah, lalu melangkah keluar menuju mobil. Udara pagi cukup segar, tapi tidak cukup untuk mengusir kecamuk di dadanya.

Perjalanan menuju supermarket dekat komplek tidak jauh. Jalanan tidak terlalu ramai, namun Lauren merasakan dirinya seperti mengemudi melalui kabut tipis yang hanya ia sendiri yang melihat. Pikiran tentang Arga terus memantul di kepalanya—tatapannya yang menghindar, jarak yang dibiarkannya tumbuh tanpa ia cegah.

Lauren memarkir mobil di dekat pintu masuk. Ia mengambil napas panjang sebelum turun, mencoba mengatur ekspresi wajahnya agar tidak terlalu terlihat seperti seseorang yang sedang pecah pelan-pelan.

Begitu masuk ke dalam supermarket, dinginnya AC menyapu kulitnya. Ia meraih keranjang dorong dan mulai berjalan di antara lorong-lorong. Rutinitas kecil itu biasanya memberikan kenyamanan, tetapi hari ini terasa hambar.

Lauren berhenti di bagian sayuran. Matanya menatap tomat-tomat merah yang tertata rapi, tetapi pikirannya melayang jauh.

Dia bilang banyak meeting…

Belakangan ini selalu begitu.

Selalu pulang lebih malam. Selalu sibuk. Selalu lelah.

Lauren meraih beberapa buah tomat dan memasukkannya ke dalam kantong bening. Tangannya bergerak otomatis, sementara pikirannya sibuk membuat sambungan-sambungan yang tidak ingin ia akui.

Ia berpindah ke lorong lain. Memasukkan pasta, saus, roti, hal-hal yang biasa ia beli. Kegiatan yang sama, tetapi rasanya seperti menjalankan naskah yang sudah tak punya arti.

Di ujung lorong, ada pasangan muda sedang memilih buah bersama. Mereka tertawa pelan, saling menyentuh lengan. Lauren memandangi mereka sesaat—bukan karena iri, tapi karena rasa aneh di dadanya. Dulu aku seperti itu bersama Arga. Dulu, mereka bisa bercanda hanya karena berebut memilih apel.

Ia buru-buru mendorong keranjang, tak ingin tenggelam dalam kenangan yang justru menyesakkan.

Ketika sampai di area perawatan kulit, Lauren berhenti. Tangannya menyentuh botol body lotion favoritnya. Aroma lavender—aroma yang Arga dulu suka. "Kamu wangi banget kalau pakai ini," begitu kata Arga beberapa tahun lalu.

Sekarang?

Lauren bahkan tidak ingat kapan terakhir kali Arga memeluknya cukup dekat untuk memperhatikan aromanya.

Ia menurunkan botol itu kembali ke rak. Tidak jadi.

Keranjangnya berisi cukup banyak barang ketika ia menuju kasir. Kasir itu tersenyum ramah, menyebutkan total belanjaan, dan Lauren membayar dengan senyum kaku. Ia merasa asing dalam hidupnya sendiri, seperti sedang memerankan seseorang yang tidak lagi ia kenali.

Keluar dari supermarket, matahari sudah naik lebih tinggi. Lauren menyipitkan mata sebentar sebelum memasukkan belanjaan ke bagasi. Saat menutup pintu mobil, angin bertiup pelan, membuat rambutnya bergeser memeluk wajah.

Ia terdiam.

Sunyi.

Sesunyi rumahnya pagi tadi.

Dalam perjalanan pulang, Lauren memutar radio, berharap suara bisa mengisi pikiran. Tapi lagu-lagu yang terdengar hanya membuat dadanya makin berat—lagu tentang cinta yang hilang, tentang penantian yang melelahkan, atau tentang seseorang yang mencoba bertahan.

Lauren mematikan radio.

Ketika sampai di depan rumah, ia duduk sebentar di dalam mobil, tangan masih memegang setir. Rumah itu berdiri di hadapannya—cantik, rapi, nyaman. Tapi dari luar saja Lauren bisa merasakan: tempat itu tidak lagi hangat.

Ia akhirnya turun dan membawa belanjaan masuk. Meletakkannya di dapur lalu menyusun satu per satu.

Tidak ada suara lain kecuali suara plastik dan pintu lemari yang dibuka-tutup perlahan.

Setelah semua selesai, Lauren bersandar di meja dapur. Kedua tangannya menopang tubuhnya, wajahnya menunduk.

Untuk pertama kalinya sejak pagi, ia membiarkan satu tarikan napasnya pecah menjadi isakan pelan.

Tidak lama.

Tidak keras.

Hanya cukup untuk membuat dadanya terasa sedikit lebih lega.

Lauren menegakkan tubuh, mengusap sisa air mata, lalu menghembuskan napas panjang.

Ia tidak tahu apa yang akan menunggunya nanti ketika Arga pulang malam ini.

Tapi ia tahu satu hal:

Ada sesuatu yang berbeda.

Dan apa pun itu… perlahan-lahan mulai menelan pernikahan mereka.

1
Mao Sama
Apa aku yang nggak terbiasa baca deskripsi panjang ya?🤭. Bagus ini. Cuman—pembaca novel aksi macam aku nggak bisa terlalu menghayati keindahan diksimu.

Anyway, semangat Kak.👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!