Sepenggal kisah nyata yang dibumbui agar semakin menarik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummushaffiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 — Aroma, Batas, dan Getar yang Tak Terucap
Pagi itu, Zahwa berdiri di dapur rumah Daniel dengan gamis warna biru muda lembut dan apron sederhana yang ia bawa sendiri. Rambutnya terikat rapi didalam khimarnya, wajahnya tenang—namun jantungnya bekerja lebih cepat dari biasanya.
Ini bukan dapur kontrakan kecilnya.
Bukan pula dapur rumah orang tuanya.
Ini dapur rumah seorang pria yang tanpa banyak kata, telah berdiri di belakangnya ketika dunia terasa sempit.
“Kalau ada yang kurang, bilang ya,” suara Daniel terdengar dari pintu. Ia tidak masuk terlalu dekat. Tetap menjaga jarak.
“Iya… Mas Daniel,” jawab Zahwa spontan.
Daniel tersenyum kecil. Ada getar halus di dadanya mendengar panggilan itu. Ia ingin membalas, ingin berkata sesuatu, tapi ditahannya. Batas itu masih ada. Harus ada.
Tak lama kemudian, langkah pelan terdengar dari arah ruang tengah.
“MasyaAllah… harum sekali.”
Seorang wanita paruh baya berdiri di sana. Rambutnya rapi, wajahnya teduh, sorot matanya hangat dan tajam dalam kelembutannya.
Zahwa spontan mematikan kompor dan menoleh. “Ibu Daniel?”
“Iya,” jawab wanita itu sambil tersenyum. “Kamu Zahwa.”
Zahwa menunduk hormat. “Iya, Bu. Senang akhirnya bisa bertemu.”
Ibu Daniel mendekat, tapi tidak melewati batas. Ia memperhatikan gerak Zahwa cara memegang spatula, cara menyusun piring, cara Zahwa hadir di dapur itu.
“Kamu masak dengan tenang,” katanya pelan. “Bukan terburu-buru.”
Zahwa tersenyum kecil. “Karena masakan itu doa, Bu.”
Daniel yang berdiri agak jauh menghela napas perlahan. Ibunya menangkap ekspresi itu.
“Daniel,” panggil sang ibu. “Kamu jangan ganggu.”
“Iya, Bu,” jawab Daniel cepat, hampir refleks.
Mereka tertawa kecil.
---
Meja makan tertata sederhana. Tidak berlebihan. Ada rawon premium dengan sentuhan kampung, ayam ungkep rempah, sambal mangga muda, dan sayur bening.
Ibu Daniel mencicipi perlahan.
Mata wanita itu berkaca-kaca.
“Rasanya… pulang,” ucapnya lirih. “Seperti masakan ibu saya dulu.”
Zahwa menunduk. Dadanya menghangat.
“Terima kasih, Bu.”
Ibu Daniel menatapnya lama. “Daniel tidak sembarangan.”
Kalimat itu sederhana, tapi maknanya berat.
Daniel sedikit tegang. “Bu—”
Ibu Daniel mengangkat tangan. “Tenang. Ibu tahu waktu dan batas.”
Tatapan itu beralih ke Zahwa. “Kamu masih iddah, ya?”
“Iya, Bu,” jawab Zahwa jujur. “Masih.”
“Bagus,” kata ibu Daniel lembut tapi tegas. “Perempuan harus menjaga dirinya. Kalau tidak, dunia yang akan menyeret.”
Zahwa mengangguk. Hatinya terasa dilindungi, bukan dihakimi.
Daniel menatap meja. Ada rasa bangga—dan rasa takut. Takut melangkah terlalu jauh. Takut terlalu berharap.
---
Di sela makan, ponsel Zahwa bergetar pelan di tasnya.
Nama itu muncul.
Farhan.
Dadanya mengencang.
Ia tidak mengangkatnya.
Getaran berhenti. Lalu pesan masuk.
> Wa, kamu di mana? Kita bisa bicara baik-baik?
Zahwa menutup mata sejenak. Nafasnya ia atur. Ia simpan ponsel kembali tanpa balas.
Daniel memperhatikan perubahan kecil di wajah Zahwa. Ia tidak bertanya. Tidak berhak.
Tapi ia tahu.
---
Setelah makan, Zahwa membereskan dapur. Ibu Daniel membantu mengeringkan piring—hal kecil yang membuat Zahwa terkejut.
“Bu, biar saya saja.”
Ibu Daniel tersenyum. “Dulu saya juga begitu. Mengurus rumah, sambil memendam banyak hal.”
Zahwa menatapnya. “Bu pernah…?”
“Ditinggalkan dalam pernikahan?” Ibu Daniel mengangguk pelan. “Pernah. Tapi saya tidak ditinggalkan nilai diri.”
Kalimat itu menancap di hati Zahwa.
---
Sore menjelang. Daniel mengantar Zahwa sampai depan pagar. Tidak lebih.
“Terima kasih hari ini,” kata Daniel. “Ibu saya jarang cocok.”
“Saya juga berterima kasih,” jawab Zahwa. “Ibu Mas Daniel… baik.”
Daniel tersenyum. “Beliau sudah lama tidak bilang begitu tentang seseorang.”
Hening sejenak.
“Mas Daniel,” ucap Zahwa pelan, “kalau suatu hari saya terlihat menjaga jarak… bukan karena tidak menghargai.”
Daniel mengangguk. “Saya tahu. Dan saya akan tetap di sini selama masih pantas.”
Tatapan mereka bertemu sebentar. Tidak lama. Tapi cukup.
---
Di tempat lain, Farhan menatap layar ponselnya lama. Pesannya tak dibalas. Ada rasa kehilangan yang baru ia sadari ketika Zahwa benar-benar tidak lagi berada dalam jangkauannya.
Ia mengetik lagi.
> Aku dengar kamu kerja sama sama orang besar sekarang.
Pesan itu juga tak dibalas.
Untuk pertama kalinya, Farhan merasa… kecil.
---
Malam itu, Zahwa sujud lama. Air matanya jatuh tanpa suara.
Bukan karena sedih.
Tapi karena hatinya diuji
antara masa lalu yang memanggil,
dan masa depan yang belum halal untuk diraih.
Dan di rumah Daniel, seorang pria dewasa duduk diam, menahan diri
karena ia tahu, cinta yang baik tidak tergesa.