NovelToon NovelToon
MANTAN TENTARA BAYARAN: SEORANG MILIARDER 2

MANTAN TENTARA BAYARAN: SEORANG MILIARDER 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Mata-mata/Agen / Trauma masa lalu / Action / Crazy Rich/Konglomerat / Kaya Raya / Balas Dendam
Popularitas:11.7k
Nilai: 5
Nama Author: BRAXX

Setelah menumbangkan Tuan Tua, James mengira semuanya sudah selesai. Namun, di akhir hidupnya, pria itu justru mengungkapkan kebenaran yang tak pernah James duga.

Dalang di balik runtuhnya keluarga James bukanlah Tuan Tua, melainkan Keluarga Brook yang asli.

Pengakuan itu mengubah arah perjalanan James. Ia sadar ada musuh yang lebih besar—dan lebih dekat—yang harus ia hadapi.

Belum sempat ia menggali lebih jauh, kemunculan lelaki tua secara tiba-tiba:
Edwin Carter, penguasa Pulau Scarlett yang ternyata adalah ayah kandung Sophie.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

TUAN CARTER

Pagi Hari – Bandara Internasional Crescent Bay

Sinar matahari masuk melalui atap kaca bandara saat para penumpang keluar dari gerbang kedatangan. Di antara mereka berjalan empat sosok muda, tawa mereka bercampur dengan suara koper yang diseret dan pengumuman dari pengeras suara.

Mereka berada di akhir usia remaja, nyaris menginjak dua puluh tahun. Di barisan depan ada Chase Carter—adik Paula, satu-satunya pewaris keluarga Carter dari Scarlet Island. Beberapa tahun lalu, saat keluarga Carter menghadapi kehancuran, James-lah yang menyelamatkan dia dan Paula. Dan baru-baru ini, Chase mengetahui bahwa James bukan sekadar penyelamatnya—dia adalah keluarga. Sepupu kandungnya. Putra dari bibi yang telah lama hilang. Penemuan itu membuat Chase diliputi kebahagiaan, dan sejak saat itu, dia selalu menyebut “Kak James” dengan penuh hormat dan kebanggaan.

Di sampingnya berjalan Cole, teman sekamar sekaligus sahabat terdekatnya. Bertubuh tinggi dan berotot, dengan rambut cokelat berantakan.

Berjalan bergandengan tangan dengan Cole adalah Isabelle, pacarnya. Bertubuh mungil dan modis, rambutnya diikat kuncir rapi, Isabelle adalah tipe yang tertawa keras, menggoda lebih keras, namun juga siap berdiri di antara Cole dan masalah saat dibutuhkan.

Yang terakhir adalah Lily, salah satu teman terdekat Chase dari kampus. Ada keanggunan dalam dirinya—rambut hitam panjang membingkai wajahnya, mata coklat.

Saat mereka berjalan, Cole meregangkan tubuh sambil menguap dan memutar bahunya.

“Ah, tidur tadi benar-benar nyenyak. Aku masih tidak percaya kakakmu bisa mendapatkan pesawat kelas bisnis untuk kita naiki, Chase.”

Isabelle tertawa, menggenggam tangan Cole. “Petualangan besar setelah tidur nyenyak. Jadi, Chase—kau mengatakan kita akan menginap di rumah kakakmu, kan?”

“Kak James,” Lily menambahkan cepat, senyumnya nakal. “Kau terus membicarakannya. Bahkan di pesawat. Akhirnya kita akan bertemu dengannya secara langsung.”

Cole mendengus, menyikut Chase. “Jangan bilang. Dia pasti juga memimpikannya. Yang kudengar di asrama hanya ‘Kak James ini, Kak James itu.’”

Wajah Chase sedikit memerah, namun ia tersenyum bangga.

“Dia luar biasa. Kalian akan melihatnya nanti.”

Cole menoleh ke sekeliling, menarik kopernya.

“Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang? Haruskah aku memesan taksi atau sesuatu?”

Chase menggelengkan kepalanya, mengeluarkan ponselnya. “Tidak perlu. Aku sudah mengirimkan pesan padanya. Dia mengatakan akan mengirim seseorang untuk menjemput kita.”

Saat itu juga, suara seseorang memotong keramaian.

“Tuan Carter.”

Keempatnya membeku di tempat.

Seorang pria bersetelan hitam rapi berdiri di hadapan mereka, posturnya tegak lurus. Dasi hitamnya tersusun rapi, sepatunya mengilap, dan matanya tersembunyi di balik kacamata gelap.

“Nama saya Grant,” katanya dengan tenang. “Saya agen dari Brook Security. Bos mengutus saya untuk menjemput kalian. Selamat datang di Crescent Bay.”

Chase spontan meluruskan tubuh, nadanya sopan. “Hai.”

Cole, Isabelle, dan Lily saling bertukar pandang cepat, mata mereka membelalak. Agen? Bos? Brook Security? Kata-kata itu membawa bobot yang tak mereka duga.

Grant sedikit menundukkan kepalanya, memberi isyarat dengan tangannya. “Mobil terparkir di luar. Silahkan ikuti saya.”

Saat mereka mengikutinya, Isabelle mendekat ke Lily dan berbisik sambil tersenyum, “Tuan Carter, apa kabar?”

Lily cekikikan menutup mulutnya. Cole ikut menyeringai, “Ya, Tuan Carter, kau tidak mengatakan kepada kami kalau kau sepenting ini.”

Chase memutar mata, namun ujung bibirnya terangkat. Ia tidak keberatan dengan ejekan itu. Bahkan, dia bangga.

Ketika mereka melangkah keluar dari bandara, ada sebuah mobil hitam ramping terparkir di tepi jalan.

Grant bergerak lebih dulu, membuka pintu, “Silahkan,” katanya, singkat dan profesional.

Chase masuk ke kursi penumpang tanpa ragu. Teman-temannya berdesak-desakan ke kursi belakang, masih berbisik-bisik.

Grant menutup pintu, mengitari mobil, lalu duduk di kursi pengemudi.

Mesin menderu hidup, lalu melaju meninggalkan tepi jalan.

Flashback – Firaca, Tambang Batu Bara Pribadi

Matahari terbenam di atas tanah merah dataran tinggi Afrika. Debu menggantung tebal di udara, terusik oleh gemuruh mesin di kejauhan yang menggali urat-urat tambang batu bara.

Di dalam sebuah kantor remang yang dibangun di area tambang, dua pria duduk berhadapan di seberang meja kayu lebar. Ruangan itu sederhana—dinding kosong, peta lokasi tambang tertata rapi, dan aroma batu bara yang melekat pada segalanya.

Di ujung meja duduk Kenan, Seorang pria di akhir usia empat puluhan, bertubuh bidang, dengan kehadiran yang memancarkan wibawa seorang pebisnis sekaligus pemimpin. Kemeja putihnya digulung di lengan, dan mata tajamnya menelaah sosok di hadapannya dengan campuran curiga dan rasa ingin tahu.

Di hadapannya duduk Reaper.

Dia lebih muda dari yang Kenan bayangkan. Berpakaian serba hitam, posturnya tenang namun tak tergoyahkan.

Kenan memecah keheningan lebih dulu, bersandar ke kursinya dengan jari-jari saling bertaut.

“Jadi katakan padaku,” ucapnya dengan nada skeptis, “mengapa Reaper terkenal dari The Veil dari dunia bawah datang sejauh ini… hanya untuk menemui seorang pengusaha biasa?”

Bibir Reaper melengkung tipis, namun suaranya tetap tenang dan dingin.

“Pengusaha biasa? Kenan, kau mungkin menjaga citra publik yang baik di hadapan rakyat-rakyatmu. Jujur, melindungi, bahkan dikagumi.” Tatapannya menajam. “Tapi aku tahu apa yang kau sembunyikan di tambang-tambang ini. Itu tidak membuatmu menjadi pengusaha biasa.”

Ekspresi Kenan menegang, namun ia membalas tatapan Reaper tanpa gentar. “Lalu, apa yang The Veil inginkan dariku? Kau masih muda. Jauh lebih muda dari yang kuperkirakan, mengingat reputasimu.”

Reaper sedikit condong ke depan, nadanya datar, “Kami tahu tentang reruntuhan itu, Kenan.”

Untuk pertama kalinya, ketenangan Kenan goyah. Matanya berkedip terkejut. “Reruntuhan itu? Bagaimana… bagaimana kau bisa tahu tentang itu?”

Reaper memasukkan tangannya ke dalam mantelnya dan meletakkan sebuah dokumen terlipat di atas meja, mendorongnya ke arah Kenan.

“Reruntuhan itu sudah ada jauh sebelum kau menyewa lahan ini untuk pertambangan. Dan aku memiliki peta detailnya. Setiap lorong. Setiap ruangan.”

Kenan mengambil kertas-kertas itu, membacanya dengan cepat, alisnya semakin berkerut di setiap baris. Ia berusaha menyembunyikan kegelisahannya, namun kilatan kekhawatiran tetap terselip di wajahnya.

Suara Reaper kembali memotong keheningan.

“Tenang saja. Aku tidak datang untuk menimbulkan masalah. The Veil tidak menginginkan reruntuhan itu, atau apa pun yang tersembunyi di dalamnya… kecuali satu hal.”

Kenan mengangkat kepalanya perlahan, kecurigaan menyusup dalam nadanya. “Dan apa itu?”

“Sebuah Mayat,” jawab Reaper sederhana, tatapannya tetap tertuju pada Kenan. “Ayah klien kami pernah mengunjungi reruntuhan itu bertahun-tahun lalu dan tak pernah kembali. Sang anak hanya ingin menemukan jasadnya. Lalu memberinya pemakaman yang layak. Tidak lebih.”

Kenan mengembuskan napas, bahunya sedikit mengendur.

“Sebuah mayat. Hanya itu?” Ia tertawa kering sambil menggelengkan kepalanya. “Berarti aku khawatir terlalu berlebihan. Baiklah. Aku akan mengizinkannya.”

Ia berhenti sejenak, lalu condong ke depan dengan siku bertumpu di atas meja. “Tapi aku akan membutuhkan peta itu… Dan ada satu hal lagi. Aku juga ingin menjadi klien The Veil.”

Mata Reaper sedikit menyempit, ekspresinya sulit dibaca. “Aku mendengarkan.”

Rahang Kenan mengeras saat ia menjelaskan.

“Seseorang sedang mencoba mengincar tambang-tambang ini. Mereka mencoba merebut tanah ini dariku. Dan aku tidak akan mengizinkannya. Tanah ini milik rakyatku—bukan milik orang asing yang mengejar keuntungan pribadi.”

Suara Reaper tetap tenang, “Namanya?”

Bibir Kenan melengkung sinis. “Antonio VK.”

“Dia? Tidak masalah. Kami akan menanganinya.” Jawab Reaper santai.

Kenan bersandar ke belakang, mengangguk, “Aku tahu The Veil bisa menangani siapa saja. Itu sebabnya aku membuat kesepakatan ini. Kau akan mendapatkan jasad itu. Aku akan menjaga tambangku tetap aman.”

“Sepakat.” Jawab Reaper sambil tersenyum.

Sekarang – Pearl Villa

Mobil hitam ramping melaju memasuki jalan berpohon. Gerbang besi Pearl Villa terbuka, memperlihatkan kawasan luas di dalamnya. Taman yang terawat rapi membingkai jalan, pohon maple bergoyang tertiup angin.

Mobil berhenti. Grant turun lebih dulu, membuka pintu.

Chase turun, dadanya membusung. Di belakangnya, Cole, Isabelle, dan Lily menyusul, mata mereka membelalak menatap pemandangan kediaman itu.

“Astaga—” gumam Cole pelan, menyeret kopernya ke atas kerikil. “Ini vila? Bro, ini seperti di film-film.”

Isabelle berputar perlahan, pandangannya menelusuri jendela tinggi dan balkon lebar yang dihiasi tanaman merambat. “Ini bukan sekadar vila. Ini adalah mimpi.”

Lily merapatkan kedua tangannya, suaranya lembut namun penuh kagum. “Rasanya begitu… hidup di sini. Damai, tapi juga… megah.”

Para staf keluar dari vila, membungkuk hormat sebelum bergerak mengambil koper mereka.

Cole menyikut Chase sambil tersenyum lebar. “Pantas saja kau tidak pernah berhenti membicarakannya. Kak James. Sekarang aku mengerti. Dia hidup seperti raja.”

Chase terkekeh, kebanggaannya jelas terlihat. “Bukan soal bagaimana dia hidup—tapi siapa dia. Kalian akan segera tahu.”

Isabelle menyeringai. “Kau bicara seperti mau memperkenalkan kami pada seorang superhero.”

“Hampir tepat,” jawab Chase, bibirnya melengkung tipis.

Saat itu, Lily memiringkan kepala, matanya menangkap gerakan di balik taman. “Tunggu… itu—”

Dari jalan setapak hutan maple, seorang pria muncul.

James melangkah dengan mengenakan pakaian olahraga sederhana, keringat tipis berkilau di dahinya, sebuah handuk tersampir di bahunya.

Mata Chase langsung berbinar. Jantungnya berdebar saat ia memanggil, suaranya penuh rasa hormat. “Kak James…!”

1
Noer Asiah Cahyono
lanjutkan thor
MELBOURNE: selagi nunggu bab terbaru cerita ini
mending baca dulu cerita terbaruku
dengan judul SISTEM BALAS DENDAM
atau bisa langsung cek di profil aku
total 1 replies
Naga Hitam
the web
Naga Hitam
kamuka?
Naga Hitam
menarik
Rocky
Karya yang luar biasa menarik.
Semangat buat Author..
Noer Asiah Cahyono
keren Thor, aku baru baca novel yg cerita nya perfect, mudah di baca tapi bikin deg2an🥰
MELBOURNE: makasihh🙏🙏
total 1 replies
Crisanto
hallo Author ko menghilang trussss,lama muncul cuman up 1 Bab..🤦🙏
Crisanto: semangat Thor 🙏🙏
total 2 replies
Crisanto
Authornya Lagi Sibuk..Harap ngerti 🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!