Siang hari, Aditya Wiranagara adalah definisi kesempurnaan: Dosen sejarah yang karismatik, pewaris konglomerat triliunan rupiah, dan idola kampus.
Tapi malam hari? Dia hanyalah samsak tinju bagi monster-monster kuno.
Di balik jas mahalnya, tubuh Adit penuh memar dan bau minyak urut. Dia adalah SENJA GARDA. Penjaga terakhir yang berdiri di ambang batas antara dunia modern dan dunia mistis Nusantara.
Bersenjatakan keris berteknologi tinggi dan bantuan adiknya yang jenius (tapi menyebalkan), Adit harus berpacu melawan waktu.
Ketika Topeng Batara Kala dicuri, Adit harus memilih: Menyelamatkan Nusantara dari kiamat supranatural, atau datang tepat waktu untuk mengajar kelas pagi.
“Menjadi pahlawan itu mudah. Menjadi dosen saat tulang rusukmu retak? Itu baru neraka.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daniel Wijaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BANGKITNYA PENJAGA SITUS
Lokasi: Lereng Gunung Merapi, Sisi Selatan.
Waktu: 02.20 Dini Hari.
Sosok itu merangkak naik, menarik tubuh masifnya keluar dari liang lahat sejarah dengan suara gemuruh batu yang saling bergesekan.
Aditya Wiranagara menahan napas. Dia pernah menghadapi banyak hal aneh—pocong di gedung pencakar langit, genderuwo di basement mall—tapi makhluk ini berada di level yang berbeda.
Tingginya hampir tiga meter saat berdiri penuh. Tubuhnya adalah gumpalan arsitektur candi yang hancur—potongan relief, pecahan stupa, dan batu kali yang disatukan oleh sihir kuno yang marah. Wajahnya adalah lempengan batu retak dengan dua lubang mata yang menyala merah bara, seperti tungku api neraka.
Penjaga Situs.
Legenda yang ditertawakan oleh para profesor sejarah, tapi ditakuti oleh setiap penggali kubur di Jawa. Folklore yang nyata.
Makhluk itu menoleh ke arah Aditya. Geraman rendah keluar dari rongga dadanya, suara yang terdengar seperti dua batu besar yang digiling bersamaan.
Hujan yang jatuh ke tubuh makhluk itu mendesis dan menguap seketika. Panas.
Aditya mendongak, harus mendongak jauh ke atas untuk menatap wajah makhluk itu. Dia merasa sangat kecil. Sangat manusiawi. Dan sangat bodoh karena tidak memilih karier sebagai akuntan saja.
"Rin," panggil Aditya pelan, matanya tidak lepas dari monster itu. Tangannya perlahan bergerak ke punggung.
"Ya, Mas?" suara Karina terdengar gemetar di telinganya.
"Retas kalenderku. Hapus jadwal makan siang besok dengan klien Singapura. Bilang sistemnya error atau apa terserah. Aku tidak bisa datang dengan muka lebam."
"Kenapa? Mas mau mati?"
"Bukan. Karena sepertinya rahangku bakal geser sebentar lagi. Aku tidak mau minum sup lewat sedotan di depan investor."
"Dicatat. Jangan mati ya, Mas. Kalau Mas mati, Mas Arya bakal memotong uang saku bulananku seumur hidup."
"Prioritasmu sungguh menyentuh hati, Dek."
Makhluk batu itu meraung—suara yang membuat gendang telinga Aditya berdenging dan tetesan hujan bergetar di udara—lalu menerjang maju.
Kecepatannya tidak masuk akal untuk makhluk sebesar itu.
Aditya melompat ke samping, berguling di lumpur saat tinju batu sebesar kulkas dua pintu menghantam tempat dia berdiri sedetik yang lalu.
BLARRR!
Tanah meledak. Pohon beringin di belakangnya hancur berkeping-keping seolah terbuat dari tusuk gigi. Serpihan kayu dan batu berterbangan seperti peluru.
"Oke. Dia cepat," gumam Aditya sambil bangkit, napasnya memburu. "Dan kuat. Sangat klise."
Dia merogoh saku belakang pinggangnya, menarik sebuah tabung logam perak sepanjang tiga puluh sentimeter. Dia menekan sebuah tombol.
KLAK-ZING!
Tabung itu memanjang secara teleskopik menjadi tombak pendek sepanjang satu meter. Ujungnya bukan mata tombak biasa, melainkan bilah Keris berlekuk tujuh yang ditempa ulang dengan campuran titanium modern.
Bilah itu berdesing pelan, memancarkan aura kebiruan—teknologi frekuensi resonansi yang dikembangkan Karina untuk mengganggu kohesi roh. Gabungan sains dan mistis.
Makhluk itu berbalik. Matanya yang menyala merah menatap keris di tangan Aditya. Dia mengenali senjata itu. Senjata para Penjaga lama yang dulu menyegelnya.
Raungannya kali ini terdengar lebih personal. Kebencian murni.
Makhluk itu menghentakkan kakinya ke tanah. Akar-akar pohon di sekitar kaki Aditya mencuat liar, berusaha menjeratnya seperti tentakel gurita.
Aditya melompat, menebas akar-akar itu dengan kerisnya. Setiap tebasan meninggalkan jejak cahaya biru di udara.
Dia berlari. Bukan menjauh, tapi menuju makhluk itu.
"Karin! Analisis kelemahan!" teriak Aditya sambil meluncur di bawah ayunan lengan raksasa.
"Dada kiri!" Karina menyahut cepat. "Ada retakan di lempeng andesit bagian dada. Inti energinya terekspos di sana. Tapi Mas harus dekat. Sangat dekat!"
"Selalu begitu," keluh Aditya. "Kenapa kelemahannya tidak pernah di kelingking kaki?"
Aditya menanamkan kakinya di lumpur, lalu melompat vertikal, menggunakan lutut makhluk itu sebagai pijakan.
Dia memanjat tubuh raksasa itu seperti memanjat tebing yang bergerak dan marah.
Makhluk itu meronta, berusaha menepuk Aditya seperti menepuk nyamuk yang mengganggu. Satu tangan batu berhasil menyerempet sisi kanan tubuh Aditya.
KRAK.
Bunyi itu bukan dari armornya. Itu bunyi dari dalam tubuhnya.
Rasa sakit yang menyengat meledak di rusuk kanannya, membuat pandangannya memutih sejenak. Napasnya tercekat. Rasanya seperti ditabrak truk.
Aditya menggigit bibirnya sampai berdarah untuk tetap sadar. Dia tidak boleh jatuh. Jatuh berarti jadi pasta manusia.
Dengan sisa tenaga, dia mencengkeram celah bebatuan di bahu makhluk itu. Dia berada tepat di depan wajah retak sang Penjaga. Hawa panas dari mata makhluk itu membakar kulitnya.
"Maaf," bisik Aditya, matanya yang kini hitam pekat menatap langsung ke dalam bara api di mata makhluk itu. "Tugasmu sudah selesai. Istirahatlah."
Aditya menghujamkan Keris di tangannya ke dada kiri makhluk itu. Tepat ke dalam retakan.
Dia tidak hanya menusuk; dia menyalurkan mantra pengunci lewat genggamannya—sebuah baris puisi Jawa Kuno yang dia hafal di luar kepala.
"Mulih menyang asalmu. Bumi nampa, geni sirep." (Pulang ke asalmu. Bumi menerima, api padam.)
Waktu seolah berhenti sedetik.
Lalu, cahaya merah di mata makhluk itu berkedip. Sekali. Dua kali. Dan padam.
Tubuh raksasa itu kaku. Ikatan sihir yang menyatukan bebatuan dan akar itu terputus seketika.
Dalam ledakan gravitasi, tubuh makhluk itu runtuh. Batu-batu andesit berjatuhan kembali ke tanah, menjadi tumpukan material mati. Akar-akar pohon layu dan kembali diam.
Aditya jatuh bersama reruntuhan itu.
Dia mendarat keras di atas tumpukan lumpur, berguling dua kali sebelum berhenti dengan posisi telentang.
Hujan masih turun deras, membasuh lumpur dan darah dari armor mahalnya yang kini penyok.
Hutan kembali sunyi. Hanya suara napas Aditya yang berat, putus-putus, dan menyakitkan yang terdengar. Rusuk kanannya berdenyut dengan irama rasa sakit yang menyiksa.
"Mas? Mas Adit? Status?" suara Karina terdengar panik di telinga. "Masih hidup?"
Aditya menatap langit gelap di atasnya. Tidak ada bintang. Hanya awan hitam dan air. Dia merasa lelah. Sangat lelah.
Dia mengangkat tangannya perlahan dengan gemetar, menekan tombol di earpiece-nya.
"Target netral," suaranya parau. "Artefak aman. Bayangga gagal mendapatkannya malam ini."
"Syukurlah. Dan kondisi Mas?"
"Hidup. Sayangnya."
Aditya mencoba duduk, tapi rasa sakit di pinggangnya memaksanya kembali berbaring. Dia tertawa kecil, tawa yang berakhir dengan rintihan perih.
"Rin," panggilnya lemah.
"Ya?"
"Siapkan 'Minyak Boreh Nenek' di rumah. Ya, yang ada di botol kaca kusam itu."
Hening sejenak di saluran komunikasi, lalu terdengar suara Karina yang jijik. "Ew. Mas serius? Itu baunya kayak campuran kunyit busuk sama keringat kambing. Mas kan besok harus rapat sama direksi, terus lanjut ngajar di kampus!"
"Bodo amat," desis Aditya. "Daripada aku memimpin rapat sambil merangkak. Siapkan saja. Dan... pesan tiket kereta ekonomi buat besok."
"Hah? Kenapa kereta? Jet pribadi Mas kan ada."
"Karena kalau Mas Arya melihat tagihan perbaikan armor yang hancur ini, dia pasti memblokir akses jet pribadiku. Aku harus hemat."
Aditya memejamkan mata, membiarkan hujan membasuh wajahnya sejenak.
Dia sudah bisa membayangkan: besok dia akan duduk di kelas eksekutif, memakai setelan jas Armani yang rapi, tapi baunya seperti toko jamu berjalan.
Hanya satu lagi malam di kantor untuk Senja Garda.
Dan besok, tagihan untuk semua ini akan datang.
(Bersambung)
👉👉👉
luar biasa!!!
tak kirimi☕semangat💪
💪💪💪thor
jodoh ya thor🤭
makhluk luar angkasa, bukan makhluk halus🤭
💪💪💪adit
tp yakin sg bener tetep menang
was", deg"an, penasaran iki dadi 1
💪💪💪dit
jar, ojo lali kameramu di on ke
💪💪💪 dit