NovelToon NovelToon
Transmigrasi Tanaya Zaman Purba

Transmigrasi Tanaya Zaman Purba

Status: sedang berlangsung
Genre:Transmigrasi / Romansa Fantasi / Ruang Ajaib / Epik Petualangan / Roh Supernatural / Time Travel
Popularitas:6.3k
Nilai: 5
Nama Author: Nyx Author

🔥"Tanaya — Jiwa dari Zaman Purba”

Tanaya, gadis modern yang hidup biasa-biasa saja, tiba-tiba terbangun di tubuh asing—berkulit gelap, gemuk, dan berasal dari zaman purba yang tak pernah ia kenal.

Dunia ini bukan tempat yang ramah.
Di sini, roh leluhur disembah, hukum suku ditegakkan dengan darah, dan perempuan hanya dianggap pelengkap.

Namun anehnya, semua orang memanggilnya Naya, gadis manja dari keluarga pemburu terkuat di lembah itu.

>“Apa... ini bukan mimpi buruk, kan? Siapa gue sebenarnya?”

Tanaya tak tahu kenapa jiwanya dipindahkan.

Mampukah ia bertahan dalam tubuh yang bukan miliknya, di antara kepercayaan kuno dan hukum suku yang mengikat?

Di dalam tubuh baru dan dunia yang liar,
ia harus belajar bertahan hidup, mengenali siapa musuh dan siapa yang akan melindunginya.

Sebab, di balik setiap legenda purba...
selalu ada jiwa asing yang ditarik oleh waktu untuk menuntaskan kisah yang belum selesai.

📚 Happy reading 📚

⚠️ DILARANG JIPLAK!! KARYA ASLI AUTHOR!!⚠️

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nyx Author, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

|Nyasar?...

✨ Kehidupan baru...

“Naya!! Hei, bangun!!”

“Naya!! Kenapa kau ada di sini, hah?!”

Tak lama, suara asing seorang pria menggema di antara desiran ombak. Tepukan tangannya yang tergesa itu menyentuh pipi seorang gadis yang terbaring di atas pasir lembut.

Udara laut terasa asin dan lembap, angin sore membelai lembut helai rambutnya yang berantakan.

“Ugh…”

Perlahan mata gadis itu mulai terbuka, pandangannya sedikit buram sebelum akhirnya fokus menatap sosok di hadapannya—seorang pria muda dengan tubuh kekar, berkulit kecokelatan, dan pakaian yang terlihat… aneh.

Seperti di buat dari helaian daun, serat tumbuhan, dan kulit hewan menutupi tubuhnya secara sederhana.

Melihat itu, gadis itu menegakkan tubuhnya dengan wajah panik.“Eh!! Siapa lo?!” serunya spontan, matanya membulat kaget dan penuh kewaspadaan.

Pria itu mematung, keningnya berkerut. “Apa yang kau katakan, Naya? Kenapa kau menatapku seperti tak mengenalku?”Nada suaranya terdengar bingung.

"Ck, Sudahlah, sebaiknya kita pulang. Keluargamu mencarimu! Tak lihat, matahari sudah hampir tenggelam? Dari mana saja kau?”

Mendengar itu, napas gadis itu tercekat. Tunggu?! Keluarga? Bukankah ia sudah tak punya siapa pun? Dan bukankah… barusan ia tertabrak mobil malam itu?

Ya! Dia Tanaya! Entah bagaimana bisa ia berada disini, namun kesadarannya mulai kembali. Kilasan cahaya, suara rem, hujan dan tubuhnya yang terlempar—semuanya masih muncul dalam kepalanya.

Tapi...

“Akh!!”

Tiba-tiba ia menjerit kecil, sambil memegangi kepalanya yang berdenyut keras. Rasa sakitnya seperti ribuan pisau menembus dari dalam tengkoraknya.

“Hei!! Naya!! Kau kenapa?!”

Pria itu ikut panik, tangannya terulur ragu, tak berani menyentuh. Ia hanya menatap dengan cemas, langkahnya maju-mundur di atas pasir.

Tanaya meringkuk, menggigit bibirnya. Dalam rasa sakit itu, sesuatu—ingatan asing tiba-tiba menyeruak masuk ke dalam pikirannya.

Gambar-gambar samar berkelebat: sebuah gua besar, api unggun yang menyala, wajah-wajah yang belum pernah ia lihat namun terasa akrab.

Perlahan, semuanya tersusun menjadi satu kesadaran. Ia bukan lagi di dunia yang ia kenal.

Tubuh yang kini ia huni adalah milik seorang gadis berusia lima belas tahun—Nayata.

Putri dari Tharen dan Sira. Ia juga memiliki seorang kakak laki-laki bernama Yaren, dan pria di depannya ini adalah sahabat baik kakaknya, yang bernama Liran.

Kedua orang tua Naya begitu memanjakan putri satu-satunya itu. Begitu pula kakaknya, Yaren, yang selalu menuruti setiap keinginannya tanpa banyak kata. Sejak kecil, Naya tumbuh menjadi gadis manja dan pemalas.

Tubuhnya gemuk, kulitnya legam karena matahari, dan langkahnya sering lamban seperti enggan bergerak. Hal itu membuatnya sering menjadi bahan bisik-bisik para pemuda di suku—tak banyak dari mereka yang berani meliriknya, apalagi meminangnya.

Namun Naya tidak menyerah. Ia tetap berusaha mendekati para pria tampan di sukunya, meski sering berakhir dengan tawa atau tatapan iba.

Ayahnya, Tharen, adalah pemburu sekaligus petarung paling kuat di lembah mereka. Begitu pula dengan Yaren, kakaknya yang mewarisi darah keberanian dan kekuatan sang ayah. Keduanya terkenal sebagai pelindung suku, sehingga tak ada seorang pun yang berani menyinggung keluarga mereka.

Berkat mereka, hidup keluarga itu tidak pernah kekurangan. Daging hasil buruan selalu melimpah, buah-buahan terbaik selalu tersedia. Dan mungkin karena itulah, tubuh Naya tumbuh makmur—lebih dari gadis lain seusianya.

Namun, satu hal yang tak pernah dipahami Tanaya adalah… bagaimana dirinya bisa terdampar di tempat ini.

Di depannya, terpampang pantai yang luas, dengan angin asin yang lembut, dan ombak yang terus memecah di batu-batu karang.

Ia hanya mengingat sedikit tentang gadis itu—tentang kehidupannya yang sederhana namun penuh kasih. Tapi alasan mengapa tubuh itu kini berbaring di tepi laut… ia sama sekali tak tahu.

Tharen… Sira… Yaren… Liran…

Nama-nama itu terasa asing di telinga nya, tapi di dalam pikirannya seperti sudah tertulis sejak lama.

Apakah ia sedang mengalami… transmigrasi? Tapi, bukankah itu cuma ada di novel-novel fantasi? Dan bagaimana mungkin—bagaimana bisa—ia terjebak di dunia yang terasa begitu purba dan nyata?

“Naya! Nay! Kau kenapa sih?! Ayo pulang, sebelum roh penjaga pantai murka padamu, jika kita terlalu lama disini” teriak liran lagi, nada suaranya semakin gelisah dengan matanya menatap sekeliling, seakan takut ada sesuatu yang tak terlihat mengintai.

Dia memang penakut... Hanya saja badannya yang besar.

Tanaya tak menjawab. Ia masih duduk di pasir, raut wajahnya sedikit syok dan tidak percaya. Perlahan matanya menatap langit senja yang berwarna jingga keemasan di kejauhan pantai.

Jika ini bukan mimpi—maka dunia yang ia kenal… telah benar-benar hilang.

...>>>...

“Bibi Sira! Bibi Sira! Lihatlah... Aku menemukan Naya!!”

Suara Liran terdengar nyaring menembus senja saat ia berlari menuruni jalan setapak yang dikelilingi batu-batu besar, lalu membawa Naya menuju halaman sebuah rumah kecil yang setengahnya menjorok ke dalam tebing batu—seperti gua yang diubah menjadi tempat tinggal.

Tanaya yang melihat itu menatap sekelilingnya dengan mata membulat. Semuanya tampak terasa asing: dinding batu berlumut, bau asap kayu, suara dedaunan kering yang tertiup angin.

Dunia ini... benar-benar bukan dunia yang ia kenal.

Namun sebelum ia sempat berkata apa pun, seorang wanita perlahan keluar dari dalam gua—tergesah. Matanya sembab, rambutnya terurai indah, dan begitu pandangannya jatuh pada Naya—ia langsung menjerit lirih dan berlari menghampiri.

“Naya! Ya dewa langit... Putrikuu! Dari mana saja kau, Nak?!” serunya dengan suara bergetar.

Tanpa menunggu jawaban, wanita itu langsung memeluknya erat—seolah takut anaknya akan menghilang lagi.

“Ibu hampir gila mencarimu! Kau tahu... seharian ini Ibu tak berhenti menangis...”

Pelukannya begitu hangat, rapuh, dan penuh kerinduan. Tanaya terdiam, tubuhnya kaku, hatinya gemetar. Ia belum pernah... merasakan pelukan seperti ini sebelumnya.

Untuk sesaat, waktu seolah berhenti. Perlahan, tangannya terangkat—ragu—lalu membalas pelukan itu dengan lembut.

Senyap, hanya suara angin dan pepohonan rindang di belakang sana yang menjadi saksi.

'Apakah seperti ini... rasanya dipeluk seorang ibu?'batinnya bergetar, dan tanpa sadar, matanya ikut basah.

“Kau dari mana saja, Nak? Kenapa bajumu basah? Bukankah tadi pagi kau bermain bersama Lani?”Suara Sira terdengar penuh cemas saat ia melepaskan pelukannya.

Tanaya membeku. Lani? Siapa itu...?

“E-Emm... Aku... Aku tadi ada di pinggir pantai. Maaf... sudah membuat I—ibu khawatir”ucapnya pelan, suaranya terdengar kikuk saat menyebut kata ibu yang terasa asing di lidahnya. Tapi ia tetap mencoba tersenyum.

Sira menghela napasnya panjang, kelegaannya perlahan menggantikan ketegangan di wajahnya.

“Syukurlah kalau kau baik-baik saja, Nak. Hari ini ayah dan kakakmu akan pulang. Ibu takut kalau mereka tahu kau tidak ada di rumah malam ini...”Ia menatap Naya lembut namun khawatir.“Kau tahu, mereka pasti akan lebih panik dari Ibu.”

Tanaya hanya bisa terdiam. Ia bisa merasakan tulusnya kekhawatiran wanita itu—rasa yang begitu asing, tapi entah kenapa membuat dadanya hangat dan perih di saat bersamaan.

“Emm... Bibi Sira, aku pulang dulu, ya. Naya sudah kutemukan, aku takut kalau ibuku mencariku nanti,” ujar Liran sambil melangkah mendekat.

“Ah, baiklah... tunggu sebentar, Liran!”

Sira segera berbalik masuk ke dalam gua. Tak lama kemudian, ia keluar kembali sambil membawa bungkusan besar di tangannya.

“Ini untukmu,” katanya sambil tersenyum hangat. “Maaf ya, sudah merepotkanmu. Sampaikan salam Ibu pada ibumu, Nak.”

Ia menyerahkan potongan paha bison besar—hadiah sederhana tapi bermakna. Hubungan antara keluarga Naya dan keluarga Liran memang dekat sejak lama.

Liran menerima bungkusan itu dengan senyum kecil. “Terima kasih, Bibi Sira. Tenang saja, Naya sudah kuanggap seperti adikku sendiri.”

“Hati-hati di jalan, Liran.”

“Iya, Bibi.”

Pemuda itu perlahan melangkah pergi, meninggalkan tanaya yang masih menatapnya kepergiannya. Ia baru sadar hubungan antara pria itu dan sosok dari raga ini sangat hangat.

“Ayo, Nak. Sebaiknya kita masuk... Matahari sudah tenggelam. Apa kau tidak lapar? Ibu sudah menyiapkan makanan kesukaan mu,” ujar Sira lembut sambil menggandeng tangan Naya masuk ke dalam gua.

Begitu masuk, Tanaya sempat tertegun.

Ruangan itu gelap, hanya diterangi beberapa obor kecil yang menempel di dinding batu dan jejak goresan tangan manusia purba. Bayangan api menari-nari di permukaan gua, memantulkan cahaya jingga yang terasa hangat tapi asing.

Tak ada apa pun di sana—hanya kesunyian dan udara lembap yang berbau tanah basah. Lantai gua terasa dingin di telapak kakinya, membuat Tanaya tersadar... ia bahkan tak mengenakan alas kaki.

Di sekitarnya, hanya ada batu dan dinding kasar. Tak ada jejak dunia modern yang pernah ia kenal. Dan seketika, rasa sunyi itu berubah menjadi sesuatu yang menakutkan—seolah gua itu bisa mendengar setiap tarikan napasnya.

“Ganti bajumu dulu, ya. Ibu akan menyiapkan makanan untukmu,” ucap Sira lembut sambil menunjuk ke salah satu lubang kecil di sisi tembok gua.

Lubang itu tampak lebih sempit dari yang lain, seolah hanya cukup untuk satu orang. Tanaya menatapnya ragu, lalu perlahan melangkah masuk setelah wanita itu menghilang di lorong gelap.

Ia terdiam saat, ruangannya tampak kecil bahkan lebih sederhana dari yang ia bayangkan. Tak ada perabot, tak ada benda modern—hanya kegelapan, udara lembap, dan tumpukan kulit binatang di sudut ruangan.

“Apa itu... pakaiannya?” gumamnya pelan, memicingkan matanya menatap tumpukan kulit yang dilipat rapi.

Ia menelan ludahnya sambil menyentuh ujung kain dari kulit itu. Teksturnya kasar, dingin, dan berbau hewan. Persis seperti yang dikenakan oleh penduduk di luar tadi.

“Gila... Gue bener-bener enggak tahu harus percaya atau enggak. Tapi yang pasti gue benar-benar hidup di zaman mereka,” bisiknya getir.“Apa... gue harus pakai ini? Tapi gimana caranya.” gumamnya pelan, mencoba menenangkan diri.

Dengan hati-hati, ia mulai mengambil selembar kulit yang paling tipis, mencoba membayangkan bagaimana cara memakainya.

Namun saat bergerak, pandangannya tertuju pada dinding batu di depannya—licin dan mengilap karena basah. Cahaya obor dari luar sedikit memantul di sana, menampilkan bayangan samar dirinya.

Tanaya tertegun.

Bayangan itu... bukan dirinya. Bukan kulit cerah dan tubuh ramping yang ia kenal.

Yang menatap balik padanya adalah seorang gadis berkulit legam, dengan pipi bulat dan rambut hitam tebal yang menjuntai acak-acakan. Tubuhnya gemuk, pergelangan tangannya lebih besar dari biasanya.

“Itu... Gue?” suaranya bergetar. Ia menyentuh wajahnya sendiri tak percaya, lalu menatap bayangan di batu itu lagi.

Nafasnya memburu, jantungnya berdetak cepat. Dunia di sekitarnya seperti berputar sesaat—antara mimpi, kenyataan, dan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.

“Naya! Apa kau sudah selesai, Nak?”

Suara Ibu Sira menggema lembut dari luar, membuat Tanaya sontak menoleh panik.

“I-iiya... s-sebentar lagi Bu!” jawabnya terbata.

Dengan tergesa, ia segera melepas pakaian kulit basah yang menempel di tubuhnya, lalu mengenakan yang kering dari tumpukan di sudut ruangan. Teksturnya kasar dan berat, membuat kulitnya terasa gatal dan lengket saat memakainya.

Apa gadis ini... tidak pernah mandi? batinnya frustasi sambil menatap kedua tangannya yang kotor oleh debu.

Setelah selesai tanaya buru-buru keluar dan disana dan mendapati Sira duduk di lantai batu dengan hidangan makanan besar seperti daging rebus yang di alasi beberapa daun.

Melihat itu tanaya kembali tersentak. Sira menoleh, senyumnya mengembang saat melihat putrinya yang sudah berganti pakaian.

"Ah! Begitu kan cantik... Ayo kemari, kau belum sarapan dari pagi nak... Lihatlah, kau sedikit kurusan."

Wanita itu perlahan menarik Tanaya duduk di sampingnya. Lalu mengambil sepotong daging dan meletakkannya di atas daun di depan Tanaya. Entah daging apa itu tapi kenapa besar sekali.

“Makanlah. Ini daging kelinci kesukaan mu, dagingnya sangat lembut ibu sudah merebus nya sesuai keinginan mu...”

Tanaya menatap potongan daging besar itu lama. Asapnya masih mengepul, aromanya kuat tapi asing. Ia menelan ludahnya perlahan.

Hanya daging yang direbus? Tidak ada yang lainnya? Dunia macam apa ini? Apa makanan mereka cuma ini saja setiap hari? Pantas saja tubuh Naya gemuk. Ditambah dengan sifatnya yang malas, membuat nya tak heran jika gadis itu benar-benar seperti yang ia lihat di dalam ingatannya.

Ia kembali menatap potongan daging besar di depannya. Perutnya terasa melilit lapar, tapi pandangannya beralih ke kedua tangannya—kotor, penuh debu, dan noda bekas tanah.

Ia menelan ludahnya pelan. Ia... Tidak bisa makan dengan tangan seperti ini.

Matanya berkeliling, mencari sesuatu—air, atau wadah untuk mencuci tangan. Namun tak ada apa pun selain batu dan daun kering di sekitarnya.

"Emm.. ibu bisahkah aku—"

“Ibu aku pulang..."

Sebelum Tanaya melanjutkan kalimatnya, tiba-tiba suara berat dan dingin terdengar dari arah pintu masuk gua membuatnya sedikit tersentak dan menoleh ke arah pintu—cepat.

...•To Be Continued......

1
Angela
lanjut thor
Lala Kusumah
double up dong Thor, ceritanya tambah seruuuuu nih 🙏🙏👍👍
Yani
update lagi Thorr, semangat 💪🙏🙏
Musdalifa Ifa
rua lelaki kurang ajar ih dasar lelaki brengsek😤😤😤😠😠😠
Lala Kusumah
Naya hati-hati sama buaya darat 🙏🙏🙏
anna
❤❤👍🙏🙏
Andira Rahmawati
dasar laki2 munafik..naya harus lebih kuat..harus pandai bela diri..knp tadi naya tdk msk ke ruang rahasianya saja..
Yani
aku mau izin masuk grup dong Thorr, sdh aku klik tapi gak ada ya lanjutannya. apa belum di accept ya🥰🥰🙏
📚Nyxaleth🔮: Maaf kak... ceritanya error enggak bisa di masukin di grub. Aku udah up disini kok, bentar lagi muncul. kata-kata nya udah AQ perbaiki. makasih udah nunggu🙏❤️
total 1 replies
Yani
ayok lanjut Thorr crita nya
Angela
yah cuman 1 eps , kurang banyak thor kalau bisa 2 eps
💜 ≛⃝⃕|ℙ$°INTAN@RM¥°🇮🇩
lanjut kak
Angela
lanjut thor,aku suka ceritanya😍
RaMna Hanyonggun Isj
sedikit sekali update x sekali update x 50 ep kha
Lala Kusumah
Naya emang hebaaaaaatt baik hati dan tidak sombong 👍👍👍😍😍
Muhammad Nasir Pulu
lanjut thorr..baru kali ini dapat cerita yg menarik, bagus dan ini kali pertama selama baca novel baru ku tinggalkan jejak
Andira Rahmawati
lanjut..thor...
Musdalifa Ifa
wah bagus sekali Tanaya pengetahuan dunia modern bisa menjadi solusi untuk hidup lebih baik di dunia kuno
Lala Kusumah
makasih double updatenya ya 🙏🙏🙏
anna
🙏❤👍
Rena🐹
itu kan ada mobil kenapa kagak di pakee/Frown/

tapi klo di pake trs Tanaya selamat ya ceritanya ga bakal sesuai sihh
📚Nyxaleth🔮: /Curse/ Astaga kak, enggak ekspek bakal ada yang komen gini. tapi iya juga sih🤭🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!