Di hari pernikahannya, Farhan Bashir Akhtar dipermalukan oleh calon istrinya yang kabur tanpa penjelasan. Sejak saat itu, Farhan menutup rapat pintu hatinya dan menganggap cinta sebagai luka yang menyakitkan. Ia tumbuh menjadi CEO arogan yang dingin pada setiap perempuan.
Hingga sang ayah menjodohkannya dengan Kinara Hasya Dzafina—gadis sederhana yang tumbuh dalam lingkungan pesantren. Pertemuan mereka bagai dua dunia yang bertolak belakang. Farhan menolak terikat pada cinta, sementara Kinara hanya ingin menjadi istri yang baik untuknya.
Dalam pernikahan tanpa rasa cinta itu, mampukah Kinara mencairkan hati sang CEO yang membeku? Atau justru keduanya akan tenggelam dalam luka masa lalu yang belum terobati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
“Kalau Tuhan itu ada dan bersikap adil, kenapa hidupku harus sehancur ini?” tanya Farhan yang suaranya mulai bergetar meski ia berusaha terlihat tenang,
Ia menoleh ke arah jendela, seolah-olah lebih mudah berbicara pada malam dibanding pada wanita yang berdiri di hadapannya dengan mata penuh harap.
“Aku sudah berusaha hidup dengan baik dan menjalankan semua perintahnya. Aku nggak pernah minta banyak. Tapi apa yang aku dapat?” Farhan tertawa kecil lagi, kali ini lebih pahit. “Yang aku dapat hanya kehilangan, pengkhianatan dan rasa sakit yang nggak ada habisnya.”
Tangannya mengepal di sisi tubuhnya.
“Tuhan itu egois, Kinara. Dia memberi harapan, lalu menghancurkannya sesuka hati. Seolah hidup manusia ini cuma mainan.” katanya lirih namun tajam.
Kinara menahan napasnya. Ia bisa merasakan rasa sakit yang dirasakan suaminya. Rasa sakit yang tidak lahir dari kebencian semata, tapi dari kelelahan panjang yang tak pernah sembuh.
“Mas…” suaranya bergetar tipis. “Tuhan tidak seperti itu.”
Farhan langsung menoleh. Tatapannya tajam, dingin, dan lelah.
“Jangan ceramahi aku,” katanya singkat.
Kinara terdiam sejenak, lalu melangkah mendekat dan hanya ingin suaminya tahu bahwa ia ada bersamanya.
“Aku tidak bermaksud menasehati Mas dengan cara yang menggurui. Aku hanya ingin mas tahu bahwa mungkin yang kita anggap hukuman, sebenarnya adalah jalan yang belum kita pahami.”
Farhan mendengus kecil.
“Kalimat itu terlalu indah untuk hidup yang berantakan seperti punyaku.” sahut Farhan yang membuat Kinara menggeleng pelan.
“Aku juga tidak selalu mengerti kehendak Tuhan, Mas. Aku juga pernah mempertanyakan cobaan yang ia berikan padaku. Tapi aku percaya, Tuhan tidak pernah membenci hamba-Nya. Yang sering kali terjadi, manusialah yang terlalu malas untuk melihat cahaya-Nya.” jawab Kinara sembari menatap suaminya dengan tegar.
“Aku nggak butuh ceramah malam ini.”
Kalimat itu terdengar singkat, tapi cukup untuk membuat Kinara terdiam. Tangannya yang sejak tadi mengepal, perlahan mengendur. Ada perih yang mengendap di dadanya, tapi ia menelannya dalam-dalam.
Ia tahu, ini bukan waktunya untuk memaksa Farhan seperti yang ia inginkan.
“Baik, Mas,” ucap Kinara akhirnya, suaranya tetap penuh pengertian meski hatinya sedikit bergetar. “Aku tidak akan memaksa.”
Farhan tidak menjawab.
Kinara menarik napas pelan. Ia melangkah mundur satu langkah untuk memberi suaminya ruang untuk berpikir.
“Aku akan sholat sendiri, Dan aku akan mendoakan yang terbaik untuk Mas.”
Farhan menoleh sekilas. Ada sesuatu yang terlihat di matanya, sebuah rasa bersalah, namun ia segera menyembunyikannya dengan cepat agar tidak diketahui oleh Kinara.
“Terserah,” jawab Farhan dengan dingin.
Kinara tidak membalas perkataan Farhan. Ia hanya mengangguk pelan, lalu berbalik menuju lemari untuk mengambil pakaian dan alat sholatnya. Setiap langkah terasa berat, tapi ia memaksakan dirinya tetap tenang. Bukan karena ia tidak terluka. Tapi karena ia memilih untuk bersabar.
Dengan gerakan cepat, Kinara meraih pakaian yang sudah ia ambil dari dalam lemari. Gaun pengantinnya terasa semakin menyesakkan, bukan karena ketat, tapi karena semua yang terjadi malam ini masih berputar-putar di kepalanya.Tanpa berkata apa-apa lagi, ia masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintunya perlahan.
Farhan menghembuskan napas berat. Dadanya terasa sesak tanpa alasan yang jelas. Ia berjalan mendekati ranjang, lalu menjatuhkan tubuhnya begitu saja ke atas kasur. Kedua matanya menatap langit-langit kamar dengan kosong. Lampu kamar yang temaram membuat bayangannya bergerak samar di dinding, seolah-olah pikirannya ikut berantakan.
Ia mengangkat satu tangannya, tangan yang masih terbalut perban, lalu menaruhnya di atas dadanya untuk merasakan detak jantungnya yang tidak karuan. Entah kenapa, pikirannya tidak bisa diam. Ia mencoba memejamkan matanya dan berniat untuk tidur. Namun beberapa menit kemudian, Pintu kamar mandi terbuka. Membuat Farhan refleks menoleh.
Dan seketika itu juga, tubuhnya terasa kaku.
Kinara melangkah keluar dengan langkah pelan. Gaun pengantinnya sudah ia ganti. Kini ia mengenakan gaun tidur satin berlengan panjang berwarna lilac. Bahannya yang lembut, jatuh mengikuti tubuh Kinara tanpa berlebihan, tapi cukup untuk membuat siapa pun yang melihatnya menahan napas.
Rambut Kinara terurai bebas. Panjang, sedikit bergelombang dan masih tampak lembap di ujungnya. Tidak ada hijab yang menutupi kepalanya. Dan entah kenapa, justru itu yang membuatnya terlihat berbeda dan mengganggu pikiran Farhan. Farhan terpaku. Tubuhnya menegang tanpa ia sadari. Matanya mengikuti setiap gerakan Kinara, dari cara ia merapikan ujung lengan gaunnya, hingga saat ia melangkah kecil menuju meja untuk mengambil mukenanya.
Farhan menelan ludah. Dadanya berdegup lebih kencang dari yang seharusnya. Ia tidak ingin menatap Kinara. Sungguh. Tapi kedua matanya itu seperti menolak perintahnya. Pandangannya turun pelan pelan dan tanpa izin, dari wajah Kinara ke rambutnya, lalu ke bahunya yang jenjang hingga memperhatikan siluet tubuhnya yang terbungkus satin lembut itu.
Sial.
Farhan memejamkan mata cepat-cepat, seolah tertangkap basah oleh pikirannya sendiri. Namun terlambat, Kinara berhenti bergerak karena merasa ada yang memperhatikannya sedari tadi. Ia mengangkat wajahnya dan tepat saat itu, pandangannya bertemu dengan mata Farhan yang masih memperhatikannya.
Beberapa detik yang terasa terlalu lama.
Farhan langsung gelagapan. Wajahnya terasa panas. Tanpa berpikir panjang, ia buru-buru membalikkan badan, menarik selimut dan memunggungi Kinara. Kinara terdiam beberapa detik, lalu senyum kecil muncul di bibirnya. Ia menggeleng pelan saat melihat tingkah suaminya yang terlihat seperti anak kecil yang ketahuan melakukan sesuatu tapi terlalu gengsi untuk mengaku.
“Mas Farhan…” gumam Kinara pelan, nyaris seperti senyum yang tertahan.
Ia tidak menegur agar tidak mengganggu Farhan suaminya yang sedang berpura-pura tidur itu. Kinara kemudian mengambil sajadahnya dan menggelarnya di samping ranjang sebelum akhirnya ia pun melakukan sholat isya seorang diri.
“Allahu Akbar.”
Suara Kinara terdengar lirih namun jelas. Gerakannya tenang dan tidak terburu-buru. Seolah-olah dunia di sekitarnya berhenti saat ia berdiri di hadapan Tuhannya. Farhan mendengar setiap bacaan sholat yang Kinara lafalkan dengan pelan dan penuh penghayatan. Dan entah mengapa hal itu membuat Farhan merasakan dadanya semakin sesak. Saat sholat selesai, Farhan mengira kalau Kinara akan langsung naik ke atas ranjang. Tapi tidak.
Ia melihat Kinara tetap duduk dan memanjatkan doa kepada sang pencipta, yang sebagian besar dipanjatkan mengenai dirinya.
“Ya Allah, Aku tidak tahu bagaimana caranya menenangkan hati seseorang yang terluka sedalam suamiku. Aku tidak tahu kapan Engkau akan membukakan pintu hatinya kembali. Tapi aku percaya, Engkaulah Maha pengasih dan Maha Mengetahui apa yang tidak aku pahami. Ya Allah, jika malam ini Mas Farhan merasa sendiri, tolong jadilah Engkau sebagai temannya. Jika di dalam hatinya penuh dengan amarah, tolong lembutkan hatinya dengan cara-Mu. Jangan Engkau biarkan ia merasa ditinggalkan, karena aku tahu, ia hanya terluka akan takdir yang tidak berjalan sesuai dengan rencananya. Aku nggak minta dia langsung mencintaiku, ya rabb. Aku cuma minta Engkau untuk menjaga hatinya. Sembuhkan lah hatinya pelan-pelan. Dan kalau aku bisa menjadi bagian kecil dari proses itu, tolong kuatkan aku.”
Untuk mencapainya, Allah subhanahu wata'ala telah memberi pedoman dalam Al-Qur'an, dan Rasulullah SAW telah menjadi tauladan untuk meraih keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Bahwasannya keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah berarti menciptakan rumah tangga yang tenang (sakinah), penuh cinta (mawaddah), dan kasih sayang (warahmah) dengan landasan kuat pada keimanan dan ketaqwaan,
dapat tercapai jika suami istri saling memenuhi peran dan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya...😊
Aku ikut terharu membaca Bab22 ini, hati jadi ikut bergetar...👍/Whimper//Cry/