Kerajaan itu berdiri di atas darah, dusta, dan pengkhianatan.
Putri Mahkota yang logis dan penuh tanggung jawab mulai goyah ketika seorang tabib misterius menyingkap hatinya dan takdir kelam yang ia sembunyikan.
Putri Kedua haus akan kekuasaan, menjadikan cinta sebagai permainan berbahaya dengan seorang pria yang ternyata jauh lebih kuat daripada yang ia kira.
Putri Ketiga, yang bisa membaca hati orang lain, menemukan dirinya terjerat dalam cinta gelap dengan pembunuh bayaran yang identitasnya bisa mengguncang seluruh takhta.
Tiga hati perempuan muda… satu kerajaan di ambang kehancuran. Saat cinta berubah menjadi senjata, siapa yang akan bertahan, dan siapa yang akan hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 2 : Hukuman Tidak Membuat Kalian Jera
Begitu kain penutup mata terlepas dari wajahnya, Veyra terkejut melihat kedua kakaknya berdiri tak jauh dari sana. Dia segera menyembunyikan busurnya di belakang punggungnya saat dia memalingkan wajahnya dengan gugup. Melirik kakaknya dengan canggung.
“Yvaine, Lyanna...apa yang kalian lakukan di sini?”
Yvaine melangkah mendekat, matanya tajam penuh teguran. “Seharusnya aku yang mengatakan hal itu. Veyra, apa yang kamu lakukan? Bermain dengan senjata lagi? Bagaimana jika ayah melihatmu?”
“Ayah?” Veyra mengerutkan keningnya dan memutarkan matanya dengan malas. “Kenapa kamu berbicara seolah hanya aku yang salah? Bukankah kalian juga melanggarnya?”
Lyanna tertegun. Dia menunjuk dirinya sendiri dengan protes. “Apa maksudmu? Aku salah apa? Kenapa aku juga kena?”
“Cukup...” Yvaine memegang tangan Veyra. “Kita harus pergi, ayah mencari kita sekarang.”
Alis Veyra mengerut. “Ha? Mencari kita? Untuk apa?”
“Membicarakan sesuatu yang sering ayah bicarakan.” Lyanna melangkah maju.
Mendengar hal itu, Veyra langsung menepis tangan Yvaine dan melangkah mundur. “Tidak, aku tidak mau jika membicarakan hal itu. Kalian saja yang pergi menemuinya, aku sudah lelah mendengarnya.”
“Kau tidak bisa melakukannya, Veyra.” Lyanna menggeleng. “Jika kau tidak datang, ayah pasti akan menanyakanmu. Kita harus menghadapinya sekarang. Kita tidak punya pilihan.”
Veyra menggeleng. “Aku bilang, tidak! Kalau kalian ingin pergi, pergilah! Aku sungguh tidak ingin menemuinya.”
“Veyra...” Lyanna meraih tangan Veyra. “Bukan hanya kamu saja yang lelah, kami juga lelah mendengarnya....tapi kita harus tetap pergi.”
Alis Veyra mengerut. “Kalau kalian lelah, lalu kenapa kalian masih memaksakan diri untuk membicarakan sesuatu yang kalian tidak suka?”
“Karena kita harus!” Yvaine menyela dengan tegas. Matanya menatap tajam ke arah Veyra. “kita harus pergi, temui ayah, bicarakan apa yang dia inginkan setelah itu selesai. Semakin lama kita menghindar, semakin besar ayah juga mencurigakan kita.”
Lyanna menoleh ke arah Veyra. “tolong Veyra...tahan emosimu sebentar. Melawan ayah sekarang tidak akan ada gunanya.”
“...”
Sebelum Veyra sempat menjawab, suara lain menyela pembicaraan mereka.
“Melawan apa yang tidak ada gunanya?”
Ketiga gadis itu menoleh dengan cepat. Terkejut saat melihat seorang wanita berjalan dengan anggun menggunakan pakaian indahnya. Mahkota di atas kepala terlihat indah. Wanita itu adalah Ratu Celestine, ibunda mereka. Sementara di sampingnya, seorang laki-laki dengan jubah panjang dan mahkota besar di atas kepalanya menunjukkan kekuasaannya. Laki-laki itu adalah Raja Marius, ayah mereka.
Namun alisnya langsung mengerut saat melihat pemandangan di depannya. Halaman belakang istana yang berantakan penuh dengan senjata membuat matanya langsung menyorot ke arah Veyra.
“Veyra, kamu bermain senjata lagi?”
Mendengar itu, Veyra terdiam. Dia memalingkan wajahnya ke arah lain saat kepalanya sedikit menunduk.
Sementara Marius kembali melirik ke arah putrinya yang lain. Matanya menyipit penuh kecurigaan saat melihat debu yang menempel di rambut Yvaine dan gaun merah Lyanna yang sedikit basah seolah habis dari halaman istana.
“Jadi...kalian masih berani melanggar larangan ku? Membaca buku, memainkan alat musik di halaman istana dan bahkan...bermain senjata?”
Ketiga putri itu hanya terdiam. Kepala mereka menunduk seolah tidak ada kata yang bisa mereka lontarkan.
Marius menghela nafas. Matanya melihat ke arah pohon yang terdapat anak panah yang tertancap di sana hingga membuat dia kembali menatap putri-putrinya.
“Kenapa kalian begitu sulit di atur? Apa hukuman yang selama ini kuberikan belum cukup membuat kalian jera?”
Melihat mereka masih terdiam, Marius memalingkan wajahnya dan mengibaskan tangannya dengan kesal.
“kalau memang kalian tidak bisa di kendalikan, maka aku akan menyita semuanya. Perpustakaan...halaman istana beserta alat musik dan...seluruh senjata di istana ini.”
Ketiganya terkejut. Mereka tidak akan menyangka keputusan yang sama kembali terulang.
“Tidak bisa...” Veyra membantah. “Ayah tidak bisa melakukan hal seperti itu lagi.”
Marius berbalik dan berjalan pergi. “Aku bisa melakukannya! Tidak ada bantahan lagi, lakukan apa yang aku inginkan sebelum aku benar-benar melenyapkan semuanya.”