Di sebuah desa yang masih asri dan sejuk juga tak terlalu banyak masyarakat yang tinggal hidup lah dengan damai jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota yang sibuk.
Kegiatan yang wajar seperti berkebun, memancing, ke sawah, juga anak-anak yang belajar di sekolah.
Di sekolah tempat menuntut ilmu banyak yang tak sadar jika terdapat sebuah misteri yang berujung teror sedang menanti masyarakat lugu yang tidak mengetahui apa penyebab nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Risma Dwika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2
Esok hari nya di pagi hari seperti biasa neng akan berangkat ke sekolah bersama teman teman nya.
Dia sudah rapih sambil sarapan di temani sang ibu.
"Pelan-pelan aja neng makan nya. Nanti tersedak loh".
"Hehe iyaa Bu maaf. Tumben ini neng kok laper banget yaa Bu. Sampe perih perut neng. Padahal semalem kita makan kan yaa Bu".
"Iyaa tapi yaa pelan saja, nggak terlambat kok baru jam berapa ini".
"Iyaa Bu, maaf". Neng pun melanjutkan sarapan nya lalu setelah beres dia menunggu teman teman nya datang, karena pasti lewat depan rumah nya jika akan ke sekolah.
"Neng, udah semua buku nya di bawa? Jangan ada yang ketinggalan loh neng. Nanti kalo ketinggalan kan jauh pulang nya". Ibu menasihati agar neng periksa kembali barang bawaan nya. Jarak dari rumah ke sekolah dengan berjalan kaki membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit.
Jarak antar rumah warga masih terbilang jauh. Dari rumah satu ke rumah tetangga lainnya ada sawah atau pun tanah kosong yang menjadi pembatas.
"Neng, ayo berangkat" teman-teman neng sampai juga. Mereka segera berangkat bersama-sama karena ini hari senin akan di adakan upacara kenaikan bendera.
"Bu, neng pamit yaa".
Neng dan semua teman nya menyalimi Bu Munah.
Beginilah kehidupan desa yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai adab dan budaya.
Mereka pun berangkat bersama-sama.
"Neng, kamu udah buat PR matematika?". Tanya ikhsan teman sekelas neng.
"Udah selesai, kalau yang bahasa inggris belum satu nomor lagi. Aku nggak paham apa arti nya. Nanti tolong ajarin yaa".
"Iyaa aku ih sama bahasa Inggris juga belum selesai satu nomor lagi. Mumpung masih pagi banget, kita kerjain di kelas aja yaa barengan". Syifa menyahut.
"Aku mah bahasa inggris udah semua. Matematika ada yang belum nomer tiga. Lupa aku rumusnya, nanti tolong ajarin juga ya neng". Ujar ikhsan.
Saat ini masih pukul lima lewat tiga puluh pagi.
Sekolah masuk pukul tujuh pagi. Langit pun masih nampak gelap. Matahari baru muncul sedikit saja.
Jika mereka ke sekolah, mereka akan melewati sawah dan tanah kosong yang di beli Bu Munah kemarin.
Gubuk nya pun kosong karena memang pak min sudah lama tak mengurus sawah nya.
Pak min terkena penyakit diabetes, jadi sering kali merasa lelah.
Bu Sarmi tak seperti Bu Munah yang ikut turun ke sawah.
Bu Sarmi seorang ibu rumah tangga yang mengurus anak-anak nya.
Anaknya cukup banyak, ada enam orang. Tiga lelaki, tiga lagi perempuan dengan jarak yang lumayan berdekatan. Jadi kebayang berapa repot nya Bu Sarmi di rumah.
Anak Bu Sarmi pun ada yang sebaya Zaki, namun ia meninggal sesaat sebelum kelulusan SMA.
Rama, anak Bu Sarmi dan pak min yang pertama merupakan sahabat Zaki.
Sedari kecil sampai duduk di bangku sekolah menengah atas mereka selalu bersama tak terpisahkan.
Sejak saat itu Zaki nampak murung tak banyak main di luar.
Neng dan teman temannya sampai di gubuk tanah kosong yang kini menjadi milik kakak nya.
Gubuk tersebut terdapat jendela kecil yang terbuka.
Dari jalan utama mereka bisa melihat ke dalam nya melalui jendela itu.
Neng melihat ke arah gubuk, ada secercah cahaya menyinari dalam nya gubuk itu.
'Kok nyala yaa? Siapa yang nyalain yaa? Kan ibu belum kesitu'. Batin neng sampai tak sadar ia tersandung batu sehingga hampir saja jatuh.
"heh neng. Hati-hati jalan nya neng. Jangan melamun dong. Lihat apa sih kamu". Tukas Syifa.
"Iyaa neng lihat apa sih kamu?"
"Itu gubuk ada orang nya apa yaa? Lampu minyak nya nyala". Ujar neng
"Mana ih, gelap gitu juga. Mata mu besok periksa neng". Ujar Dian yang sedari tadi diam saja.
"Yaudah yuk nggak usah di bahas. Nanti telat di marahi pak Toto baru rasa". Tukas ikhsan.
Akhirnya mereka tak menghiraukan ucapan neng.
"Iyaa kali yaa aku salah lihat". Karena setelah di perhatikan lagi gubuk tadi gelap gulita.
Tak lama kemudian mereka sampai di gerbang sekolah.
Pak Toto sudah berdiri tegap di gerbang menyambut murid-murid yang baru saja datang.
Mereka pun antri bersalaman dengan pak Toto.
"Anak-anak yang rajin. Semoga sukses yaa kalian". Ucap pak Toto yang bangga melihat neng dan teman-teman nya selalu hadir tepat waktu. Bahkan jauh sebelum jam pelajaran di mulai.
"Aamiin, terima kasih doa nya pak". Ucap anak-anak.
Mereka semua masuk ke kelas karena mau membahas pekerjaan rumah yang belum selesai di kerjakan.
Semua nya nampak serius mengerjakan tugas, karena sebentar lagi upacara akan segera di mulai.
"Hahhh, akhir nya selesai juga yaa. Yuk kita ke lapangan. Kali ini baris nya jangan paling depan yaa, kayak nya bakal terik banget deh cuaca". Ujar Syifa.
"Yah ampun ciiippp, nggak akan gosong kok kamu kena matahari pagi. Ini vitamin cip, bagus buat kulit sama tulang kamu". Tukas Dian.
"Huuhh Dian nyebelin banget sih".
Syifa memang pindahan dari kota ke desa ini.
Kedua orang tua nya Syifa memutuskan untuk pindah ke desa mengurus kebun peninggalan orang tua ayah nya Syifa yang berwasiat untuk anak satu satu nya mengurus kebun singkong dan pisang yang sudah menjadi distributor ke pabrik camilan di kota terdekat.
Ayah nya Syifa sendiri dulu di kota mempunyai pekerjaan yang cukup bagus.
Dia seorang manager di sebuah kantor. Namun bukan kantor yang terlalu besar.
Keputusan ini di ambil atas musyawarah dengan istri dan anak nya.
Istri nya menyetujui untuk pindah ke desa dimana sang mertua tinggal.
Syifa menempati rumah neneknya yang tak jauh dari rumah pak Min.
Di sekitar rumah neng terdapat beberapa rumah, yaitu rumah Dian, ikhsan, Syifa, Roni anak nya pak RT, juga rumah almarhum Rama alias rumah pak min dan Bu Sarmi.
Setelah rumah pak RT ada kebun pisang yang lumayan luas, baru ada rumah warga lagi.
Saat upacara berlangsung, seperti ucapan Syifa tadi, mereka berbaris di barisan belakang di bawah pohon beringin yang besar.
Jadi tak terlalu lelah saat upacara.
Saat mengheningkan cipta neng melihat ke arah kelas di ujung bangunan sekolah.
Dari jendela ia lihat ada murid yang tidak ikut upacara.
'Kok dia nggak ikut upacara yaa? Apa sakit?'. Batin neng.
'Eh tapi bukan nya itu kelas yang kosong yaa? Udah lama juga kan nggak di pakai belajar'. Batin nya lagi.
'Tapi kenapa dia disitu? Gimana masuk nya kan di kunci?'.
Setelah memikirkan itu neng ambruk
Brruuukkk......