bagaimana jadinya kalau anak bungsu disisihkan demi anak angkat..itulah yang di alami Miranda..ketiga kaka kandungnya membencinya
ayahnya acuh pada dirinya
ibu tirinya selalu baik hanya di depan orang banyak
semua kasih sayang tumpah pada Lena seorang anak angkat yang diadopsi karena ayah Miranda menabrak dirinya.
bagaimana Miranda menjalani hidupnya?
simak aja guys
karya ke empat saya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
miranda mulai gila
Miranda membawa Rani ke rumah sakit elit milik keluarga Baskara.
Yudi menunjukkan identitasnya dan memberitahu pihak rumah sakit bahwa Miranda adalah istri Rian Baskara. Mendadak suasana berubah, pelayanan menjadi jauh lebih cepat. Beberapa perawat langsung bergerak sigap, kursi roda didorong mendekat, dan pintu IGD dibuka tanpa menunggu lama.
“Tolong tangani ibu ini dengan baik, dia adalah kerabatku,” ucap Miranda kepada seorang dokter wanita dengan nada tegas namun terkendali.
“Baik, Nyonya. Kami akan melakukan yang terbaik,” jawab dokter itu sambil mengangguk hormat.
Rani segera dibawa ke IGD untuk mendapatkan beberapa tindakan medis. Andika berdiri di samping ranjang, suaranya gugup saat memberikan riwayat kesehatan Rani kepada perawat dan dokter yang bertanya.
“Kak, rumah sakit ini bagus banget sih,” tanya Dika polos sambil menatap sekeliling ruangan yang bersih dan terang.
“Iya, mudah mudahan ibu kamu sembuh. Kamu jagain dulu ibu kamu,” ucap Miranda lembut.
“Baik, Kak,” jawab Dika. “Terima kasih.” Ia menganggukkan kepala dengan hormat.
“Kamu anak baik,” ucap Miranda sambil mengacak rambut Dika perlahan.
Miranda merogoh tasnya, mengambil beberapa lembar uang, lalu menyodorkannya pada Dika.
“Ini bekal kamu selama di rumah sakit. Nanti kalau ada apa apa, tinggal bilang saja ke perawat. Bilang saja kamu adalah keluarga Kakak,” pesan Miranda serius.
“Terima kasih, Kak,” ucap Dika lirih.
Miranda kemudian memberikan beberapa arahan kepada beberapa orang perawat. Mereka mendengarkan dengan saksama, menundukkan kepala, dan segera memahami instruksi Miranda tanpa banyak bertanya.
“Ah, enak sekali jadi orang berkuasa,” ucap Miranda dalam hati.
Ponsel Miranda bergetar, alarmnya berbunyi. Setiap satu jam ia menyetelnya sesuai instruksi dari suaminya. Ia membuka layar dan menulis pesan cepat.
“Mas, aku lagi di rumah sakit nolong orang sakit, bukan aku yang sakit. Tenang saja, kamu enggak usah khawatir.”
Miranda menatap layar ponselnya. Tiga pesan sebelumnya masih belum mendapat balasan sama sekali.
“Menyebalkan sekali. Aku sudah tiga kali ngasih kabar, tapi dia sama sekali enggak balas,” gerutu Miranda pelan.
Ia melangkah keluar dari rumah sakit.
Tiga mobil mewah sudah berjajar rapi di lobi. Lampu-lampunya menyala temaram, memantul di lantai marmer yang licin.
Miranda masuk ke salah satu mobil. Hujan mulai turun rintik rintik, membasahi kaca depan.
“Ke mana kita, Mbak?” tanya Yudi sambil menoleh ke kursi belakang.
“Ke Cikarang. Ini alamatnya,” ucap Miranda sambil memberikan secarik kertas kepada Yudi.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Mendung sudah menggelap, hujan turun perlahan. Perjalanan menempuh waktu satu jam.
“Ini sudah sampai, Nyonya,” ucap Yudi lirih, membangunkan Miranda.
“Ah, sudah sampai ya,” gumam Miranda sambil mengerjapkan matanya.
Tak lama kemudian alarm ponselnya kembali berbunyi. Seperti biasa, Miranda langsung memberikan kabar pada suaminya.
“Mas, aku sekarang ada di Cikarang,” isi pesan Miranda.
Centang dua langsung berubah biru, tanda pesan sudah dibaca, tetapi tidak dibalas.
“Awas kamu, Mas. Aku hukum kamu,” gumam Miranda kesal.
Miranda membenarkan riasan wajahnya di cermin kecil, merapikan rambut, lalu keluar dari mobil dengan langkah elegan.
Begitu kakinya menginjak aspal, pemandangan tidak enak langsung menyambutnya.
Tampak Kartika sedang menurunkan barang barang dari mobil pengantar. Kardus kardus berat diturunkannya seorang diri, sementara beberapa teman kerja hanya berdiri di kejauhan sambil cekikikan tertawa.
Miranda memperhatikan semuanya tanpa melakukan tindakan apa pun.
“Ini hukuman kamu karena sudah menghilangkan uang kas,” ucap seorang wanita yang sepertinya adalah kepala toko.
“Baik, Mbak,” jawab Kartika dengan nada lelah. Matanya tampak memiliki kantung hitam, jelas menunjukkan kurang tidur.
“Kalian kenapa diam saja?” ucap seorang lelaki tinggi kurus dengan wajah gusar.
“Apa sih kamu, biarin saja dia mengerjakan sendiri. Ini hukuman karena menghilangkan barang,” sahut seorang wanita dengan nada sinis.
“Hey, Lusi, sudah jelas ya, bukan Kartika yang menghilangkan. Lagian kalian ini gila. Kartika sudah dua hari dua malam kerja, dengan hitungan yang enggak jelas,” bantah pria kurus itu.
“Ih, emang dasarnya saja kamu suka sama Kartika, Jang,” celetuk seorang pria gendut sambil menyeringai.
“Tapi, Bang, ini enggak adil. Sesama karyawan enggak usah kayak gini lah,” ucap Ujang dengan suara tertahan emosi.
“Ujang, kamu masuk,” perintah pria gendut itu tegas.
“Enggak, aku mau bantu Kartika,” jawab Ujang mantap.
“Itu ada yang beli buah. Itu kan tugas kamu,” bentak pria gendut itu.
“Biarkan saja saya sendiri, Kak,” ucap Kartika lirih. Tangannya mulai gemetar, tubuhnya terlihat goyah, sangat jelas kelelahan sudah menggerogotinya.
“apa pantas perusahaan besar seperti indomaret mempunyai karyawan seperti kalian” ucap Miranda tegas
Kartika menoleh suara itu tidak asing, suara dan orangnya yang selama ini dia cari, karena janji akan kerja bareng di indomaret
“Miranda,” ucap Kartika dengan mata berkaca kaca, apalagi saat melihat Miranda yang kini terlihat cantik meski berpakaian sederhana.
“Ini teman kamu, Kartika?” tanya seorang perempuan dengan nada ketus.
“Iya, teman saya,” jawab Kartika pelan.
“Abaikan dia dan lanjutkan pekerjaan kamu,” perintah perempuan itu tegas.
“Cukup, Kartika. Jangan lanjutkan. Kamu sudah lelah. Tidak sepantasnya kamu diperlakukan seperti ini. Sesama karyawan seharusnya saling membantu, bukan saling menyalahkan,” ucap Miranda.
“Diam kamu, anak kecil. Kamu pasti sama miskinnya dengan Kartika, kan? Kamu pasti suka mencuri seperti dia,” kata pria gendut itu dengan nada sombong.
Lima orang pria bertubuh tinggi besar, bodyguard Miranda, refleks hendak melangkah maju. Namun Miranda mengangkat tangannya memberi kode agar mereka diam.
Kelima pria itu hanya mengepalkan tangan menahan amarah. Rasanya ingin meremukkan pria gendut itu hidup hidup.
“Aku tahu siapa temanku. Dia tidak mungkin mencuri. Kalian pasti memfitnahnya,” kata Miranda tegas.
“Tidak memfitnah. Sejak dia bekerja di sini, sudah sering terjadi kehilangan,” sahut seorang wanita dengan senyum sinis.
“Kalau memang sering terjadi kehilangan, kenapa tidak kalian laporkan saja ke kepolisian? Dan kalau Kartika memang mencuri, seharusnya dia dipecat, bukan dipertahankan. Aku tahu, kalian hanya ingin memanfaatkan tenaganya, bukan?” ujar Miranda.
“Mir, sudahlah. Kamu pergi dulu. Tunggu aku jam sepuluh malam aku pulang,” ucap Kartika dengan wajah cemas.
“Tuh lihat, Kartika saja tidak keberatan,” sindir seorang perempuan.
“Dia tidak keberatan, tapi aku keberatan,” balas Miranda tegas.
“Keberatan kamu tidak ada pengaruhnya, anak ingusan,” ujar pria gendut itu meremehkan. “Pemilik toko bukan, manajer bukan. Apa hak kamu mengatur kami?”
Miranda menarik napas dalam.
“Yudi,” panggilnya tegas.
“Ya, Nyonya,” jawab Yudi sambil mendekat.
“Kamu urus pembelian toko ini. Dalam waktu satu jam harus selesai,” perintah Miranda tanpa ragu.
Miranda diam diam mengamati Yudi. Ia tahu Yudi bukan sopir biasa. Ia adalah orang kepercayaan Nyonya Kirana.
“Hahaha, kamu kira ini konten kreator? Anak ingusan,” ejek pria gendut itu. “Supir model begini mau beli toko? Asal kamu tahu, pemilik toko ini pamanku. Kalau kamu bisa membeli toko ini, aku akan menggonggong seperti anjing seratus kali sambil membuka celana.”
Gelak tawa meledak dari rekan rekannya.
“Kartika, kalau dia tidak bisa membeli toko ini, aku akan bilang ke pamanku supaya kamu dipecat.”
Kartika langsung panik. “Mir, jangan. Sebaiknya kamu pergi saja. Jangan membual, Mir. Aku masih butuh pekerjaan. Ibuku masih butuh perawatan.”
“Dengar itu, anak ingusan. Lebih baik kamu pergi saja,” tambah pria gendut itu.
Miranda melirik Yudi yang sedang menelepon beberapa orang.
“Nyonya, pemilik toko menolak menjual tokonya,” lapor Yudi dengan nada gelisah.
Gelak tawa kembali pecah. Nada merendahkan terdengar di mana mana.
Pandangan Miranda beralih ke samping toko. Ia melihat sebuah gudang besar dengan logo Baskara Corporation.
“Sepertinya itu gudang alat berat milik keluarga Baskara,” gumam Miranda.
“Yudi, kamu tahu gudang itu?” tanyanya.
“Ya, itu gudang alat berat BC,” jawab Yudi.
“Hubungi kepala gudang. Keluarkan dua ekskavator. Taruh di depan toko ini,” perintah Miranda.
Yudi menelan ludah, tetapi ia tidak berani menolak. Ia segera menelepon.
“Sudahlah, Mir. Aku masih butuh kerja,” ucap Kartika lirih, hampir menangis.
Tak lama kemudian, pintu gerbang gudang terbuka. Deru mesin ekskavator menggema, menggetarkan udara.
“Sekarang hubungi pemilik toko ini,” kata Miranda.
Yudi segera menelepon. “Sudah tersambung, Nyonya.”
“Kemari ponselnya.”
“Pak Candra, Nyonya mau bicara dengan Anda,” ucap Yudi sebelum menyerahkan ponsel.
“Saya sudah bilang, saya tidak akan menjual toko saya. Apalagi dengan cara arogan seperti ini. Saya sudah lama bermitra dengan Indomaret pusat,” suara Candra terdengar dari seberang.
Miranda menarik napas, lalu berbicara dengan nada dingin dan terkendali.
“Aku Nyonya Baskara. Aku hanya memberi pilihan. Jual toko ini dengan harga yang layak.”
Miranda berhenti sejenak, menatap ekskavator yang mesinnya masih menyala.
“Atau aku ratakan toko dan seluruh usaha kamu. Kamu tahu kalau Baskara Corporation sudah bergerak.”
hemmm obat perangsang Weh Weh lagu lama Audy tapi banyak yg berhasil sih
Kakak ga punya akhlak