Semua orang di sekolah mengenal Jenny: cantik, modis, dan selalu jadi pusat perhatian tiap kali ia muncul.
Semua orang juga tahu siapa George: pintar, pendiam, dan lebih sering bersembunyi di balik buku-buku tebal.
Dunia mereka seolah tidak pernah bersinggungan—hingga suatu hari, sebuah tugas sekolah mempertemukan mereka dalam satu tim.
Jenny yang ceria dan penuh percaya diri mulai menemukan sisi lain dari George yang selama ini tersembunyi. Sedangkan George, tanpa sadar, mulai belajar bahwa hidup tak melulu soal nilai dan buku.
Namun, ketika rasa nyaman berubah menjadi sesuatu yang lebih, mereka harus menghadapi kenyataan: apakah cinta di antara dua dunia yang berbeda benar-benar mungkin?
Spin off dari novel Jevan dan Para Perempuan. Dapat di baca secara terpisah 🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sitting Down Here, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 Bukan Remaja Biasa
"Jevan kenapa ya, Jen? Ga biasanya dia begitu"
"Ga tau deh, Lou. Tapi dia juga kayak takut sih tiap kali ketemu Pixie"
"Panggil ibu kamu mommy, Jen. Jangan panggil namanya, itu ga sopan tau"
"Biarin ah, aku ga dekat ini sama dia. Emang sih dia Ibu kandungku, tapi dia kan ga seperti Ibu normal lain. Ibu kamu sama mommy Jevan juga gitu kan. Tapi mommy Jevan paling cantik dan paling baik di antara Ibu kita bertiga"
"Aku akui itu kalau soal mommy Jevan, tapi tetap aja kamu harusnya panggil mommy kamu itu ya mommy atau Ibu, atau apa ajalah asal bukan namanya"
"Maaf Lou, aku ga bisa seperti kamu atau Jevan karena Pixie sendiri yang meminta aku untuk ga panggil dia mommy biar dia merasa awet muda terus karena baginya aku cuma beban"
"Oh Jenny, itu ga benar"
"Benar kok, dia selalu bilang gitu ke aku"
Louisa tak bisa berkata apa-apa lagi. Satu-satunya yang bisa lakukan adalah memeluk Jenny untuk menghiburnya dan Jenny pun membalasnya. Setelah itu Jenny pamit pulang ke rumahnya.
***
Jenny tak pernah merasa antusias tiap kali pulang ke rumahnya karena ia hampir selalu menemukan hal yang sama : pakaian yang berserakan di mana-mana padahal ia sudah merapikannya, botol-botol minum yang sudah kosong tapi masih ada di atas meja, dan entah benda-benda apa lagi yang berserakan di seluruh rumahnya yang terlihat seperti kapal pecah akibat ulah Pixie. Tak lama kemudian, Pixie keluar dari kamarnya sambil menggandeng seorang pria.
"Pixie!"
"Oh Jen, kamu sudah pulang rupanya"
"Harus berapa kali kubilang supaya jangan bawa klienmu ke rumah?"
"Ini bukan klienku Jen, tapi ini pacarku"
"Terserahlah, yang penting jangan bawa dia kesini!"
"Jangan kurang ajar, Jen! Ini rumahku dan aku bisa berbuat apa saja yang kumau di sini! Kamu di sini hanya menumpang jadi kamu harus nurut sama aku!"
Jenny yang merasa kesal tak menanggapi ucapan ibunya lalu pergi ke kamarnya sambil membanting pintu dengan keras.
"Dasar anak jaman sekarang tidak tahu sopan santun! Ayo say, lebih baik kita pergi dari sini"
"Oke, Pixie"
***
Jenny sudah tertidur selama lebih dari satu jam ketika mendengar pintu depan yang di ketuk dengan keras berulang kali.
"Iya, tunggu sebentar! Ga sabaran banget sih!" Jenny kemudian membukakan pintu untuk tamunya yang ternyata adalah Nino, pemilik La Femme tempat Pixie bekerja sebagai penari show girl.
"Oh, hallo Jenny. Dimana ibumu?"
"Dia sedang keluar sama pacarnya?"
"Pacarnya?"
"Iya, tadi sih bilangnya begitu"
"Baiklah kalau begitu nanti aku kembali lagi kesini. Oh iya, mumpung aku bisa ketemu kamu di sini, ada yang ingin aku sampaikan padamu"
"Soal apa, uncle?"
"Soal pekerjaan. Kamu hari ini baru masuk SMA ya?"
"Iya, uncle"
"Dan usiamu sekarang berapa?"
"Minggu depan baru 15 tahun"
"Hmm... Kamu tambah besar terlihat tambah cantik, Jenny"
Nino lalu mencoba untuk menyentuh rambut Jenny, tapi secara refleks Jenny menepisnya.
"Terima kasih atas pujiannya, tapi apa hubungannya umurku dengan kecantikanku?"
"Sangat berhubungan. Tahun depan kamu harus mulai bekerja seperti Pixie"
"Uncle kan tahu kalau aku tidak bisa menari"
"Soal itu bisa di pelajari nanti. Tapi maksud aku adalah soal pekerjaan yang satu lagi"
Mata Jenny membulat karena terkejut mendengar perkataan Nino.
"Tahun depan kan aku baru berumur 16 tahun, uncle"
"Iya memang. Lalu kenapa?"
"Aku masih di bawah umur, uncle!"
"Sopan sedikit kalau bicara denganku, Jenny! Kamu dan Jevan sama saja, sama-sama tidak tahu sopan santun!"
"Itu karena uncle pantas mendapatkannya! Pokoknya aku tak mau melakukan itu!"
"Terus saja kamu melawan, Jen. Karena walau bagaimana pun kamu takkan bisa berbuat apa-apa selain menuruti permintaanku"
"Tapi... "
"Bersenang-senang saja dulu tahun ini sampai kamu siap untuk tahun depan. Bye"
***
Jenny masih melamun sejak kepergian Nino. Biasanya ia suka membersihkan rumah tiap kali Pixie keluar rumah, tapi kali ini ia tak melakukan apapun. Pixie yang akhirnya pulang juga ke rumah merasa heran melihat Jenny yang biasanya terlihat ceria kini terlihat murung.
"Kamu kenapa, Jen?"
"Tumben mommy nanya"
"Tumben kamu manggil mommy"
"Lagi pengen aja. Tadi Nino ke sini"
"Ada perlu apa dia ke sini?"
Jenny kemudian menceritakan isi percakapannya tadi dengan Nino. Tapi yang membuat Jenny heran adalah reaksi Pixie yang terlihat biasa saja.
"Kenapa kamu tak terkejut mendengarnya, Pixie? Apa jangan-jangan kamu sudah tau soal ini ya?"
"I-iya, sih. Nino sebelumnya sudah pernah bilang padaku soal itu"
"Dan kanu menyetujuinya?"
"Aku tak bisa berbuat apa-apa, Jen! kamu tau Nino seperti apa. Dia sama sekali tak bisa di bantah"
"Tapi aku masih di bawah umur, Pixie!"
"Aku tahu itu, Jen!"
Jenny kemudian jatuh terduduk di lantai sambil menangis.
"Aku tak mau menjadi wanita panggilan, aku mau hidup normal seperti anak-anak lain, dan aku berharap aku tak punya Ibu seperti kamu, Pixie, yang bahkan tak bisa membela anaknya sendiri ketika ada orang lain yang ingin menyakiti dan memanfaatkannya"
"Jadi kamu menghakimi aku, Jen? Seharusnya kamu bersyukur masih bisa hidup sampai sekarang karena aku telah menjagamu dan merawatmu dengan baik!"
"Kamu tak perlu melakukan itu kalau akhirnya kamu hanya ingin menjerumuskan aku dengan memberikan aku kepada Nino karena aku tahu selama ini kamu tak ikhlas mengurusku! Seharusnya kamu titip saja aku ke panti asuhan sejak aku lahir!"
PLAK!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Jenny.
"Dasar anak kurang ajar! Pergi kamu dari sini! Aku muak melihatmu yang selalu membangkang padaku!"
Jenny ingin sekali menangis akibat tamparan dari Pixie yang menyakitkan itu. Tapi ia mencoba untuk terlihat kuat dan berdiri menuju kamarnya untuk mengambil pakaian. Setelah itu ia keluar dari rumah tanpa berpamitan kepada Pixie yang hanya memandangi dirinya tanpa merasa menyesal karena telah menyakiti Jenny dan mengusirnya dari rumah.
***
Jenny mengetuk pintu rumah Louisa untuk memintanya agar mengizinkannya untuk menginap di rumahnya. Louisa lalu mempersilahkan Jenny untuk masuk ke dalam rumah sambil Jenny menceritakan kejadian sebelumnya kepada Louisa. Chelsea saat itu ikut mendengar percakapan antara Jenny dan Louisa. Kemudian ia memberikan pendapatnya.
"Maaf Jenny, mendengar ceritamu barusan sepertinya kamu yang salah. Jadi sepertinya kamu harus kembali ke rumahmu sekarang juga dan minta maaf pada Pixie"
Jenny dan Louisa yang mendengar perkataan Chelsea menjadi terkejut dan heran karena Chelsea malah lebih membela Pixie ketimbang dirinya. Akhirnya Louisa menjadi yang pertama membuka suara dan bertanya kepada Chelsea.
"Maksud Ibu apa sih ngomong kayak gitu? Seharusnya Ibu bela Jenny bukannya memojokkan dia!"
Chelsea baru saja akan menjawab, tetapi seseorang malah memotong ucapannya.
"Ada apa ini? Kenapa ramai sekali di sini?"