Setelah kecelakaan misterius, Jung Ha Young terbangun dalam tubuh orang lain Lee Ji Soo, seorang wanita yang dikenal dingin dan penuh rahasia. Identitasnya yang tertukar bukan hanya teka-teki medis, tapi juga awal dari pengungkapan masa lalu kelam yang melibatkan keluarga, pengkhianatan, dan jejak kriminal yang tak terduga.
Di sisi lain, Detektif Han Jae Wan menyelidiki kasus pembakaran kios ikan milik Ibu Shin. Tersangka utama, Nam Gi Taek, menyebut Ji Soo sebagai dalang pembakaran, bahkan mengisyaratkan keterlibatannya dalam kecelakaan Ha Young. Ketika Ji Soo dikabarkan sadar dari koma, penyelidikan memasuki babak baru antara kebenaran dan manipulasi, antara korban dan pelaku.
Ha Young, yang hidup sebagai Ji Soo, harus menghadapi dunia yang tak mengenal dirinya, ibu yang terasa asing, dan teman-teman yang tak bisa ia dekati. Di tengah tubuh yang bukan miliknya, ia mencari makna, kebenaran, dan jalan pulang menuju dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ulfa Nadia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
제 2 장
Hari ini, Ha Young kembali memutuskan untuk bertahan di Seonghwa Entertainment. Ia tahu dunia hiburan bukan tempat yang ramah, tapi ia harus kuat. Jadwal pemotretan padat menantinya kontrak iklan, cover majalah, sorotan kamera yang tak pernah berhenti.
Dari kejauhan, Eunjung mengacungkan jempol sambil tersenyum bangga. Ha Young membalas dengan anggukan kecil, lalu berkata, “Aku permisi ke toilet sebentar.”
Di dalam toilet, ia mendengar suara ketukan sepatu high heels bergema di lantai marmer. Suara tawa ringan menyusul, lalu percakapan yang tak sengaja ia dengar.
“Apa yang akan kalian lakukan kalau punya wajah secantik Jung Ha Young?” tanya seorang gadis berambut panjang.
“Jelas aku akan berdiri di antara pria-pria tampan. Wajah sepertiku saja susah cari pasangan. Kalau aku jadi Ha Young, aku akan menikah dengan pria kaya dan tampan,” sahut gadis berambut pendek bertubuh gemuk.
“Untuk apa cari pria kaya? Ayahnya sudah CEO Geumseong Group. Kalau aku jadi Ha Young, aku akan habiskan uangku buat beli gaun rancangan David,” celetuk gadis mungil sambil mengibas rambutnya.
“Emmanuel David? Perancang gaun Lady Diana? Itu mahal banget,” ujar gadis yang dipanggil Jung Ah.
“Ya, tapi Jung Ha Young pasti bisa membelinya. Gaji ayahnya melebihi gaji perdana menteri Korea.”
Gadis itu terbelalak. “Serius?”
“Tapi aku kasihan padanya. Cantik dari lahir, tapi hidupnya nggak seberuntung itu.”
“Jikyeong-ah, maksudmu apa? Kamu tahu sesuatu tentang Jung Ha Young?” tanya gadis berambut panjang, penasaran.
“Ada rumor... katanya hubungan Ha Young dengan ayahnya nggak baik. Ibunya bahkan meninggalkan ayahnya dan pergi dengan pria lain.”
Ha Young berdiri diam di bilik toilet, jantungnya berdegup pelan tapi menyakitkan. Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari yang mereka bayangkan. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mereka hanya melihat dari luar dari sorotan, dari nama besar, dari wajah yang selalu tersenyum di depan kamera.
“Selingkuh? Maksudmu begitu?” tanya Jung Ah dengan nada antusias, matanya berbinar seolah mendengar gosip paling menarik hari itu.
“Aku nggak tahu pasti,” sahut Jikyeong, “tapi yang jelas, istrinya CEO Jung sudah berkhianat.”
“Kalau dipikir-pikir, CEO Jung itu nggak kekurangan apa pun. Kaya raya, punya putri secantik Jung Ha Young. Aku benar-benar kasihan padanya.”
“Benar. Ibunya pasti menyesal telah meninggalkannya. Sekarang Ha Young sudah jadi dewi Korea.”
Telinga Ha Young terasa panas. Kata-kata itu menusuk seperti jarum halus yang tak terlihat. Ia berdiri diam di bilik toilet, jantungnya berdegup pelan namun menyakitkan. Ia ingin keluar dan melabrak mereka. Ingin mengatakan bahwa keluarga bukan bahan gosip. Tapi ia tak sanggup.
Aku, Jung Ha Young... untuk pertama kalinya, aku tidak percaya diri untuk berkata bahwa itu tidak pantas diucapkan. Ia hanya bisa berkata dalam hati. Karena yang mereka katakan meski kasar dan tak berempati adalah kenyataan.
Dan kenyataan itu menyakitkan.
Tanpa berkata apa-apa, Ha Young memutuskan menyudahi pemotretannya hari itu. Ia butuh ruang. Butuh tempat yang tidak menuntutnya tersenyum.
Ia pergi ke Sunhwa Galeri, tempat yang selalu memberinya ketenangan. Di depan galeri, ia memandang papan nama yang terpampang elegan. Langkahnya pelan, seolah setiap jejak adalah pelepasan dari sorotan dunia.
Dari kejauhan, tampak seorang pemuda sedang berbincang dengan klien yang tertarik membeli lukisan. Pemuda itu menoleh ke arah Ha Young, lalu tersenyum tipis. Ia pamit pada kliennya, lalu berjalan mendekat.
“Hee Jae oppa,” panggil Ha Young lembut.
Pemuda itu menoleh, dan senyum tipis muncul di wajahnya. Park Hee Jae seniornya saat kuliah di Inggris, sahabat setia yang tak pernah benar-benar pergi dari hatinya.
Pertemuan mereka dulu berawal dari sebuah lukisan: potret seorang wanita yang kesepian, duduk di bawah cahaya bulan. Ha Young terpikat oleh lukisan itu, merasa seperti melihat dirinya sendiri. Ia tak menyangka, lukisan itu adalah karya Hee Jae.
Ia pulang ke Korea dua tahun sebelum Ha Young kembali. Tapi hari ini, mereka bertemu lagi di tempat yang sama, di galeri yang lahir dari kerja keras dan keyakinan.
“Kamu bahkan tidak memberitahuku kalau sudah kembali ke Korea,” kata Hee Jae, wajahnya cerah.
“Maafkan aku... sebenarnya aku ingin memberimu kejutan,” jawab Ha Young polos, tersenyum. “Lukisanmu... banyak yang terjual?”
“Seperti biasa. Semua habis. Sekarang aku bahkan kewalahan dengan pesanan.”
“Jadi oppa sibuk?”
“Kalau untuk berbincang denganmu... apa aku harus sibuk?” balasnya sambil tersenyum hangat.
Ha Young tahu, Hee Jae tak pernah mengecewakannya. Sunhwa Galeri adalah hasil kerja kerasnya, tapi Ha Young juga pernah memberinya modal untuk memulai. Ia percaya pada bakat Hee Jae dan hari ini, ia melihat bukti dari keyakinan itu.
Hee Jae mengenakan mantel coklat muda yang familiar. Ha Young tersenyum kecil. Ia yang dulu merekomendasikan mantel itu saat mereka kuliah di Inggris. Mantel itu seperti simbol kecil dari kedekatan mereka hangat, sederhana, tapi penuh makna.
Mereka berjalan bersama ke sebuah kafe tak jauh dari galeri. Sudah lama Ha Young tak bertemu pria yang diam-diam ia sukai. Ia berharap Hee Jae merindukannya lebih dari yang ia bayangkan. Tapi kali ini, Hee Jae menanyakan sesuatu yang berbeda.
“Bagaimana kabar ayahmu?” tanyanya pelan.
Ha Young menghela napas. “Entahlah. Aku tidak peduli.”
Hee Jae tersenyum, sedikit geli melihat wajah Ha Young yang cemberut. “Ayolah... sudah lama sekali. Masa hubungan ayah dan anak masih seperti itu?”
Ha Young hanya menatap kosong ke cangkir di depannya.
“Ah, iya. Ini kafe favoritku. Makanan dan minumannya enak, pelayannya juga ramah,” ujar Hee Jae, mencoba mencairkan suasana.
Tapi Ha Young tahu, luka yang ia bawa tak mudah mencair. Bahkan di antara aroma kopi dan tawa ringan, ada bagian dari dirinya yang tetap membeku.
“Kamu bahkan baru memberitahuku soal tempat ini,” ujar Ha Young sambil menatap cangkirnya. “Menurutmu aku akan datang ke sini kalau lapar, lalu meneleponmu dan berkata, ‘Oppa, temani aku makan’?”
Hee Jae tertawa lepas. “Kamu serius akan melakukannya?”
Ha Young hanya tersenyum geli, tapi senyum itu cepat memudar. Wajahnya berubah murung.
“Ada apa?” tanya Hee Jae, nada suaranya berubah lembut. “Kenapa wajahmu seperti itu?”
“Entahlah... hari ini aku merasa seperti pecundang,” ucap Ha Young pelan. “Beberapa gadis tadi membicarakan keluargaku. Aku mendengarnya... tapi aku malah bersembunyi. Mereka bilang, apa gunanya punya wajah cantik kalau hidupku tidak beruntung. Hubunganku dengan ayahku buruk, dan ibuku... berselingkuh.”
Hee Jae menggeleng pelan. “Siapa yang berani bicara seperti itu pada dewi Korea? Kau punya segalanya yang mereka tidak miliki. Kenapa kamu harus berkecil hati?”
“Bukan itu yang membuatku sedih,” sahut Ha Young. “Aku belum bisa menerima ayahku. Dan aku belum bisa melupakan ibuku. Aku tidak terbiasa tanpa dia. Yang aku inginkan bukan reputasi, bukan harta... tapi keluarga yang utuh.”
Hee Jae menatapnya dalam. “Aku tahu kamu merindukan ibumu. Tapi kalau kamu terus seperti ini, hidupmu akan hampa. Kamu tidak akan merasakan kedamaian. Hentikan perasaan itu, Ha Young. Jalani hidupmu dengan tenang. Kamu punya hak untuk bahagia. Biarkan masalah orang tuamu menjadi milik mereka. Kamu tidak perlu ikut tenggelam di dalamnya.”
Ha Young terdiam. Kata-kata itu menancap dalam, dan ia tahu Hee Jae benar. Tapi untuk melakukannya... tidak semudah itu.
Ponsel Hee Jae berdering. Ia melihat layar, lalu menatap Ha Young dengan sedikit ragu.
“Ha Young-ah, aku harus kembali ke galeri. Ada seseorang yang ingin bertemu denganku.” Ia berdiri, lalu menambahkan, “Yang tadi aku katakan... bisakah kamu mencobanya? Tak perlu tergesa-gesa. Tapi aku yakin kau bisa. Karena kamu adalah Jung Ha Young.”
Ha Young mengangguk pelan. Hee Jae tersenyum lega, lalu melangkah pergi. Ia meninggalkan Ha Young yang masih terdiam, terpengaruh oleh kata-kata yang barusan mengguncang hatinya.
Hee Jae adalah tempatnya bercerita. Tempat ia menaruh luka, harapan, dan rasa yang tak pernah ia ucapkan. Ia tahu, ia menyukai pria itu. Bukan karena ketampanan, tapi karena karismanya, kedewasaannya, dan cara ia menjaga Ha Young sejak masa kuliah. Wajar jika perasaannya tumbuh. Dan ia merasa... Hee Jae pun menyimpan rasa yang sama.
Tak lama setelah Hee Jae pergi, Ha Young melihatnya kembali berbicara dengan seorang gadis berambut panjang bergelombang. Gadis itu tampak lebih muda, matanya sendu, tawanya mungil. Mereka terlihat akrab. Gadis itu tersenyum saat bertemu Hee Jae, dan pria itu mempersilahkannya masuk ke galeri.
Ha Young merasa ada yang mengusik hatinya. Siapa gadis itu?
Ia berniat menanyakannya pada staf galeri, tapi ponselnya berdering. Nama yang muncul: Eunjung.
“Ada apa, Eunjung?” tanya Ha Young.
“Ha Young-ah... aku benar-benar bingung harus bilang apa. Ibuku di Pohang sedang sakit. Dia memintaku pulang. Apa aku bisa ambil cuti? Hanya sebulan, aku janji.”
“Pergilah, Eunjung. Kamu harus berada di sana,” jawab Ha Young lembut.
Eunjung mengucapkan terima kasih berulang kali. Ha Young tahu, ia akan kehilangan sekretaris pribadinya untuk sementara waktu. Tapi ia berharap ibunya Eunjung segera sembuh, agar sahabatnya bisa kembali ke Seoul dan ia tak perlu repot mencari pengganti.