Bima, seorang mahasiswa semester akhir yang stres kerena skripsi nya, lalu meninggal dunia secara tiba-tiba di kostannya. Bima kemudian terbangun di tubuh Devano, Bima kaget karena bunyi bip... bip... di telinganya. dan berfikiran dia sedang mendapatkan hukuman dari Tuhan.
Namun, ternyata dia memasuki tubuh Devano, remaja berusia 16 tahun yeng memiliki sakit jantung dan tidak di perdulikan orang tuanya. Tetapi, yang Bima tau Devano anak orang kaya.
Bima yang selama ini dalam kemiskinan, dan ingin selalu memenuhi ekspektasi ibunya yang berharap anak menjadi sarjana dan sukses dalam pekerjaan. Tidak pernah menikmati kehidupan dulu sebagai remaja yang penuh kebebasan.
"Kalau begitu aku akan menikmati hidup ku sedikit, toh tubuh ini sakit, dan mungkin aku akan meninggal lagi," gumam Bima.
Bagaimana kehidupan Bima setelah memasuki tubuh Devano?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere Lumiere, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
[2] Berdebat Dengan Om
Bima… Ah, bukan sekarang dia Devano, kini terlihat sedang duduk di bangku taman dengan satu kakinya di atas bangku taman itu sembari melihat pemandangan taman. Tangan kanannya sibuk menjilati es krim, tidak memperdulikan infus di tangannya itu.
Dia baru saja kabur dari pengawasan para perawat karena dia sangat bosan karena terus berbaring di ranjang persakitan itu.
"Selama aku di sini, tidak keluarga lain yang datang. Yang datang hanya dokter yang selalu mengatakan kata Om pada ku," gumam Devano memandang es krim yang baru saja dia jilat, dan mengayunkan nya kearah udara.
"Ada yang tidak beres dengan keluarga ini, atau jangan-jangan laki-laki ini yatim piatu lagi. Ah… tapi om anak ini kan dokter tidak mungkin aku miskin berarti, kuliah kedokteran kan sangat mahal," fikir Devano lagi.
"Hey… anak muda boleh kah aku duduk di sebelah sini," ujar seorang pria membuyarkan lamunan Devano.
Devano kemudian menoleh pada pria tersebut yang nampak telah menjalani lika-liku hidup yang sangat keras, lansia itu terlihat tersenyum pada Devano dengan kumis dan rambut yang memutih.
"Silahkan saja pak," ucap Devano mengeser tubuh nya dan mempersilahkan pria itu duduk.
Baru saja pria itu duduk di samping Devano, tiba-tiba ia menyeletuk, "Dek, kamu sakit ya? sakit apa? kok, keliaran disini?"
"Hem…baru saja duduk di sebelah ku sudah banyak tanya," gumam Devano menarik sudut bibirnya seperti mengomel.
"Aku hanya bosan pak, hanya ingin mencari udara segar," sahut Devano rahang menegang, lalu Devano malingkan wajahnya dengan kesal.
"Hahaha… kalau begitu kamu akan cepat keluar dari rumah sakit ini, bisa-bisa nya kamu kabur dari perawat, hahaha…" ucap pria itu terkekeh sembari menepuk lututnya kencang.
Devano menatap dengan sinis, "Ya ampun kek, ingat umur bagaimana kalau organ dalam mu meluruh semua, siapa yang tanggung jawab,"
Meskipun Devano menatap sinis pada pria itu, namun ada sedikit perasaan suka di dalamnya seperti bawaan tubuh ini masih sedikit melekat, laki-laki yang dulu ada di tubuh nya, lembut juga dan selalu sabar.
"Benarkah… mungkin aku juga bisa mengetahui lebih banyak identitas anak ini dulu nya," bisik Devano yang masih terdengar oleh pria itu.
"Hah…ya lihat saja, hari ini atau besok kamu pasti akan di usir dari rumah sakit," jawab pria itu kembali mengelus lututnya, dan kini pandangan nya mengarah ketempat lagi seolah pembicaraan mereka sudah selesai. Begitupun dengan Devano juga memalingkan wajahnya.
"Devano!" pekik seseorang membuat Devano menoleh.
Devano lalu menoleh pada suara lantang itu, matanya langsung membulat. Setelah melihat seseorang dengan seragam dokter dan stetoskop terselempang di bahunya berjalan cepat dengan seorang perawat di belakang nya.
"Ya ampun, cepat sekali ketahuannya," gerutu Devano kesal, dan ingin beranjak dari sana namun infus di tangannya menghalangi gerakkan nya.
"Sial… aku tidak bisa lari,"
Devano menoleh pada dokter Galih yang ternyata sudah tepat di belakang nya, dan dia tidak bisa melarikan dirinya lagi.
"Devano, kamu mau lari lagi, ayo pulang, keliaran kemana-mana?" gerutu dokter Galih.
"Hish… aku cuma jalan-jalan sebentar, ” sahutnya lantang, mata mereka saling menatap dengan percikan api di dalam nya.
"Bawa aja, dok. Dia juga makan es krim tadi, hehehe…" sambung pria itu mengompori keponakan dan paman itu.
Devano menatap nyalang pada pria itu, "Kakek ini… sisa-sisa saja aku berbaik hati tadi, tenyata aku di khianati,"
Devano kemudian menoleh pada Galih yang kini menyipitkan matanya, "Kamu makan es krim?"
"Iya kan nggak masalah, itu kan makanan cair juga, bukan makanan padat, hehehe…" kekeh Devano sembari mengaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Aish… kamu ini," geram Galih kemudian menarik tangan Devano dengan kasar, hingga Devano ter seok-seok memegangi infusnya.
Devano menoleh sinis pada pria tadi, "Awas saja kau kakek tua,"
Tidak berselang lama Devano akhirnya sampai di ruangan inapnya. Terlihat Galih membantu dengan telaten menaikkan Devano ke atas ranjangnya.
Setelah Devano sudah tidur di ranjang nya, dia menatap kearah Galih yang kini memegangi dagunya dengan tatapan kosong, membuat Devano penasaran akan reaksi pria itu sekarang, mungkin kah dia marah atau tidak padanya.
"Hem… anak ini biasa nya tidak pernah melarikkan diri, dia tenang, pendiam dan penurut," gumam Galih dalam hati memikirkan apa yang terjadi pada keponakan itu.
"Kenapa kamu berkeliaran di luar?" tanya Galih sembari memeriksa tubuh Devano dengan stetoskop nya, takut ada hal yang tidak dia harapkan.
"Aku hanya bosan, aku mau pulang," jawab Devano memalingkan wajahnya.
"Serius, kamu mau pulang, bisanya kamu senang berada di sini," tutur Galih karena Devano sering tidak nyaman di rumah malah selalu mendatangi nya rumah sakit, dan karena itulah Galih mengetahui penyakit keponakan nya.
"Ah… ranjang rumah sakit meskipun nyaman tidak seenak ranjang di rumah, apa lagi di ikat seperti hewan peliharaan, seperti ini," protes Devano dengan mata berkerut.
"Hem… kamu bisa berkata seperti itu sekarang, lihat selang infus mu berdarah, karena kamu bergerak terus," omel Galih sembari memperlihatkan selang infus Devano yang berisi darah segar itu.
"Untung aku nggak bungee jumping tadi," sindir Devano memutar bola matanya liar.
"Apa?!" sentak Galih yang mengagetkan Devano.
Devano menatap sinis pada Galih, dan Galih terlihat fokus pada infus yang berada di tangan Devano. Tidak ingin terus berdebat dengan keponakan itu, karena pekerjaan masih menumpuk dan bukan hanya mengurusi Devano.
"Apa aku panggil saja psikiater, mungkin Devano butuh penaganan jiwa," gumam Galih sembari membersihkan cairan darah yang menempel di dalam selang infus Devano.
Selepas itu tidak ada lagi perdebatan di antara mereka Galih pun pergi begitu saja bersama para perawat yang menemani nya tadi.
"Hem… sewot amet," ujar Devano melirik pada Galih yang seperti amat kesal pada tindakan keponakan.
Devano kemudian menoleh pada nakas yang berada di sebelah. Ada sebuah ponsel yang selama ini dia tidak sadari berada di sebelah sana.
Devano kemudian mengambil nya, "Wih, ini pasti mahal ya, Icha," gumam nya membolak-balikan iphone sebelas di tangannya itu. Namun ketika dia melihat layarnya banyak goresan di atas ponsel itu.
"Ah… nggak papa yang penting HP gue iphone, apa lo apa? miskin, miskin, hahaha… uhuk…uhuk…" kekeh Devano hingga dia terbatuk-batuk di buatnya karena begitu senang, mungkin kah orang yang dia masuki anak orang kaya.
"Ku pikiran nanti, sekarang aku mau lihat apa? ehm… cara menjadi anak nakal," ujar Devano kemudian membuka layar ponsel itu, namun beberapa detik layar menyala…
"Hah… apa-apa nih HP, kedut-kedut kayak mata orang bintitan," Desah Devano begitu kesal karena tenyata ponsel itu sudah sedikit retak LCD nya sehingga terus berdebar-debar membuat matanya sakit.
"Emang nggak ada yang beres…" gerutu Devano.