Menjelang hari pernikahannya, Amara menghilang tanpa jejak. Dengan waktu yang semakin sempit, keluarga calon pengantin pria mendesak agar pernikahan tetap berlangsung demi nama baik. Helena, adik Amara yang diam-diam mencintai tunangan kakaknya, Lucian, dipaksa menjadi pengantin pengganti.
Namun ketika ia menerima peran itu dengan hati yang penuh luka, Helena menemukan jejak kejanggalan: apartemen Amara yang terlalu rapi, koper yang tertinggal, dan waktu yang tidak sinkron dengan hari hilangnya Amara. Semakin ia melangkah ke dalam pernikahan, semakin besar pula misteri yang membayangi keluarga mereka.
Jejak-jejak ganjil tentang hilangnya Amara membuat Helena ragu: apakah ia sedang mengambil tempat seorang pengantin yang kabur, atau menggantikan seseorang yang sudah tak akan pernah kembali?
.
Jika ada kesamaan nama tokoh, dan latar hanyalah fiktif belaka, tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.
follow ig: @aca_0325
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Helena menunggu sampai suara mobil keluarga Lucian benar-benar hilang dari jalanan. Untuk sesaat rumah kembali sunyi, hanya suara detak jam yang terdengar jelas. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengambil kunci cadangan apartemen kakaknya dari laci kecil meja rias Amara.
Dengan menggunakan taksi, Helena pergi ke tempat yang biasa di tempati Amara, Apartemennya. Apartemen Amara berada tepat di seberang butiknya, lantai dua dengan balkon kecil yang biasa dipenuhi pot bunga. Malam itu, balkon tampak kosong, dingin, seakan ikut menghilang bersama pemiliknya.
Dengan tangan gemetar, Helena memasukkan kunci ke pintu. Klik. Pintu terbuka.
Helena terpaku begitu masuk. Apartemen itu… terlalu rapi. Sofa tersusun sempurna, meja kaca tanpa debu, majalah ditumpuk rapi di sisi kanan. Bahkan dapur kecilnya kosong bersih, tidak ada cangkir kotor, tidak ada piring tersisa.
“Seperti tidak pernah ada yang tinggal di sini,” gumamnya, merasa bulu kuduknya meremang.
Ia melangkah perlahan, menelusuri setiap ruangan. Kamar tidur tersusun indah, ranjang ditata seperti di hotel, lemari pakaian penuh, gaun-gaun kakaknya menggantung rapi seolah menunggu pemiliknya kembali kapan saja.
Lalu matanya menangkap sesuatu di dekat pintu keluar, sebuah koper besar.
Helena berjongkok, menatap koper itu. Masih terkunci, tapi tag nama Amara tergantung jelas di pegangannya. Ia menyeretnya sedikit: berat, dan terdengar padat oleh lipatan pakaian di dalamnya.
Hatinya mencelos. Jika Amara benar-benar berniat pergi, kenapa koper ini masih tertinggal? Kenapa pakaian yang seharusnya ia bawa justru tersisa di sini?
Helena duduk di lantai, menatap koper itu lama sekali. Pertanyaan demi pertanyaan menyesakkan kepalanya.
“Apakah kau benar-benar pergi dengan kemauan sendiri, Kak? Atau… ada seseorang yang memastikan kau tidak pernah sempat membuka koper ini?”
Sunyi menelan apartemen. Jam dinding berdetak pelan, dan untuk pertama kalinya Helena merasa keberadaan kakaknya lebih jauh daripada yang pernah ia bayangkan.
Helena masih duduk di lantai, menatap koper itu dengan tatapan kosong. Hening ruangan hanya diisi detak jam yang terdengar makin berat di telinganya.
Tuk… tuk… tuk.
Helena tersentak. Ada ketukan pelan di pintu yang tadi ia biarkan terbuka setengah. Ia berdiri tergesa, mendekat.
Seorang wanita paruh baya muncul di ambang pintu, mengenakan daster bermotif bunga. Wajahnya tampak heran sekaligus lega melihat pintu apartemen itu akhirnya terbuka.
“Eh… maaf, Nona. Kau… adiknya Amara, ya?” tanya wanita itu, matanya menyipit penuh pengamatan.
Helena tertegun sesaat lalu mengangguk. “Iya, saya Helena. Tante… kenal Kak Amara?”
Wanita itu menghela napas, tangannya bertumpu di pinggir pintu. “Tentu saja. Saya tinggal di sebelah. Jujur saja, saya agak kaget melihat pintu ini terbuka. Soalnya, sudah hampir dua minggu apartemen ini tidak pernah ada yang masuk. Lampu pun selalu mati. Saya sampai berpikir Amara pergi ke luar kota.”
Helena membeku. Dua minggu? Padahal ia tahu persis kakaknya baru menghilang sekitar satu minggu lalu, terakhir kali mereka bicara.
“Dua… minggu?” gumamnya tak percaya.
“Betul,” wanita itu mengangguk mantap. “Saya cukup sering mengamati. Bahkan sempat saya tanyakan ke satpam apartemen, katanya tidak ada tamu atau kurir yang naik ke sini. Sepi sekali. Jadi ketika saya lihat pintunya terbuka barusan, saya buru-buru datang. Takut terjadi apa-apa.”
Helena mencoba tersenyum, meski dadanya diliputi ketegangan. “Terima kasih sudah peduli, Tante. Saya hanya… sedang mencari sesuatu milik Kakak.”
Wanita itu melirik ke dalam sebentar. “Aneh ya… apartemen ini kelihatan terlalu bersih untuk ditinggalkan lama. Biasanya kalau dua minggu, debu sudah kelihatan. Tapi ini… seperti baru dibereskan kemarin.”
Ucapan itu menusuk Helena. Ia menoleh ke sekeliling ruangan, benar sekali. Apartemen itu seperti sengaja disiapkan untuk terlihat rapi, bukan ditinggalkan secara alami.
Wanita itu pamit setelah menanyakan beberapa hal kecil, lalu kembali ke unitnya. Helena menutup pintu perlahan, punggungnya bersandar pada kayu dingin itu.
Matanya beralih lagi pada koper yang masih tergeletak di lantai.
Jika Amara benar sudah tidak menampakkan diri selama dua minggu, tapi baru menghilang seminggu lalu… berarti ada sesuatu yang disembunyikan. Sesuatu yang membuat waktu terasa tidak sinkron.
Helena menggenggam erat kunci apartemen. “Apa sebenarnya yang terjadi padamu, Kak…?”
Helena menatap koper itu lama sekali, jari-jarinya sudah menyentuh resleting yang terkunci rapat. Ada dorongan kuat untuk segera membukanya, seakan jawabannya ada di dalam sana.
Namun sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara getar ponselnya memecah keheningan. Ia merogoh tas kecilnya dengan cepat. Nama “Mama” berkedip di layar.
Helena menelan ludah. Dengan berat hati ia menjawab, “Halo, Ma…”
“Helena, kau di mana? Keluarga Lucian baru saja pulang, dan semua orang mencarimu. Besok pagi sudah pernikahan. Jangan tinggalkan kami di saat seperti ini.” Suara Edani terdengar tegas, penuh tekanan.
Helena memejamkan mata. “Aku… aku hanya butuh udara segar sebentar, Ma. Tolong, beri aku waktu.”
“Tidak ada waktu, Helena,” potong ibunya cepat. “Kau harus pulang sekarang. Apa pun yang kau pikirkan, simpan dulu. Kita harus fokus pada besok.”
Panggilan terputus begitu saja, meninggalkan dengung sepi di telinga Helena. Ia menurunkan ponsel perlahan, menatap koper yang masih bisu di dekat pintu.
Hatinya memberontak. 'Kalau aku pergi sekarang, mungkin aku kehilangan kesempatan tahu ke mana Kak Amara sebenarnya pergi…'
Tapi bayangan wajah ibunya, tekanan keluarga, dan kenyataan bahwa waktu terus berjalan memaksanya mengalah.
Dengan langkah enggan, Helena berdiri. Ia hanya bisa menatap koper itu sekali lagi, seperti sebuah rahasia yang mengejeknya karena belum tersentuh.
Tangannya bergetar saat ia memutar kunci pintu. “Aku akan kembali, Kak. Aku janji…” bisiknya lirih, sebelum keluar meninggalkan apartemen yang kembali sunyi.
Malam sudah larut ketika Helena tiba di rumah. Dari balik pagar besi, ia bisa melihat ruang tamu masih terang benderang. Suara orang bercakap-cakap terdengar samar, campuran nada tinggi dan rendah, seolah percakapan itu lebih mirip perdebatan.
Helena membuka pintu dengan hati-hati. Begitu masuk, semua kepala langsung menoleh padanya. Ibunya duduk di sofa dengan wajah tegang, ayahnya berdiri dengan tangan bersedekap, sementara Eldon, paman dari pihak ayah duduk di kursi seberang, wajahnya merah karena emosi.
“Helena.” Suara ibunya datar, nyaris seperti teguran. “Ke mana saja kamu? Kami mencarimu.”
Helena menelan ludah, menunduk. “Aku hanya… keluar sebentar.”
Ayahnya menghela napas berat, lalu menghampirinya. “Kamu harus mengerti situasinya. Tidak ada lagi waktu. Keluarga Lucian sudah jelas, mereka tidak mau pernikahan dibatalkan. Harga diri keluarga dipertaruhkan.”
“Dan kalau sampai batal, aib kita jadi bahan omongan seluruh kota,” sambung paman Eldon, nadanya penuh tekanan. “Kau tidak ingin itu terjadi, kan, Helena?”
Helena memandang satu per satu wajah mereka. Tenggorokannya tercekat. Jadi ini semua hanya soal nama baik? Bukan tentang Kak Amara, bukan tentang kebahagiaan siapa pun?
“Tapi… aku bukan Kak Amara,” suaranya akhirnya pecah, serak oleh emosi. “Kenapa aku harus jadi penggantinya? Ini tidak adil, Ma, Pa…”
Ibunya bangkit dari kursi, langkahnya cepat menghampiri. Tatapannya menusuk, namun suaranya tetap tegas dan dingin.
“Kau anak kami juga, Helena. Dan sekarang, kau satu-satunya cara agar pernikahan ini tetap berlangsung. Kalau kau menolak, kau bukan hanya mengecewakan kami, tapi juga mempermalukan keluarga ini di depan semua orang.”
Helena terdiam. Jantungnya berdegup cepat, tubuhnya gemetar. Ia ingin berteriak, ingin menolak habis-habisan. Tapi tatapan orang-orang di ruangan itu menekannya seperti jeruji besi.
Ayahnya menepuk pundaknya, bukan dengan kelembutan, tapi lebih sebagai penegasan. “Besok pagi, kau akan mengenakan gaun pengantin itu.”
Helena merasakan seolah seluruh udara di paru-parunya lenyap. Dalam hati, ia tahu: jalan yang dipaksakan ini akan membawa luka lebih dalam daripada yang bisa dibayangkan siapa pun.
...***...
...Like, komen dan vote....
...💙💙💙...