(Tidak disarankan untuk bocil)
Seharusnya, besok adalah hari bahagianya. Namun, Alfred Dario Garfield harus menelan pil pahit saat sang kekasih kabur, mengungkap rahasia kelam di balik wajahnya—luka mengerikan yang selama ini disembunyikan di balik krim.
Demi menyelamatkan harga diri, Alfred dihadapkan pada pilihan tak terduga: menikahi Michelle, sepupu sang mantan yang masih duduk di bangku SMA. Siapa sangka, Michelle adalah gadis kecil yang dua tahun lalu pernah diselamatkan Alfred dari bahaya.
Kini, takdir mempertemukan mereka kembali, bukan sebagai penyelamat dan yang diselamatkan, melainkan sebagai suami dan istri dalam pernikahan pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menerima begitu saja
Alfred duduk bersila di sofa, jas putih pengantin yang dikenakannya kontras dengan atmosfer tegang di ruangan itu. Matanya yang tajam menatap dua paruh baya di depannya tanpa berkedip, wajahnya kaku tanpa senyum, tapi ada bara amarah yang membara di balik tatapan dinginnya. Otot rahangnya menegang, napasnya teratur namun penuh ancaman tersimpan.
Di belakangnya, Vino berdiri kaku, tubuhnya hampir membeku, pandangannya lari-lari tidak berani menatap langsung ke bosnya, tapi sorot matanya yang tajam mengarah ke kedua orang di depannya.
“Lakukan sesuatu!” suara Alfred menggetarkan ruang, nada dinginnya seperti pisau yang siap melukai. “Jika tidak, saya akan menghancurkan keluarga kalian.” Ucapan itu terpatri dengan jelas, tanpa kompromi, membuat kedua paruh baya itu terdiam, menelan ludah dan saling bertukar pandang dengan gugup.
"Maaf, Tuan Alfred, kami benar-benar tidak tahu apa-apa," suara sang pria, Hendri bergetar, nyaris tak terdengar di ruang yang sunyi itu.
"Elena... dia sudah pergi tanpa pamit," suara Lenny serak, penuh kepedihan. "Kami baru menyadari dua jam sebelum akad. Tidak ada yang tahu ke mana dia pergi."
Alfred masih mempertahankan wajah datar dan dingin. Bekas luka panjang di mata kiri yang semalam ia tunjukkan pada Elena seolah menandakan bahwa di dunia tak ada orang mau menerima kekurangan orang lain. Dia kira dengan kejujuran kecil itu, Elena akan tetap bertahan. Tapi kenyataannya, ketakutan Elena pada wajah aslinya lebih besar dari cintanya.
Mengingat itu Alfred tertawa keras, tapi tertawanya itu sangat menyeramkan membuat pasangan paruh baya di depannya bergetar hebat, tak menyangka Alfred begitu menakutkan. Siapa sebenarnya yang menjadi kekasih anak mereka?
Alfred dengan gerakan cepat merogoh saku celananya, pistol dingin terangkat di tangan kanan.
DOR!
Dentuman tembakan menggema, peluru menembus lengan Hendri yang segera mengerang kesakitan, darah mengalir deras dari luka terbuka.
Lenny langsung memekik keras, kedua tangannya menutup telinga seolah ingin menutup kebisingan itu dari pikirannya.
Tawa Alfred pecah, menyeramkan, seperti iblis yang menikmati penderitaan. Namun tiba-tiba, tawa itu berhenti seketika, wajahnya berubah menjadi dingin, mata tajam menatap lurus ke arah Hendri dan Lenny, membekukan suasana.
"Jangan bertele-tele," suaranya rendah tapi penuh ancaman. "Saya tidak suka basa-basi. Langsung saja, apa solusi kalian? Sebelum saya benar-benar menghancurkan kalian."
Hendri yang menahan sakit, bibirnya bergetar, akhirnya jatuh berlutut, darah mengaliri lengan yang tergenggamnya. Dengan suara parau dan penuh penyesalan, ia memohon, "Tolong, maafkan kami..."
Lenny terisak, tubuhnya gemetar saat lututnya menyentuh lantai dingin di depan Alfred. Air matanya mengalir deras, membasahi pipi. “Kami benar-benar tidak tahu di mana Elena, tuan Alfred. Tolong... tolong percayalah pada kami,”
Hendri mengumpulkan keberanian. Napasnya berat, dadanya naik turun cepat, namun matanya menantang biru tajam Alfred. “Apa yang kau inginkan untuk menebusnya?”
Alfred tiba-tiba meledak, amarahnya meledak seperti petir. Tangannya mencengkeram kerah baju Hendri dengan kekuatan, wajahnya memerah, otot-ototnya menegang. “Kau masih berani bertanya?! Come on!” teriaknya, suara penuh kebencian dan keputusasaan. Tatapan matanya yang dingin menusuk, menyiratkan rasa sakit yang tak terkatakan, sekaligus ancaman yang mengerikan.
Lenny mengusap-usap tangannya dengan cemas. Matanya menatap Alfred dengan penuh harap,"Saya punya solusinya, Tuan. Bagaimana jika kau menikahi keponakan kami? Dia juga tak kalah cantik dari Elena." Napasnya tersengal ketika melanjutkan, "Setidaknya, jika kau tak mau menganggapnya sebagai istri, kau bisa menjadikannya budak... atau dia bisa menutup rasa malu tentang pernikahan ini."
Alfred menatap Lenny dengan dingin, ekspresinya membeku seperti patung marmer. Suaranya rendah dan menusuk, "Kalian tega menjual keponakan sendiri demi kepentingan kalian?"
Lenny menunduk, wajahnya basah oleh keringat dingin dan air mata yang berusaha ditahannya, "Hanya itu yang dapat kami lakukan, Tuan. Elena benar-benar menghilang." Tubuhnya gemetar, tangan yang tadi mengusap-usap kini terlipat rapat di pangkuan.
Melihat Alfred diam, Lenny segera meraih ponselnya, jari-jarinya bergerak cepat mengetik nomor yang sudah tersimpan. "Datang ke tempat pernikahan kakakmu sekarang," perintahnya dengan nada dingin dan mutlak, tanpa memberi kesempatan lawan bicaranya menjawab.
Dia menarik napas panjang, lalu menatap Alfred. "Kau bebas melakukan apa saja kepada gadis itu," ucap Lenny tanpa ragu. "Kami tak butuh dia. Dia hanya pembawa sial bagi kami."
"Lalu kalian memberi kesialan itu untukku?"
Lenny terkejut, wajahnya berubah panik, tangan yang semula menggenggam ponsel kini gemetar. "Bukan begitu, Tuan! Bukan!"
Derap sepatu boots itu memecah keheningan ruangan. Semua mata seketika beralih ke arah sumber suara—seorang gadis dengan rambut coklat yang sedikit berantakan, mengenakan crop top hitam yang memperlihatkan perutnya yang putih bersih, dipadukan dengan celana jins robek dan jaket kulit di tubuhnya.
"Kenapa kalian menyuruhku datang ke sini? Bukannya kalian melarangku pergi ke pernikahan kak Elena?" suaranya lembut tapi penuh arti.
Alfred akhirnya mengangkat kepalanya, sorot matanya yang awalnya dingin kini berubah menjadi penuh penasaran. Tatapannya bertemu dengan mata gadis itu.
Michelle berdiri kaku, matanya membelalak. Tubuhnya seketika menegang, tangan kanannya tanpa sadar meremas kuat jaket hitam yang dikenakannya. Tatapannya terpaku pada bekas luka mengerikan yang membentang di sekitar mata pria itu—bekas luka yang dulu sama sekali tak pernah ada. “Om Al?” gumamnya lirih, napasnya tercekat.
Wajah Michelle segera berubah saat ia mengalihkan pandangannya ke paman dan bibinya yang masih berlutut. “Kenapa kalian cosplay jadi budak? Ke mana kehormatan yang selama ini kalian junjung tinggi, paman, bibi?” suaranya penuh ejekan.
Lenny melotot tajam, suaranya pecah dengan nada kasar, “Diam, kau anak kecil!”
“Duduk, Micky!” Hendri memerintah dengan suara berat, matanya tak lepas mengawasi gerak-gerik keponakannya. Michelle mengerutkan kening, enggan menurut, namun beratnya perintah dan tatapan tajam Hendri akhirnya memaksa dia melangkah ke sofa, duduk dengan enggan.
"Siapa yang menyuruhmu duduk disana? Turun ke lantai, berlutut!" Hendri kembali berkata dengan suara tinggi kepada Michelle. Namun, gadis itu hanya mengangkat bahu acuh tak acuh.
"Kalian yang berbuat salah, kenapa aku ikut berlutut seperti kalian? Oh no!"
Alfred dengan tatapan menusuk, matanya tak pernah lepas dari sosok Michelle yang duduk berseberangan. Michelle sengaja menghindari kontak mata dengannya.
"Kau banyak berubah, gadis kecil" Alfred membatin dengan senyum tipis di bibirnya.
Tiba-tiba, suara Hendri memecah keheningan, “Kau akan menikah dengan tuan Alfred.”
Kalimat itu terucap begitu lugas, menusuk telinga Michelle bagai petir di siang bolong. Michelle terkejut, tubuhnya langsung tegak, matanya membesar menatap lurus ke arah Hendri. “Apa kalian bercanda? Jangan gila! Memangnya kak Elena kemana perginya?” suaranya bergetar, tapi penuh perlawanan.
Lenny menambahkan dengan nada tegas, “Jangan banyak tanya, Michelle. Kau akan menggantikan kakakmu menjadi pengantin tuan Alfred.”
Michelle beralih menatap pria di depannya dengan campur aduk antara kebingungan dan ketakutan. “Om, emangnya kau mau menikah dengan saya?”
"Kenapa tidak?" sahut Alfred dengan senyum licik tercetak jelas di bibirnya.