"Hai, aku gadis matematika, begitu Sora memanggilku."
Apa perkenalan diriku sudah bagus? Kata Klara, bicara seperti itu akan menarik perhatian.
Yah, selama kalian di sini, aku akan temani waktu membaca kalian dengan menceritakan kehidupanku yang ... yang sepertinya menarik.
Tentang bagaimana duniaku yang tak biasa - yang isinya beragam macam manusia dengan berbagai kelebihan tak masuk akal.
Tentang bagaimana keadaan sekolahku yang dramatis bagai dalam seri drama remaja.
Oh, jangan salah mengira, ini bukan sekedar cerita klise percintaan murid SMA!
Siapa juga yang akan menyangka kekuatan mulia milik laki-laki yang aku temui untuk kedua kalinya, yang mana ternyata orang itu merusak kesan pertamaku saat bertemu dengannya dulu, akan berujung mengancam pendidikan dan masa depanku? Lebih dari itu, mengancam nyawa!
Pokoknya, ini jauh dari yang kalian bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jvvasawa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2 | TITIK MULA
Harap bijaksana dalam membaca, karya ini hanya lah fiksi belaka, sebagai hiburan, dan tidak untuk ditiru. Cukup ambil pesan yang baik, lalu tinggalkan mudaratnya. Mohon maaf atas segala kekurangan, kecacatan, dan ketidaknyamanan, dan terima kasih yang sebanyak-banyaKnya atas segala dukungan; like, vote, comment, share, dan sebagainya, Jwasawa sangat menghargainya! 💛
Selamat menikmati, para jiwa!
...
"Nata!"
Nah, itu namaku. Natarin, lebih lengkapnya.
Cukup satu kata saja.
"Sibuk, tidak? Bisa tolong ajarkan aku rumus yang ini? Aku bingung."
Kepalaku menoleh pada salah satu teman kelas yang memanggilku tadi. Dia Kinata, bangku tempat duduknya tepat di belakangku.
Ya, nama kita hampir sama, jadi orang-orang akan memanggilku Nata, dan memanggil dia Kin, atau Kinat.
Aku tersenyum ramah dan mengangguk semangat. Semangat, karena akhirnya ada hal lain yang bisa aku lakukan selain termenung tak ada kerjaan.
Diriku ini sedikit bermulut manis, jadi aku akan merespon temanku seperti, "oh, mana mungkin aku sibuk kalau untuk Kinat! Kemarikan catatanmu, mana rumus yang membuatmu bingung?"
Ini yang aku maksud dengan aku juga punya peran penting di hidupku, di sekolah. Aku salah satu peserta tetap olimpiade matematika di sekolah, dan sudah berapa kali turun berkompetisi. Keren, kan?
Jangan keheranan tentang bagaimana bisa aku memilih subjek menyeramkan ini dari banyaknya bidang olimpiade, soalnya, otakku memang tidak ada tandingan soal kalkulasi, sudah dirancang sedemikian rupa untuk menampung timbunan angka.
Benar, ini lah kelebihanku, keunggulanku, dan aku pikir tidak perlu disembunyikan.
Berhubung aku termasuk murid yang berambisi, tentu saja aku harus memanfaatkan kelebihanku untuk keuntungan prestasiku. Kalian juga pasti begitu, kan?
Lagipula, tak ada yang perlu dikhawatirkan dari kekuatanku, hanya seputar perhitungan dan saudara-saudaranya.
Meski demikian, tentu saja aku tetap memerlukan latihan intens untuk mengasah kemampuanku, karena aku juga dihadapkan dengan yang terbaik pula, atau bahkan yang punya lebih banyak pengalaman, dan yang jam terbangnya lebih tinggi.
Ayolah, aku bukan satu-satunya yang memiliki kekuatan itu di dunia ini, sudah pasti ada banyak lawan dan saingan di luar sana.
Bahkan beberapa murid berkemampuan serupa di sekolah ini pun harus berhasil kutaklukkan untuk bisa terpilih menjadi kandidat yang akan membawa nama sekolah, dan kembali dengan mengharumkannya.
Begitu lah, secara garis besar, kehidupan persekolahanku untuk sekarang.
Berhubung sudah tidak ada lagi yang menarik dan penting untuk diceritakan tentang hari ini, karena aku hanya akan mengajari Kinat serta beberapa teman lain yang butuh bantuan selama jam pelajaran, jadi, mari kita lewati waktu hingga beberapa hari - jangan, mari kita langsung lompat ke beberapa minggu ke depan saja, biar lebih cepat.
Saatnya kita memasuki awal dari ceritaku, yang akan menguras emosi.
∞
Aku bangun pagi - lewatkan.
Aku bersiap-siap dan sarapan - lewatkan.
Aku pamit pada orang tua dan berangkat sekolah dengan jalan kaki - lewatkan.
Aku menyapa satpam sekolah dan teman-temanku yang berpapasan - ah, ini juga tidak penting, lewatkan.
Aku berdiri terlalu ke pinggir dan tersenggol tas pembawa motor hingga tiba-tiba jatuh pada selokan kering yang curam tepat di dekat gerbang masuk sekolah - lewatkan-
Tunggu, tunggu - oke, kita mundur selangkah, sepertinya ini titik koordinatnya. Bukan awal yang keren untuk memulai ceritaku, sial, tapi memang ini titik mula yang sebenarnya.
Di sini lah aku sekarang, sedang meringkuk memalukan di dalam selokan kering depan sekolah, tepat di sisi gerbang masuknya, seorang diri.
Lebih memalukannya lagi, diriku yang tengah menderita ini malah dijadikan tontonan oleh sederet manusia di atas sana, yang berbaris menumpuk tak rapi di sepanjang sisi selokan. Seperti melihat pajangan mahal di museum saja!
Kuharap kalian semua tertiup angin badai hingga jatuh di sini bersamaku! Huhu, malang sekali nasibku. Baru memulai hari, masih pagi, dan sudah ditimpuk kesialan!
Ide siapa untuk membuat selokan raksasa, yang securam dan selebar ini, tanpa pembatas yang aman, dan tanpa jeruji penutup untuk mengurangi probabilitas kecelakaan? Ada niat terselubung mencari tumbal, ya? Harus aku tuntut!
Sial, demi apa pun, sakit sekali.
Aku bersumpah, ini amat sangat sakit, bahkan rasa malunya saja kalah. Aku pikir semua tulangku patah - apa jangan-jangan memang iya?! Sukar sekali menggerakkan anggota tubuhku, sungguh, sampai-sampai aku menangis. Mana aku sedang datang bulan!
Sudah sejak kemarin punggung hingga tulang rusukku mengirim sinyal nyeri dan pegal, dan sekarang rasanya jadi semakin menyiksa.
Tuhan, tolong lah aku.
∞
"Ada apa ini, ramai-ramai di depan sekolah?" Aku dengar suara wanita paruh baya dari atas sana, di antara penonton yang menumpuk itu. Begitu mendapat jawaban dari salah satu murid, nadanya seketika berubah panik dan cemas, penuh kekhawatiran.
"Astaga, siapa yang jatuh?!" Semakin keras lah suaranya saat menyebut namaku setelah melihat kondisiku, mendapati aku terkapar mengenaskan di bawah sini. Beliau tidak lain dan tidak bukan, adalah wali kelasku.
Setelah berhasil menerobos kerumunan murid menyebalkan yang enggan membantuku, padahal aku sudah memasang raut wajah butuh pertolongan, atau mungkin mereka bingung bagaimana caranya, akhirnya beliau meminta bantuan pada satpam yang sedang berjaga untuk membantuku.
Benar juga, kenapa satpam tidak membantuku? Apa dikiranya aku sedang bercanda dan sengaja terjun bebas ke dalam sini seperti orang bodoh?
"Bu, biar saya bantu. Tadi saya yang tidak sengaja menyenggolnya. Maafkan saya."
Bagus, untung saja sang pelaku tidak melarikan diri dan bertanggung jawab. Harusnya dia minta maaf padaku, bukan pada Bu Tuti! Tapi, ya sudah lah, yang penting sekarang bantu dulu aku, sebelum seluruh tulangku rontok dari tubuhku dan menjadi fosil di semen keras sialan ini.
Pertama-tama, aku perlu diangkat naik dulu dari selokan kering ini, untung saja kering, kalau sampai ada isinya, air comberan yang hitam, jorok, menjijikkan, berlumut, penuh sampah itu, maka akan sekalian kecelupkan kepala si pelaku ke dalamnya sampai megap-megap.
Dan untuk melakukan itu, jelas membutuhkan beberapa orang, karena satu manusia tak akan sanggup, tak ada tangga yang bisa memudahkan.
Maksudku untuk proses penyelamatan mengangkatku naik, bukan untuk mencelupkan kepala orang yang katanya tidak sengaja menyenggolku itu.
Kedua, si penanggung jawab memapahku ke ruang kesehatan sekolah, awalnya. Dengan langkahku yang tertatih, dan mulutku yang beberapa kali merintih, akhirnya dia mengganti opsi; menggendongku.
Sudah lah, tak sempat pedulikan itu, terlalu ngilu untuk sempat merasa malu dengan keadaan saat ini.
Sementara itu, salah satu teman angkatanku, yang aku bilang pernah dirundung sebelum menjadi kekasih dari Bian, ternyata menyusul kami dan ikut menawarkan bantuan dengan membawakan tasku, demi mengurangi beban laki-laki ini.
Bersyukur lah hari ini aku tidak bawa banyak buku cetak yang setebal harapan orang tua. Kecuali jika lelaki ini yang menanggung beratnya, maka seharusnya tak apa kubawa.
Sepanjang jalan aku enggan melihat siapa lelaki ini, tak sedetik pun aku meliriknya. Selain kesal, rasanya juga canggung.
Ketiga, aku langsung dibaringkannya ke atas ranjang berbalut kain putih begitu sampai ruang UKS.
Sekarang baru lah aku melihat wajahnya, rautnya itu diukir rasa bersalah ketika melihat gigiku menggertak samar karena ngilu yang masih menjalar di seluruh tubuh, kemudian menyusul lah sebuah kata singkat dari bibir tipisnya, "maaf."
Tunggu, wajahnya?
Asing, tapi tak asing.
Keningku mengernyit, mataku memicing selidik pada manusia jangkung di pinggir ranjang ini, "loh?"
"Loh?" dia menyuarakan ulang kebingunganku.
...
Bersambung