NovelToon NovelToon
Malam Saat Ayahku Mati

Malam Saat Ayahku Mati

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Aulia risti

Di dunia tempat kepercayaan bisa menjadi kutukan, Izara terjebak dalam permainan kelam yang tak pernah ia pilih. Gadis biasa yang tak tahu-menahu tentang urusan gelap ayahnya, mendadak menjadi buruan pria paling berbahaya di dunia bawah tanah—Kael.
Kael bukan sekadar mafia. Ia adalah badai dalam wujud manusia, dingin, bengis, dan nyaris tak punya nurani.

Bagi dunia, dia adalah penguasa bayangan. Namun di balik mata tajamnya, tersembunyi luka yang tak pernah sembuh—dan Izara, tanpa sadar, menyentuh bagian itu.

Ia menculiknya. Menyiksanya. Menggenggam tubuh lemah Izara dalam genggaman kekuasaan dan kemarahan. Tapi setiap jerit dan tatapan melawan dari gadis itu, justru memecah sisi dirinya yang sudah lama terkubur. Izara ingin membenci. Kael ingin menghancurkan. Tapi takdir punya caranya sendiri.

Pertanyaannya bukan lagi siapa yang akan menang.
Melainkan... siapa yang akan bertahan.
Karena terkadang, musuh terbesarmu bukan orang di hadapanmu—melainkan perasaanmu sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia risti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Penyiksaan

Waktu menunjukkan sore hari. Izara terbangun dengan napas terengah, matanya menelusuri setiap sudut ruangan asing yang tak dikenalnya.

Dan kemudian, kilasan malam sebelumnya menghantam kepalanya—pria itu, tangan yang terangkat hendak memukulnya...

Namun, ingatannya terputus di sana.

Ia menarik napas panjang, mencoba mengendalikan kepanikan yang mulai merayap.

“Apakah… aku sudah mati?” gumamnya lirih.

Detik berikutnya, suara pintu berderit terbuka. Refleks, Izara menoleh.

Sosok itu. Pria yang tak mungkin dilupakannya.

Meskipun malam itu gelap, wajahnya terukir jelas dalam ingatan Izara—dan kini, ia berdiri tepat di hadapannya.

Izara mundur perlahan, tubuhnya gemetar ketakutan.

“A-apa yang kau inginkan dariku?” suaranya nyaris tak terdengar.

Seperdetik kemudian pria bergegas mendekati Izara dengan gerakan cepat mencengkram kedua bahu Izara dengan erat lalu mendorongnya hingga terpental Kedinding. Tak hanya sampai disitu pria itu kembali mendekat dan mencekik leher Izara hingga gadis itu menahan nafas kesakitan.

Izara meronta sekuat tenaga, kedua tangannya mencengkeram lengan pria itu yang mencengkeram lehernya. Tapi genggaman itu terlalu kuat, seperti besi yang tak bisa dipatahkan.

“Le-lepaskan…” lirihnya dengan suara parau, nyaris tak terdengar. Air matanya mengalir tanpa bisa dicegah. Tubuhnya gemetar hebat.

Namun bukannya mengendur, cengkeraman pria itu justru semakin erat. Tatapannya liar, penuh kemarahan yang membakar.

“DI MANA SENJATANYA?!” pekiknya, seolah suaranya bisa mengoyak langit.

Wajah Izara mulai memucat,matanya membelalak kesakitan. Napasnya tercekik, dunia di sekitarnya mulai berputar. Ia ingin berteriak… tapi suara tak keluar. Perlahan, pandangannya mulai mengabur.

Pria itu akhirnya mendesis kesal, lalu melepaskan cengkeramannya.

Izara terjatuh ke lantai, tubuhnya lemas. Ia terbatuk-batuk keras, menggeliat seperti seseorang yang baru diselamatkan dari tenggelam.

“Uek… huk… huk!!”

Batuknya bercampur isak, dadanya naik turun mencoba mengambil napas.

Pria itu masih berdiri di hadapannya, seperti bayangan gelap yang tak bisa diusir. Suaranya dingin dan mengancam.

“Sekarang… katakan. Di mana senjatanya?”

Izara menggeleng pelan, napasnya masih tersengal. "Aku… aku tidak tahu…"

“PEMBOHONG!!” teriaknya lebih keras. Wajahnya merah padam, matanya menyala penuh amarah.

“Ayahmu pengkhianat! Dia mengambil barangku! Dan kalau kau tidak katakan sekarang…”

Ia menunduk, meraih dagu Izara dengan kasar, memaksa gadis itu menatapnya.

“…Aku akan membunuhmu. Dengan tanganku sendiri.”

Jantung Izara nyaris berhenti. Ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Pria itu menatap Izara dengan sorot mata yang tak lagi manusiawi. Nafasnya memburu, tubuhnya menegang seperti ditelan amarah yang membakar habis akal sehat.

Tanpa peringatan, ia meraih rambut Izara dan menyeretnya kasar. Jeritan Izara menggema di ruangan, kakinya menyeret lantai, berusaha menghindar, tapi sia-sia.

“Lepaskan! Tolong! Sakit…!” ratapnya, berpegangan pada apa pun yang bisa dijangkau—pinggiran meja, kusen pintu—namun pria itu terlalu kuat. Tak ada yang bisa menolong.

Pria itu terus menarik hingga ke halaman belakang, ia mendorong tubuh mungil Izara hingga gadis itu terpental tersungkur.

“Kalau kau tak mau bicara, aku akan membuatmu bicara sendiri!”

Izara belum sempat bangkit saat tiba-tiba tangannya dicengkeram. Dalam satu tarikan kasar, wajahnya ditekan masuk ke kolam.

Byuur!

Udara terputus. Dunia jadi gelap dan dingin. Izara meronta, kakinya menendang-nendang, tangan mengayun mencoba melepas cengkeraman.

Beberapa detik berlalu…

Lalu pria itu menarik kepalanya ke atas.

Izara terengah-engah, batuk keras, air dan air keluar dari mulutnya. Tapi tak diberi waktu bernapas lama, karena…

Byuur!

Wajahnya kembali dibenamkan ke dalam air.

Nafasnya tertahan, pikirannya kabur. Ketakutan, sakit, dan sesak bercampur jadi satu. Ia ingin mati. Atau mungkin… ia sudah mati?

Kepalanya ditarik lagi ke atas. Kali ini lebih kasar.

“KATAKAN!! DI MANA SENJATA ITU?!”

“Aku… aku… huk… aku sungguh tidak tahu!” teriaknya dengan suara nyaris habis, tubuhnya menggigil hebat.

Pria itu mengangkat tangan, siap membenamkannya lagi. Tapi kemudian diam. Menatap Izara seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Lalu ia tersenyum miring.

“Baik. Kalau air tidak bisa membuatmu bicara… ada cara lain.”

Ia menarik Izara bangkit. Tubuh gadis itu lemas, nyaris tak bisa berdiri. Tapi pria itu tak peduli. Ia menyeretnya kembali ke dalam rumah, seperti binatang buruan yang sudah babak belur—dan belum akan dibunuh… belum.

Namun tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dan....

“Cukup.”

Sebuah suara dingin dan tenang memecah ketegangan. Pria itu sontak menoleh—namun tak sempat bereaksi saat seseorang menepis tangannya keras, memisahkan cengkeramannya dari tubuh Izara.

Izara menatap dengan mata membelalak, tubuhnya gemetar hebat. Siapa pria ini?

Sosok gelap itu berdiri di depannya, punggungnya menghalangi Izara dari bahaya.

“Jangan takut,” katanya pelan, tanpa menoleh.“Kau aman sekarang.”

Tapi Izara belum merasa aman—belum sepenuhnya percaya.

Karena satu hal mengganggunya…

Wajah pria ini… terasa familiar. Seolah—seolah ia pernah melihatnya…

Pria yang baru datang melangkah mendekat, suaranya dalam namun tegas.

"Kael, kau tidak bisa menghakimi orang seperti ini." katanya.

Kael menoleh perlahan, rahangnya mengeras. Tatapan matanya menusuk seperti belati, namun tidak berkata apa-apa untuk sesaat. Izara memandangi mereka berdua—dua pria dengan aura kuat yang begitu berbeda, tapi jelas saling mengenal.

Kai. Kakak kandung Kael.

Namun dari cara mereka saling menatap, jelas hubungan keduanya jauh dari kata "akrab". Ketegangan di antara mereka bisa terasa di udara.

"Kau datang hanya untuk membelanya?" tanya Kael dingin. "Setelah semua yang ayahnya lakukan?"

Kai menatap adiknya tajam, suaranya menekan. "Ini bukan tentang membela siapa pun. Ini tentangmu, Kael. Kau sudah terlalu jauh."

Kael mendengus pelan, penuh kemarahan yang tertahan. Ia berbalik menatap Izara, lalu kembali pada kakaknya.

Kael menatap tajam ke arah Kai. Matanya memerah, bukan hanya karena amarah—tapi luka lama yang kembali menganga.

"Ayahnya mencuri senjata itu. Dan karena ayahnya juga..." Kael menarik napas panjang, rahangnya mengeras. "...aku kehilangan Karina."

Nama itu—Karina—jatuh dari bibir Kael seperti belati yang menghujam ke udara. Mata Izara membelalak pelan, dia tak tahu siapa Karina, tapi rasa bersalah membakar tubuhnya, meski dia tak mengerti apa-apa.

Kai menatap Kael dalam diam. Hatinya ikut bergetar, tapi dia tetap berdiri tegak.

"Aku tahu, Kael. Aku tahu rasa kehilanganmu tak bisa diukur dengan apapun. Tapi tidak seperti ini."

Kael tidak menjawab.

Dia hanya menatap tajam ke arah Izara—tatapan yang entah berisi amarah, dendam, atau luka yang belum sembuh. Gadis itu menunduk, gemetar, tak berani membalas pandangannya.

Lalu tanpa sepatah kata pun, Kael berbalik.

Langkah-langkahnya berat, namun tegas menjauh.

Kai menatap punggung adiknya yang semakin menjauh.

Kael hanya mengalah... untuk sementara. Dia pasti akan kembali untuk menyiksa gadis ini.

Dan Izara, yang kini bersandar lemas, hanya bisa menatap diam—tak tahu bahwa hidupnya baru saja disentuh oleh dua pria yang masa lalunya lebih gelap dari malam.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!