Anya tidak menyangka bahwa hidupnya suatu saat akan menghadapi masa-masa sulit. Dikhianati oleh tunangannya di saat ia membutuhkan pertolongan. Karena keadaan yang mendesak ia menyetujui nikah kontrak dengan seorang pria asing.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Japraris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 2
Mentari tenggelam di ufuk barat, melukis langit ibukota dengan gradasi jingga dan ungu yang dramatis. Langit itu, kanvas surealis yang merefleksikan kerumitan batin Anya, seorang arsitek muda berbakat namun rapuh. Senyumnya, topeng yang menyembunyikan luka mendalam. Senja itu, saksi bisu kisah cintanya dengan Arga, kini hanya menyisakan kenangan yang memudar bak lukisan yang terhapus air mata.
Di rumah sederhana namun hangat, aroma sup ikan kuah kuning—kesukaan Kinan, putrinya—mencoba mengusir kesunyian, namun tak mampu membendung duka yang membayangi.
"Nyonya Anya, makan malam sudah siap," sapa Bibi, senyumnya selembut desiran ombak pantai, sebuah percikan harapan di tengah malam yang sunyi.
Bibi, asisten rumah tangga yang telah bekerja untuk Anya sejak kuliah, memahami setiap detail kehidupan Anya, termasuk luka yang tak pernah sepenuhnya terungkap. Anya, dengan rambut panjang terurai, menjawab dengan senyum tipis—topeng yang menutupi kesedihan yang mengakar dalam, pekat seperti tinta di atas kertas putih.
"Terima kasih, Bibi. Kinan, ayo turun."
Kinan, gadis kecil bermata bening dan rambut ikal sebahu, menuruni tangga dengan langkah pelan, memeluk erat boneka kelincinya—teman setia di tengah kesunyian.
Melihat Bibi, sesuatu dalam diri Anya bergetar—Bibi, saksi bisu perjalanan hidupnya, dari tawa riang bersama Arga, suami yang selalu mendukung mimpinya, hingga tangis pilu yang tak pernah berhenti, menyisakan luka yang menganga.
Anya, tegar di hadapan orang lain, terkadang merasa rapuh dan kehilangan arah. Kehilangan Arga bukan hanya kehilangan suami, tetapi juga belahan jiwa dan partner berkarya. Banyak rancangan bangunan yang terhenti, banyak mimpi yang tertunda.
"Bibi, terima kasih sudah kembali," ucap Anya, suaranya bergetar, penuh kerinduan dan kesedihan mendalam.
"Tidak apa-apa, Nyonya. Rumah ini terasa kosong tanpa kehadiran Nyonya dan Kinan," jawab Bibi, suaranya lembut seperti debur ombak, menawarkan sepiring ikan bakar yang harumnya membangkitkan kenangan.
Makan malam berlangsung dalam keheningan, hanya diselingi suara kecil Kinan. Anya berusaha menikmati momen itu, mencoba melupakan beban berat—beban kehilangan, kesepian, dan cinta yang terpendam.
Setelah makan, Anya mengantar Kinan ke kamar, kamar yang dindingnya dihiasi lukisan-lukisan Kinan. Anya, yang selalu berusaha kuat, merasakan kelelahan. Ia merindukan suara Arga, semangatnya yang selalu membakar.
"Mama, Papa benar-benar sudah pergi?" tanya Kinan, suaranya lirih, pertanyaan yang menusuk hati. Mata polosnya berkaca-kaca, mencerminkan kerinduan mendalam.
Anya terdiam, kenangan tentang Arga membanjiri pikirannya, kenangan manis dan pahit bercampur aduk, seperti ombak yang menerjang karang. Kenangan di pantai pasir putih, kenangan rumah tangga yang penuh badai, cinta dan tawa.
"Iya, Sayang," jawab Anya, suaranya tercekat, "Papa… pergi ke tempat yang jauh, tempat yang indah dan damai."
"Mama, ada fotonya Papa?" Suara Kinan bergetar, mengungkapkan kerinduan yang tak tertahankan.
Anya, yang selama ini tegar, merasakan dadanya sesak. Ia hanya punya sketsa-sketsa cepat Arga, gambar-gambar yang tersimpan di buku sketsanya yang usang. Kenangan yang tak terabadikan sempurna, hanya terpatri dalam ingatannya.
"Maaf, Sayang, Mama tidak punya foto," jawab Anya, suaranya bergetar menahan tangis. Ia memeluk Kinan erat, mencoba menenangkan putrinya, mencoba meredam kesedihan yang membuncah. "Tapi Mama punya banyak cerita tentang Papa, cerita yang indah dan menyenangkan."
Anya, yang terampil merancang bangunan, merasakan ketidakmampuannya merancang ulang hidupnya yang hancur.
"Tidak apa-apa, Mama," bisik Kinan, memeluk balik ibunya. "Tapi kenapa Mama sedih?"
Anya, yang selalu menyembunyikan kesedihannya, merasakan hatinya tertusuk pertanyaan putrinya. Anya mencium kening Kinan,
"Mama sedih karena Mama merindukan Papamu. Tapi Mama bersyukur karena Mama pernah memiliki Papa, dan karenanya Mama memiliki kamu, Sayangku, harta terindah Mama."
Kinan tersenyum, lepas dari pelukan Anya. "Mama, Kinan mau tidur."
Setelah Kinan tertidur, kesedihan kembali menyelimuti Anya. Bayangan Arga masih menghantui pikirannya, terutama saat ia melihat lukisan matahari terbenam di dinding kamarnya—lukisan karya Arga saat mereka di pantai, lukisan yang menggambarkan sepasang kekasih yang memandang langit senja, lukisan yang penuh dengan kenangan dan cinta yang telah sirna.
Bel rumah berdering. Anya berdiri, hatinya berdebar-debar. Siapa gerangan yang datang malam-malam begini?
"David?" Bisikan Anya terengah, melihat sosok David di ambang pintu, senyumnya lembut seperti cahaya bulan, menawarkan secangkir kopi hangat, sebuah tawaran yang penuh dengan perhatian dan kasih sayang.
David, teman Anya, yang selalu mengagumi bakatnya, telah lama menyatakan perasaannya. Namun, bayangan Arga masih menghalangi Anya untuk membuka hatinya.
Di balkon lantai dua, dengan pemandangan kota yang dihiasi lampu-lampu bagai bintang-bintang di langit malam, Anya dan David berbincang. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma laut yang menyejukkan jiwa.
"Bagaimana perasaanmu setelah kembali?" tanya David, suaranya penuh perhatian.
"Campur aduk, David. Bahagia bisa pulang, tapi juga sedih mengingat masa lalu," jawab Anya, suaranya lirih, penuh kerinduan dan kesedihan. "Masa lalu yang tak bisa kulupakan."
"Apakah kamu masih memikirkan Arga?" Pertanyaan David menusuk.
"Aku tidak tahu, David," jawabnya, suaranya bergetar, penuh keraguan. "Yang kupikirkan sekarang adalah Kinan dan masa depan kami."
David menatap Anya dalam-dalam, tatapan yang penuh dengan kasih sayang dan pengertian.
"Anya, kamu harus melupakan masa lalu. Kinan membutuhkan sosok ayah. Kamu tahu aku mencintaimu, dan aku menyayangi Kinan. Aku akan menyayangi dan menjaga kalian berdua. Bagaimana kalau kita menikah?"
Anya terdiam, perasaannya bercampur aduk. Cinta David tulus dan besar, namun bayangan Arga masih menghantui hatinya.
"David…" Anya memulai, suaranya masih terbata-bata. "Aku… aku masih belum bisa melupakan Arga."
"Jika Arga kembali, apakah kamu akan memilihnya? Melupakan semua kepahitan yang telah kau alami?" Pertanyaan David memaksa Anya untuk jujur pada dirinya sendiri.
Anya terdiam, air mata jatuh membasahi pipinya. Tangan David membelai wajah Anya lembut, menghapus air matanya.
"Sudah larut. Aku pulang dulu. Istirahatlah. Besok kamu harus bekerja. Jangan terlalu memikirkan semuanya malam ini."
Anya menatap punggung David yang menjauh. "Maaf, David," gumamnya lirih, "Aku… aku belum bisa menerima pria lain di sisiku."
Air mata jatuh membasahi pipinya, membasahi kenangan, membasahi harapan yang masih samar. Dibalik sedihnya, seberkas cahaya kecil muncul—cahaya harapan untuk masa depan yang lebih baik, untuk dirinya dan Kinan. Anya tahu, perjalanan menuju kebahagiaan masih panjang, tetapi ia akan terus melangkah.
Arga juga blm terbuka soal kejelasan skandal dia sama wanita2 yg digosipkan!!!