Embun Nadhira Putri, 28 tahun, terjebak antara tuntutan pekerjaan dan desakan keluarganya untuk segera menikah. Ketika akhirnya mencoba aplikasi kencan, sebuah kesalahan kecil mengubah arah hidupnya—ia salah menyimpan nomor pria yang ia kenal.
Pesan yang seharusnya untuk orang lain justru terkirim kepada Langit Mahendra Atmaja, pria matang dan dewasa yang tidak pernah ia pikirkan akan ia temui. Yang awalnya salah nomor berubah menjadi percakapan hangat, lalu perlahan menjadi sesuatu yang jauh lebih berarti.
Di tengah tekanan keluarga terutama sang Mama, rutinitas yang melelahkan, dan rasa takut membuka hati, Embun menemukan seseorang yang hadir tanpa diminta.
Dan Langit menemukan seseorang yang membuatnya ingin tinggal lebih lama.
Terkadang takdir tidak datang mengetuk.
Kadang ia tersesat.
Kadang ia salah alamat.
Dan kali ini…
takdir menemukan Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 — Hangat di Antara Gerimis
Langit malam Jakarta masih menyisakan gerimis tipis ketika Embun Nadhira Putri, 28 tahun, akhirnya menutup laptopnya. Bunyi klik penutup itu terasa seperti napas lega yang sudah ia tahan sejak sore. Dari balik kaca kantor yang mulai memantulkan bayangan dirinya, Embun bisa melihat bagaimana lampu-lampu kota berpendar seperti kunang-kunang urban—cantik, tapi melelahkan.
Sudah hampir pukul sembilan malam. Dan ia baru benar-benar selesai.
Ruangan lantai delapan yang biasanya ramai kini tinggal berisi suara AC yang mendesis pelan dan denting hujan yang menabrak jendela. Embun meraih gelas minum yang sejak siang tak tersentuh, meneguk sisa airnya, lalu mengusap pelipisnya yang mulai berat.
Sebagai staff HR sekaligus IT Specialist, hari-harinya memang jarang berjalan ringan. Dua peran yang seharusnya dipegang dua orang berbeda, malah ia jalani sendiri karena—kata manajernya—“kamu cepat tanggap, Bun, dan lebih teliti dari yang lain.”
Kadang itu terdengar seperti pujian. Kadang seperti hukuman. Data HR bukan main-main, semuanya harus sempurna. Penggajian, absensi,evaluasi performa. Sesuatu yang salah sedikit saja, efeknya bisa panjang—dari karyawan gelisah sampai audit perusahaan yang berantakan.
Itulah alasan Embun sering pulang paling akhir. Ia tidak boleh salah. Sama sekali.
Embun menghela napas panjang, melepas karet rambutnya hingga helai-helai panjangnya jatuh berantakan di punggungnya. Punggungnya ditariknya perlahan, mendengar sendi yang protes. Hujan di luar akhirnya berhenti, menyisakan jalanan yang masih berkilau basah.
Dalam hati, ia berbisik pelan, “Sudah umur segini, masih saja begini.”
Ia sendiri tidak tahu apakah kalimat itu untuk pekerjaannya… atau untuk hidupnya.
Embun merapikan meja kerjanya perlahan, memastikan tak ada dokumen yang tercecer, lalu mengambil tas kerja cokelat mudanya. Di luar, koridor kantor sudah gelap—hanya tersisa lampu emergency yang memantulkan bayangan tipis di dinding. Lift berdenting pelan ketika pintunya terbuka, seakan menyambut salah satu karyawan terakhir yang pulang malam itu.
Saat Embun melangkah keluar dari lobi, aroma hujan yang masih tertinggal di udara menyeruak. Jalanan depan gedung tampak berkilau tertib oleh lampu-lampu kendaraan yang berderet pulang-pergi. Ia merapatkan cardigan tipisnya sambil menyentuhkan ponsel ke sensor biometrik pintu keluar, langkahnya melambat saat angin lembap menyapu kulitnya.
Begitu sampai di bawah kanopi gedung, Embun membuka aplikasi ojek online. Baterai tinggal 12%. Seperti hidupnya—nyaris habis, tapi tetap harus jalan.
Ia mengetik tujuan rumahnya, lalu menunggu. Tidak sampai dua menit, notifikasi muncul:
Driver kamu: Bang Dedi — Honda Beat Merah. Tiba dalam 3 menit.
Embun mengangguk kecil. “Oke, semoga badanku nggak remuk,” gumamnya sambil menyentuh bahu sendiri yang pegal.
Hujan sudah reda, tapi genangan di pinggir trotoar masih memantulkan lampu-lampu jalan seperti kaca retak. Orang-orang yang lewat terlihat tergesa, masing-masing mengejar pulang, mengejar kehangatan rumah, atau sekadar ingin selesai dari hari yang panjang.
Embun merogoh tasnya, mencari tisu untuk mengelap sedikit embusan angin lembap yang menempel di layar ponselnya. Di kejauhan, motor berwarna merah berhenti dan seorang pria berjaket hijau melambaikan tangan.
“Mbak Embun?” Suara sopan, agak serak, tapi ramah.
Embun tersenyum kecil. “Iya, Bang. Betul.”
Bang Dedi meminjamkan jas hujan mika tipis. “Ini, Mbak. Abis hujan, jadi udara makin dingin.”
“Wah, makasih ya, Bang.” Embun menerimanya pelan.
Ia menaiki motor, menyampirkan tasnya erat di depan dada. Begitu mesin dinyalakan, Embun memeluk dirinya lebih rapat, rambut panjangnya berkibar tertiup angin. Jakarta malam itu terasa dingin, tapi justru dingin yang menenangkan. Setelah seharian penuh menahan beban dan pikiran, membiarkan angin malam menyapu wajahnya seperti ini rasanya… lumayan.
Saat motor melaju melewati jalanan basah, Embun menatap keluar—pohon-pohon trotoar bergerak mundur dalam bayangan lampu, gedung tinggi tampak seperti raksasa yang mengamati, dan langit Jakarta tampak berat, menyisakan warna biru pekat yang lembut.
Di punggung driver, Embun berbisik lirih, seolah hanya dirinya yang boleh mendengar:
“Semoga besok nggak capek begini lagi.”
Tapi ia tahu itu mustahil.
Kerjaannya menuntut ketelitian tanpa jeda, hidupnya menuntut kedewasaan tanpa kompromi, dan Mamanya… ya, Mamanya menuntut satu hal yang sudah mulai ia hindari setahun terakhir:
Menikah.
Embun menyandarkan kepala sebentar ke belakang, menatap langit yang belum pulih benar dari hujan.
**
Bahunya pegal, tapi langkahnya terasa ringan saat menjejak halaman rumah kecil yang ia tempati bersama sang Mama. Rumah itu tak besar, tapi selalu rapi, hangat, dan penuh aroma masakan yang menenangkan.
Begitu pintu terbuka, aroma sup ayam langsung menyambutnya dari arah dapur.
“Bun, udah pulang? Cuci tangan dulu, jangan langsung duduk. Nanti mejanya protes karena kotor,”
suara Mama terdengar sambil mengaduk sup.
Embun melepas sepatunya sambil nyengir. “Yaelah, Ma. Masa meja yang dikasih perhatian lebih, bukan aku?”
Mama menoleh dengan tatapan kaget pura-pura. “Kamu tuh ya, masa cemburuan sama meja.”
Embun spontan mendekat, mencium pipi mamanya sambil tertawa. “Ya ampun, Ma. Bercanda doang, jangan baper.”
Mereka makan bersama. Obrolan awalnya ringan—tentang cuaca yang makin nggak jelas, pagar tetangga sebelah yang baru diganti, sampai berita artis yang trending di TV. Tapi seperti biasa, arah pembicaraan pelan-pelan mulai bergeser ke topik yang paling dihindari Embun.
“Bun…” Mama menatapnya lembut. “Kamu sadar nggak, teman-temanmu banyak yang udah nikah? Anak Bu Rini tuh, baru dua puluh lima udah punya anak. Tetangga depan juga, baru lulus kuliah langsung nikah.”
Sendok Embun berhenti di udara. Ia mengangkat alis. “Trus maksud Mama apa? Aku harus ikut-ikutan juga? Ini bukan promo Indoapril, Ma—beli satu gratis satu.”
Mama pura-pura menahan tawa. “Mama serius, Bun.”
Embun mendengus, pura-pura berpikir. “Oke, kalau gitu Mama juga ikut tren dong. Tetangga depan piara kucing Persia, Mama mau kapan mulai piara singa?”
Mama langsung nyubit lengannya. “Mulutmu itu ya… nggak bisa diem.”
Tawa mereka pecah, tapi setelah jeda hening yang singkat, Mama kembali bicara dengan nada lebih lembut.
“Mama nggak maksain, Bun. Mama cuma khawatir. Kamu sibuk kerja terus, nggak pernah keliatan deket sama siapa-siapa. Mama cuma pengin nanti kamu punya teman hidup. Ada yang jagain kalau Mama udah nggak ada.”
Kali ini, Embun nggak bisa membalas dengan candaan. Kata-kata itu menembus lapisan tawanya, meninggalkan keheningan yang berbeda. Ia menatap sup yang mulai dingin, suaranya pelan.
“Ma… aku ngerti maksud Mama. Tapi aku belum kepikiran sejauh itu. Aku masih takut salah orang, takut ngulangin kesalahan yang dulu pernah terjadi di keluarga kita.”
Mama terdiam, matanya lembut tapi sarat luka lama. Ia meraih tangan Embun, menggenggamnya hangat.
“Bun, nggak semua orang sama kayak Papamu atau mantanmu. Kamu berhak bahagia. Mama yakin, ada seseorang yang tepat buat kamu. Jangan tutup hatimu terus.”
Embun menghela napas, lalu tersenyum kecil. “Iya, Ma. Aku akan coba. Tapi Mama juga jangan bandingin aku sama anak Bu Rini terus, ya. Kalau perlu, nanti aku bikin aplikasi baru: Tinder khusus calon mantu Mama.”
Mama ngakak sampai batuk-batuk. “Ya ampun, anak ini! Yaudah, Mama tunggu link download-nya.”
Malam itu, mereka menutup hari dengan tawa dan obrolan ringan yang terasa seperti pelukan hangat. Sederhana, absurd, tapi justru di sanalah rumah terasa paling hidup.
**
Embun baru saja keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih sedikit lembap, menetes perlahan di ujung-ujung helainya. Setelah mengenakan piyama kesayangannya, ia menjatuhkan tubuh ke kasur single yang empuk, seolah kasur itu bisa menelan segala penat. Aroma harum lotion dari tubuhnya bercampur dengan bau sprei yang sudah dicuci mamanya kemarin sore.
"Susu, Sayang," suara lembut mamanya terdengar, menyusul ketukan kecil di pintu.
Embun hanya menoleh sekilas. Sang mama masuk, meletakkan segelas susu hangat di atas nakas. "Minum dulu, biar tidurnya makin pules kalau perut kenyang."
"Iya, Ma," jawab Embun pelan, lalu tersenyum tipis.
Setelah mamanya keluar, kamar itu kembali sunyi. Hanya suara ACyang menemani dan pandangan kosong Embun ke arah langit-langit putih polos. Dalam diam, pikirannya berisik.
"Apa aku harus mulai buka hati lagi? Atau... aku masih takut? Setelah semua sakit yang dulu, rasanya berat banget buat percaya sama orang baru."
Seketika bayangan masa lalu muncul—ayahnya yang meninggalkan mamanya karena perempuan lain serta mantan pacarnya yang juga menghancurkan kepercayaannya. Sudah lama berlalu, tapi luka itu masih menempel erat.
Banyak orang berbisik, berasumsi, “Embun tuh belum move on, makanya jomblo mulu.”
Padahal bukan itu. Ia hanya belum siap.
Embun menghela napas panjang. "Duh, kenapa sih susah banget?" gumamnya, menatap langit-langit kosong seperti mencari jawaban di sana.
Embun menarik ponselnya dari samping bantal. Jari-jarinya sempat ragu, tapi akhirnya ia membuka grup chat bertiga dengan nama absurd yang mereka bikin sendiri: “Tiga Peri Tanpa Sayap”.
Embun: Besok kalian free nggak setelah pulang kerja? Aku butuh ketemu. Otakku udah kayak jalan raya pas jam macet.
Nggak lama, balasan masuk.
Lona: HAHAHA Gue Pulang kerja jam 4. Lo mau curhatin mantan lagi? wkwkwk
Embun mendengus kesal sambil mengetik.
Embun: Ih sebel. Gue bukan nggak move on, cuma... ya susah aja buka hati baru.
Bia: (yang biasanya dingin banget, akhirnya nimbrung) Intinya lo drama mulu. Udah ah, besok ketemu aja. Kita culik Lona sekalian ngopi.
Lona: Weh! Kok gue yang diculik? Harusnya Embun dong, dia yang curhat. Gue mah korban keadaan.
Embun: Wkwkwk. Tenang Non, nanti gue traktir es teh jumbo juga. Yang penting jangan kabur.
Bia: Deal. Besok pulang kerja, kita ketemu cafe biasa. Jangan ngaret, Bun. Kalau ngaret, gue pulang duluan.
Embun: Ya ampun, Bia mah masih dingin aja. Lo tuh kalau jadi es batu udah cair kali.
Lona: Nggak deng, dia tetep batu. Tapi batunya premium, kayak marmer Itali. 🤣
Embun ngakak sendiri membaca percakapan itu. Hatinya yang tadinya berat sedikit terasa ringan. Setidaknya, ia punya dua sahabat yang selalu bisa bikin hidupnya absurd tapi hangat. Besok, mungkin semuanya bisa lebih jelas setelah curhat langsung.
Embun menaruh ponselnya di atas dada, menatap kosong ke langit-langit putih kamarnya. Pipinya masih menahan sisa tawa karena bacotan absurd Lona dan celetukan dingin khas Bia.
"Marmer Itali… gila aja, bisa-bisanya si Lona nyamain Bia sama marmer," gumamnya sambil cekikikan kecil.
Namun tawa itu perlahan memudar. Sunyi kamar kembali terasa, hanya ada AC yang berdengung pelan. Embun menarik napas panjang. Hatinya terasa campur aduk.
"Besok ketemu mereka pasti enakan deh. Tapi kenapa malam ini tetep kerasa sesak, ya? Apa gue terlalu takut? Atau… gue cuma belum rela?” pikirnya.
Ia meraih bantal guling kesayangannya, memeluknya erat-erat. Seolah benda itu bisa
**
Embun terbangun dengan napas panjang dan mata yang masih setengah nempel. Sejenak ia cuma menatap langit-langit kamarnya, mencoba memproses apa yang barusan terjadi dalam mimpinya.
Ia menutup wajah dengan bantal sambil mengerang pelan, lalu memaksakan diri bangun. Beberapa menit kemudian, ia turun ke ruang makan sambil menyeret langkah seperti zombie yang baru resign dari dunia persilatan.
Aroma telur orak-arik dan roti panggang menyambutnya. Dan seperti biasa… Mama Raina sudah duduk rapi sambil membaca koran, padahal jam baru menunjukkan pukul 6.30.
“Pagi, Bun,” sapa mamanya tanpa menurunkan koran.
“Pagi, Ma…” jawab Embun, duduk dengan mata mengantuk.
Baru lima detik Embun mengambil roti, Mama menutup korannya. Tatapannya serius. Bahaya mulai terdeteksi.
“Bun…” suara Mama lembut, tapi aura pertanyaannya sudah terasa seperti opening statement sidang KUA.
“Hm?” Embun tetap fokus pada roti. Dari pengalaman 28 tahun hidup, ia tahu kalau ia menatap Mama, itu tandanya ia sudah menyerah duluan.
Mama meraih cangkir teh, meniupnya sebentar, lalu mulai “Umur kamu berapa sekarang?”
Embun memejamkan mata. Ingin pura-pura pingsan tapi roti keburu masuk mulut. “Dua… delapan,” jawabnya pelan.
Mama mengangguk dramatis, seperti sedang menghitung hari kiamat. “Dua puluh delapan. Umur yang sudah sangat matang.”
Embun baru mau minum, tapi tersedak udara duluan. “Ma, jangan mulai—”
“Tante Rika tuh, Bun, anaknya baru dua puluh enam udah mau nikah. Terus kemarin Mama liat di IG, si Anya—tetangga kita dulu—yang suka main di halaman rumah itu loh… sekarang udah punya anak. Satu. Bayi. Lucu pula.”
“Ma…”
“Belum lagi kemarin Mama arisan. Ditanya lagi sama Bu Sari, ‘Bu Raina, anaknya kapan nyusul?’ Mama tuh… bingung jawab apa. Masa Mama bilang, ‘Lagi sibuk kerja’ terus-terusan?”
Padahal baru semalam mereka membicarakan hal ini, tapi pagi ini tiba tiba saja Mamanya sudah membicarakan hal yang sama, terlebih cara Mama Raina berbicara sudah seperti juru kampanye buat partai si merah.
Embun memandang rotinya dengan sedih. “Mama kan bisa bilang aku bahagia…”
“Bahagia sendirian?” Mama menyipit curiga. “Bahagia kerja lembur tiap malam? Bahagia punya kasur tapi peluk guling terus? Bahagia pulang cuma disambut angin?”
Embun ingin bantah, tapi… well, valid juga sih.
Mama meletakkan cangkirnya, lalu bersandar. “Bun, Mama cuma takut kamu jadi perawan tua.”
“MAAA!!” Embun hampir jatuh dari kursi. “Jangan bilang perawan tua dong, kayak label makanan kedaluwarsa!”
“Tapi kan benar.” Mama menatapnya sambil memegang tangan Embun.
“Nanti kalau Mama nggak ada… siapa yang jagain kamu?” Kalimat itu langsung bikin Embun diam. Lunak. Menusuk.
Mama Raina melanjutkan, suaranya lebih lembut. “Coba deh, Bun… buka hati. Kenalan sama orang baru. Chat-chat manis sedikit. Kalo perlu Mama cariin, nih.”
Dan sebelum Embun sempat protes, Mama sudah mengambil ponsel dan BERUSAHA membuka aplikasi perjodohan di ponsel Embun.
Embun langsung meloncat. “MAA?! Jangan di download! Itu privasi! PRIVASI!”
Mama berdiri duluan, pura-pura nggak dengar. “Mama cuma mau cek… siapa tau kamu ketemu cowok ganteng plus kaya raya!”
“MAA!!”
Suara keduanya bergema di ruang makan yang tadinya damai. Embun mengejar ponselnya yang direbut Mama, sementara Mama sembunyi di balik kulkas sambil mencoba membuka layar dengan sidik jari Embun yang ditarik paksa.
“Ini demi masa depanmu, Bun!” jerit Mama.
“MATI AJA AKU!!”
Akhirnya setelah usaha seperti adegan MMA ringan, Embun berhasil merebut ponselnya. Ia berdiri dengan napas ngos-ngosan. Mama masih memegang tutup kulkas seperti atlet gagal. Keduanya saling menatap. Lalu… Mama tersenyum kecil.
“Kamu pikirkan lagi ya, Bun. Mama cuma mau kamu bahagia.”
Embun menelan ludah. “Iya, Ma… aku pikirin.”
**
tbc