Kisah perjuangan seorang anak ningrat yang dibuang bersama ibunya, tumbuh miskin, dihina, dan bangkit menjadi legenda dunia bisnis—menaklukkan pasar saham, membangun kerajaan korporasi, dan akhirnya mengguncang fondasi keluarga bangsawan yang dulu mengusirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DIRGANTARA TOWER
Udara pagi Jakarta terasa berat oleh kabut dan aroma bensin. Dari jendela lantai dua puluh satu Dirgantara Tower, gedung megah milik keluarga Dirgantara yang menjulang di kawasan Sudirman, sinar matahari menembus kaca biru raksasa dan memantul ke layar laptop seorang perempuan muda bernama Retno Kinasih.
Retno mengetik cepat, matanya berpindah dari data ke grafik, dari laporan ke presentasi. Jam digital di pojok meja menunjukkan pukul 07.48. Dalam dua belas menit lagi, rapat direksi dimulai. Ia harus mempresentasikan analisis tren saham anak perusahaan Dirgantara Investama Group, yang belakangan performanya menurun.
Di meja kerja yang sempit tapi rapi itu, Retno menyelipkan foto kecil ibunya di sudut kanan monitor. Foto itu menjadi pengingat sederhana: jangan menyerah, seberat apa pun hidup di ibu kota.
Suara notifikasi pesan singkat memecah keheningan.
“Semangat, Non Retno. Presentasinya pasti lancar.”
Pesan dari Pak Danu, seniornya di divisi riset, yang selalu memanggilnya Non karena logat Semarangnya yang khas.
Retno tersenyum singkat. Tangannya sedikit gemetar saat merapikan berkas. “Semoga hari ini tidak ada yang salah klik,” gumamnya pelan, mencoba menenangkan diri.
Lift khusus direksi berbunyi di belakangnya. Sekelompok pria dan perempuan bersetelan jas melangkah cepat menuju ruang rapat utama di lantai dua puluh lima. Di antara mereka ada Arif Dirgantara, CEO muda, putra dari pemilik grup raksasa itu. Usianya belum genap tiga puluh dua, tapi karier dan kharismanya membuat banyak orang menaruh hormat sekaligus segan.
Arif jarang tersenyum di kantor. Wajahnya tenang, dingin, dan tajam seperti batu obsidian. Namun hari itu, sesuatu yang kecil akan mengubah hidupnya.
Ruang rapat utama Dirgantara Tower memancarkan wibawa. Lantai marmer abu muda, dinding kaca, dan layar LED raksasa di sisi timur ruangan menampilkan grafik pergerakan saham Asia Tenggara. Di tengah ruang, kursi-kursi kulit hitam berjejer rapi.
Retno duduk di ujung meja, menunggu gilirannya berbicara. Direktur keuangan, direktur operasional, dan beberapa kepala divisi sudah membuka laptop masing-masing. Arif duduk di tengah, menatap lembar laporan tanpa ekspresi.
“Baik, kita mulai,” ujar Arif datar. Suaranya dalam, tapi jelas. “Divisi Riset dan Analisis, silakan paparkan hasil evaluasi kuartal terakhir.”
Retno berdiri, menekan tombol pointer. Layar menampilkan grafik warna biru laut. “Terima kasih, Pak Arif. Berdasarkan hasil riset tim kami, fluktuasi saham sektor energi dalam dua bulan terakhir menunjukkan pola yang—”
Suara Retno sempat bergetar. Ia menatap sejenak ke arah CEO muda itu, mencoba memastikan kata-katanya tepat. Arif mengangkat pandangan, memperhatikannya dengan tatapan datar namun fokus. Retno menelan ludah, lalu melanjutkan dengan lancar.
“—yang tidak sepenuhnya disebabkan oleh kondisi makroekonomi, melainkan juga oleh faktor psikologis pasar yang merespons rumor pergantian direksi di beberapa perusahaan pesaing. Dengan mempertahankan diversifikasi portofolio seperti strategi tahun sebelumnya, Dirgantara Investama masih bisa menekan risiko hingga tiga persen.”
Beberapa kepala direksi mengangguk. Retno semakin percaya diri. Ia menjelaskan tren, strategi mitigasi, lalu menutup presentasi dengan kesimpulan sederhana: stabilitas bukan hanya soal angka, tapi soal kepercayaan publik.
Saat ia selesai, ruangan hening sejenak.
Arif meletakkan pulpen, menatap layar besar itu, lalu kembali pada Retno. “Menarik. Anda bilang, kepercayaan publik adalah aset paling penting?”
“Iya, Pak,” jawab Retno hati-hati.
“Lalu, bagaimana Anda memastikan kepercayaan itu tidak hilang, di tengah isu bahwa salah satu anak perusahaan kita sedang dalam penyelidikan pajak?”
Pertanyaan itu tajam, seperti pisau. Beberapa direktur menatap ke arah Retno dengan khawatir. Tapi Retno tidak goyah. Ia menarik napas pelan, lalu menjawab tenang.
“Dengan transparansi, Pak. Investor lebih takut pada perusahaan yang diam, daripada perusahaan yang jujur mengakui dan memperbaiki.”
Suasana ruangan berubah. Arif menatapnya lama, seolah mencoba membaca isi pikirannya. Retno menunduk sedikit, menunggu tanggapan. Lalu, untuk pertama kalinya pagi itu, sudut bibir Arif menampilkan senyum tipis yang hampir tak terlihat.
“Jawaban yang bagus,” katanya. “Lanjutkan pekerjaan Anda.”
Retno menunduk. “Terima kasih, Pak.”
Usai rapat, Retno berjalan cepat menuju pantry lantai dua puluh satu. Tangannya gemetar lagi, kali ini karena lega. Ia menyalakan mesin kopi, menuang air panas, dan menatap refleksinya di kaca jendela besar.
Jakarta tampak seperti hutan besi. Mobil-mobil kecil berjejal di bawah, seperti semut yang tak pernah lelah. Retno menarik napas panjang.
“Kalau aku bisa bertahan di sini, aku bisa bertahan di mana pun,” katanya pada dirinya sendiri.
“Kalimat yang bagus,” terdengar suara dari belakang.
Retno menoleh. Arif berdiri di ambang pintu pantry, tanpa jas, hanya mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung. Rambutnya sedikit berantakan. Retno terkejut, hampir menumpahkan kopi di tangannya.
“Pak Arif! Maaf, saya tidak tahu Bapak di sini.”
Arif tersenyum kecil. “Santai saja. Saya hanya lewat. Kopi Anda aromanya enak.”
Retno buru-buru menurunkan cangkir. “Oh, ini… kopi robusta dari Temanggung, Pak. Saya biasa bawa sendiri dari rumah.”
Arif tampak tertarik. “Temanggung? Jawa Tengah?”
“Iya, Pak. Dekat Semarang.”
“Orang Semarang, ya?”
“Iya, Pak. Aslinya dari sana.”
“Pantas logatnya halus.”
Retno menunduk malu. “Maaf kalau terdengar aneh, Pak.”
“Tidak. Justru menyenangkan. Jarang saya dengar orang bicara sopan tapi tegas sekaligus.”
Suasana mendadak canggung. Retno mencoba tersenyum profesional. “Kalau tidak ada lagi, saya pamit dulu, Pak. Masih ada laporan yang harus saya kirim.”
Arif menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Baik. Oh, Retno.”
Retno berhenti. “Ya, Pak?”
“Presentasi tadi bagus. Tetap jaga idealismemu. Dunia bisnis jarang memberi ruang untuk orang jujur, tapi kalau bisa, jangan hilangkan itu.”
Retno terdiam. Kata-kata itu menggema lama di kepalanya. Ia menunduk pelan. “Terima kasih, Pak. Saya akan ingat.”
Arif berbalik dan pergi. Tapi sejak pagi itu, sesuatu berubah.
Hari-hari berikutnya, Retno mulai sering dipanggil untuk membantu proyek baru bernama Dirgantara EduFuture, program sosial yang menggabungkan investasi dan beasiswa pendidikan. Di ruang kerja terbuka lantai dua puluh tiga, Retno sibuk menata data saat suara Arif terdengar dari balik punggungnya.
“Sudah selesai, Retno?”
Belum sempat ia menoleh, aroma kopi hitam khas Dirgantara Café memenuhi udara. Arif meletakkan dua gelas di meja. “Satu untuk kamu. Saya tidak tahu kamu suka gula atau tidak.”
Retno tersenyum canggung. “Tanpa gula, Pak. Terima kasih.”
Arif duduk di kursi sebelah, memperhatikan layar laptop Retno. “Data ini menarik. Kamu pakai model prediksi sendiri?”
“Iya, Pak. Saya gabungkan tren sosial media dan indeks pendidikan per daerah.”
Arif mengangguk pelan. “Inovatif. Kamu tahu, di rapat direksi kemarin, konsep ini yang paling mereka sukai.”
“Serius, Pak?”
“Serius.”
Retno menunduk, menahan senyum. “Saya cuma ingin menunjukkan kalau perusahaan besar seperti kita bisa peduli pada pendidikan.”
“Persis seperti yang saya pikirkan,” ujar Arif.
Mereka terdiam sejenak. Di luar jendela, langit Jakarta berubah oranye. Lalu Arif menatapnya sambil berkata, “Retno, kamu percaya pada keajaiban kerja keras?”
Retno menoleh. “Percaya, Pak.”
“Kenapa?”
“Karena saya hidup dari itu,” jawabnya pelan.
Arif terdiam. Ada sesuatu dalam jawaban itu yang menyentuh sisi dalam dirinya—sesuatu yang selama ini hilang di tengah dinginnya dunia bisnis dan tekanan keluarga.
Sore itu, Arif berdiri sendirian di balkon ruangannya di lantai paling atas. Dari sana, ia bisa melihat seluruh kota: gedung-gedung, lampu kendaraan, dan langit senja yang mulai memerah. Ia mengingat wajah Retno—tatapan jujurnya, nada suaranya yang lembut namun yakin.
Sudah lama ia tidak melihat seseorang yang bekerja bukan demi posisi, tapi demi makna.
Ia ingat pesan ayahnya dulu:
“Jangan jatuh cinta pada karyawanmu. Itu akan menghancurkan nama keluarga.”
Namun anehnya, dalam hati Arif justru muncul rasa hangat yang sulit dijelaskan.
Bukan sekadar kekaguman. Bukan pula sekadar simpati. Ada sesuatu yang jauh lebih dalam.
Cahaya senja memantul di kaca Dirgantara Tower, membentuk bayangan wajah Arif sendiri. Ia menatap pantulan itu lama, lalu berbisik pada dirinya sendiri.
“Mungkin kali ini, aku ingin menghancurkan sedikit saja aturan keluarga.”
Di bawah sana, lampu-lampu kota mulai menyala.
Dan di salah satu lantai, Retno Kinasih menatap layar laptopnya, tanpa tahu bahwa sejak hari itu, hidupnya tak akan pernah sama.
menarik