NovelToon NovelToon
Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Selingkuh / Ibu Mertua Kejam / Era Kolonial
Popularitas:9k
Nilai: 5
Nama Author: Hayisa Aaroon

1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.

Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.

Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.

Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.

Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.

Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

1. Pariyem

Erangan mengejan membelah keheningan malam, disusul tangis bayi yang memekakkan telinga. Pariyem terbaring dengan wajah pucat, keringat membasahi dahi dan pelipisnya.

Napasnya masih terengah, tubuhnya lelah setelah perjuangan panjang melahirkan. Namun bibirnya melengkung membentuk senyuman ketika dukun bayi mengangkat sosok mungil yang diselimuti kain jarik sogan.

"Laki-laki atau perempuan, Mbok?" tanya Pariyem dengan suara serak, dadanya berdebar tak karuan.

"Laki-laki.” Sang dukun bayi menjawab tanpa menoleh, memandang kagum wajah bayi dalam dekapannya. “Masya Allaah … tampan seperti Ndoro Gusti.”

Si dukun bergegas membersihkan bayi dengan air hangat, dibantu para pelayan.

Pariyem memejamkan mata, mengembus napas lega, lengkungan senyum di bibirnya merekah.

Dari kecil ia bekerja keras di Dalem Prawirataman untuk mengisi perut, tapi sekarang, perutnya yang telah bekerja memberinya kehidupan.

Seorang anak laki-laki untuk bangsawan tinggi. Itu cukup untuk membuatnya tak perlu lagi bekerja seumur hidup.

Namun angan-angan di kepalanya seketika lenyap saat pintu terbuka dengan kasar. Kanjeng Raden Ayu Kusumawati—ibu dari sang suami—melangkah masuk dengan dagu terangkat, mata sinis menatap ruangan yang berbau anyir darah dan ramuan jamu.

Dia bahkan tak melirik Pariyem yang kakinya masih terbuka lebar tertutup kain jarik, menunggu ari-ari keluar. Tatapannya hanya tertuju pada bayi yang sedang dibersihkan.

"Laki-laki atau perempuan?"

Si dukun bayi membungkuk hormat dengan dua tangan membentuk sembah. "Laki-laki, Gusti Ayu."

Senyum tipis terkembang di wajah angkuh sang Raden Ayu.

"Berikan kepadaku," ucapnya begitu bayi selesai dibedong dengan kain jarik baru.

Pariyem tersenyum melihat sang ibu mertua akhirnya tersenyum. Dengan bayi ini, mungkin jurang antara rakyat jelata dan ningrat bisa terjembatani, pikirnya.

Mungkin dia bisa diterima dengan lebih layak. Mungkin dia tak lagi dianggap sekadar gundik murahan yang dipungut dari dapur.

Tapi itu hanya mimpi sesaat.

Sang Raden Ayu membawa bayi itu keluar begitu saja. Tak ada ucapan terima kasih. Tak ada sapaan. Bahkan tak ada tatapan mata. Seolah Pariyem hanya alat yang sudah selesai dipakai.

Hati Pariyem retak, tapi dia menenangkan diri. Paling tidak dia melahirkan cucu laki-laki sesuai harapan. Itu bisa dijadikan modal untuk posisinya nanti.

Waktu berlalu. Ia telah dibersihkan, berganti ke kebaya sederhana yang biasa dipakainya. Terbaring dengan tubuh lelah, tapi bayi itu tak kunjung dikembalikan, hatinya mulai was-was.

Pintu dibuka oleh pengawal. Raden Mas Soedarsono masuk dengan senyum menawan seperti biasa. Surjan hitam dan blangkon yang dipakainya masih rapi meski sudah larut malam.

"Yem," sapanya dengan suara dalam yang dulu membuatnya jatuh cinta.

Pria itu berjalan tegap ke sisi tempat tidur. Pariyem memaksakan senyum meski hatinya sudah memberi firasat buruk.

"Yem," ucap sang suami sambil mengusap puncak kepala Pariyem dengan gerakan yang hampir seperti mengelus kucing peliharaan. "Lilakno yo, Yem?" (Relakan ya, Yem)

Suaranya lembut tapi dalam, seperti perintah yang dibungkus beludru.

"Anakmu akan dibesarkan di kadipaten. Bersama saudara-saudaranya yang lain. Dia akan mendapat pendidikan terbaik, makanan terbaik, pakaian terbaik. Semua yang tak bisa kauberikan kalau dia tinggal di sini."

Senyum di bibir Pariyem membeku. Getir mengalir di tenggorokannya.

Soedarsono memberi isyarat pada pengawal. Seorang abdi masuk dengan kotak kayu berukir bunga.

Abdi itu membungkuk dalam-dalam sembari menyerahkan kotak itu, lalu mundur teratur ke pintu.

"Ini hadiah untukmu, Yem. Kau sudah melahirkan putra yang sesuai harapan Ibu."

Pariyem tersenyum manis. "Matur sembah nuwun, Ndoro.”

Suaranya lemah, tapi ada sedikit kebahagiaan sang pria pujaan akhirnya datang menemuinya, dengan sekotak hadiah.

Soedarsono mengangguk, mengecup dahi Pariyem dengan sayang. "Istirahatlah agar cepat pulih. Nanti kau bisa kembali melayani seperti biasa."

Pariyem memberikan senyuman terbaik yang dipaksakan. Hatinya hancur bersamaan dengan pintu yang tertutup.

Dengan tangan lemah, ia membuka kotak perhiasan itu. Gelang emas bermata zamrud hijau berkilauan disorot cahaya lampu minyak.

Hadiah paling mahal yang pernah diberikan selama tiga tahun ia menjadi selir. Tak ada senyum di bibirnya, entah mengapa perhiasan itu terasa seperti bayaran?

Ia bahkan belum sempat melihat wajah sang putra dengan jelas. Seperti apa matanya? Apakah hidungnya mancung seperti ayahnya? Apakah bibirnya tipis seperti miliknya?

Seorang pelayan tua masuk membawa wadah tanah liat berisi bara api, diletakkan di bawah kolong tempat tidur. Wangi cendana menguar dari asap tipis, menyamarkan bau anyir darah dan ramuan jamu bersalin.

"Mbok, bayiku mana?"

Pariyem menoleh pada pelayan yang sedang mengangkat kain-kain kotor bekas bersalin ke keranjang anyaman bambu.

Perempuan tua itu menjawab pelan. "Dibawa Gusti Ayu ke Dalem. Dicoba disusukan ke ibu susu yang sudah dipilih."

Hati Pariyem serasa ditusuk belati. Dia sudah mendengar kabar itu sebelumnya. Sang mertua mencari perempuan dari kalangan bangsawan rendah yang mau dibayar menjadi ibu susu.

Bayi itu tidak akan pernah disusukan pada dirinya yang dianggap tak punya setetes pun darah biru.

"Siapa, Mbok?"

"Itu, cucu dari mendiang Bupati Suharjo. Suaminya baru meninggal kena penyakit paru-paru. Anak-anaknya kecil-kecil banyak. Warisan dari mendiang bupati sudah habis untuk pengobatan."

Pelayan itu kemudian mengangkat bakul berisi kain kotor keluar, meninggalkan Pariyem dengan luka yang menganga di dada.

Kebenciannya pada para perempuan ningrat itu semakin membara. Mereka yang masih bayi sudah disuap dengan sendok perak.

Mereka yang tidur di kasur empuk sementara Pariyem dulu tidur di atas tikar pandan. Mereka yang bisa dengan mudahnya makan nasi putih tiga kali sehari sementara Pariyem dulu bersyukur bisa makan nasi jagung sekali sehari.

Mereka yang belajar membaca lontar dan menulis aksara Jawa sementara Pariyem buta huruf.

Mereka yang punya nama panjang dengan gelar kebangsawanan sementara Pariyem hanya punya satu nama pemberian ibunya.

Dan kini, mereka juga yang berhak menyusui anaknya. Sementara Pariyem hanya wadah sementara. Rahim sewaan yang sudah selesai tugasnya.

Bahkan anaknya nanti tak boleh memanggilnya ibu. Dia akan memanggil istri utama sang suami dengan panggilan "Ibu".

Sementara Pariyem? Akan dipanggil dengan sebutan "Yu" setara dengan sapaan kakak perempuan, atau bahkan tidak akan dikenalkan sama sekali pada sang anak.

Pariyem mengusap perutnya yang masih membuncit meski tak sebesar sewaktu masih ada bayi di dalamnya.

Dia merindukan gerakan-gerakan kecil yang dulu menendang dari dalam, merindukan masa-masa ketika dia masih menyatu dengan sang putra.

Kini kosong.

Seperti hidupnya yang akan kembali kosong esok hari. Kembali menjadi Pariyem yang tak dianggap meski telah berhasil melahirkan keturunan ningrat.

Pariyem si gundik. Pariyem yang tak punya apa-apa selain tubuhnya yang dinikmati sesekali oleh tuannya.

Air mata akhirnya jatuh. Dalam sunyi, dia menangisi anak yang tak akan pernah menjadi miliknya, tak akan pernah memanggilnya ibu.

1
Hanz
awas diracun
Hanz
perempuan cerdas. realistis.
EL M, rizky
alhamdulillah yem masih paham agama..🤭
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
yok semangat yem! perempuan tua tukang atur itu harus dilawan!
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
itu dipikir nanti aja yem.... sekarang yang penting aman dulu dari sundel 😑
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
diracun aja kanjeng ayu gimana? ayo yem diracun aja nduk.. biar kamu bisa sama pram terus 🤗😑
Binbin
tuker aja teh nya yem
Ricis
tetaplah waspada Yem, jangan ceroboh & mudah percaya dgn orang
Lannifa Dariyah
pariyem k t4 sumi, apa akan menggoda Martin juga?
oca
aku juga mules yem,takut kamu di apaapain😬
oca
jangan2 suruhan kanjeng ibu
oca
pinteeer kamu yem
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
naaah gitu le jangan cuma nunduk2 aja,,, protes! tanya! 😙
oca
neeeh kumat merasa berjasa🤣
oca
🤭🤭🤭🤭
🌺 Tati 🐙
pokonya hati2 dan waspada Yem,mau dia baik tetep kita harus hati2
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
buset pemikirannya gini amat yak 😂 astaga miris ya
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
ddihhh jahat banget yah 🥺😑
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
hmmn tugasmu yem buat ngorek2 tapi harus hati2 yem 😂
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
kamu kan laki2 kamu imam lho! masa cemen gini yak ternyata 😪😂
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!