NovelToon NovelToon
My Enemy, My Idol

My Enemy, My Idol

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Enemy to Lovers
Popularitas:372
Nilai: 5
Nama Author: imafi

Quin didaftarkan ke acara idol oleh musuh bebuyutannya Dima.

Alhasil diam-diam Quin mendaftarkan Dima ikutan acara mendaftarkan puisi Dima ke sayembara menulis puisi, untuk menolong keluarga Dima dari kesulitan keuangan. Sementara Dima, diam-diam mendaftarkan Quin ke sebuah pencarian bakat menyanyi.

Lantas apakah keduanya berhasil saling membantu satu sama lain?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon imafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1

Jika dilihat dari langit, warna kamar Quin yang serba pink sangat kontras dengan warna jalanan berlubang dengan ukuran satu mobil di belakang kamarnya. Komplek perumahan Quin merupakan komplek baru yang dibangun setelah menggusur wilayah perkampungan di daerah selatan Jakarta. Meski begitu, penduduknya tidak ada masalah. Semuanya damai dan bahkan saling membantu. Jika ada orang di komplek yang membutuhkan asisten rumah tangga pulang pergi, maka bisa memanggil Teh Santi yang kebetulan suaminya menganggur tidak ada kerjaan. Begitu juga sebaliknya, jika Mang Ujo, suaminya teh santi sedang perlu kerjaan, kadang ada saja yang menggunakan jasanya untuk mengantar barang dengan menggunakan motor pinjaman tetangganya, Dima.

Dima adalah teman sekelas Quin. Dia sekelas dengan Quin sejak kelas satu SMA. Sialnya, sekarang di kelas dua mereka sekelas lagi. Semua orang pun heran, karena kenapa mereka berdua itu seperti Tom dan Jerry, saling membenci tapi selalu tidak bisa jauh satu sama lain. Ajaibnya lagi, ada anak kelas satu yang membuat fanfic tentang mereka berdua di aplikasi Noveltoon. Anak-anak kelas satu merasa mereka berdua itu pasangan serasi seperti Rangga dan Cinta. Selalu bertengkar, tapi sebenarnya saling suka.

Ya memang, Quin yang memiliki rambut panjang, kurus, wajahnya kecil, dan kulitnya putih, bisa dibilang mirip dengan Leya pemeran Rangga dan Cinta, tapi ada juga yang bilang Quin lebih mirip dengan Dian Sastro. Beberapa orang menyayangkan Quin tidak ikut audisi film itu tahun kemarin. Banyak yang bilang Quin lebih cocok memerankan Cinta daripada Leya. 

Begitu juga dengan Dima. Alisnya tebal, rambutnya cepak, dan tulang wajahnya sangat mirip dengan El pemeran Rangga. 

“Yah kalau dilihat dari sedotan ketika kita berada di atas tugu emas monas”, kata Quin setiap kali ada yang membicarakan harusnya Dima juga ikutan audisi film Rangga dan Cinta. 

Memang sih, Dima itu mirip karakter Rangga, satu-satunya murid pria yang pintar menulis dan suka membaca, tetapi bedanya dia tidak suka menyendiri di belakang kantin. Dima itu banyak ngomongnya dan lebih suka nongkrong di kantin bersama teman-temannya Givan, Danu, dan Jejen. Givan yang tinggalnya masih satu daerah dengan Dima, Danu yang satu komplek dengan Quin, dan Jejen yang tinggalnya dua kali naik angkot dari sekolahan. Harusnya murid-murid di SMA Nusa ini masih satu daerah semua, karena harus masuk dengan menggunakan sistem rayon. Tapi Jejen gosipnya masuk karena ordal. Ibunya adalah adik dari guru kimia. 

Quin memeriksa isi tasnya lagi, baju olahraga sudah dibawa lengkap dengan peralatan mandi dan parfum. Dia tidak ingin ada yang tertinggal seperti kemarin. Dia lupa membawa buku tugas temannya, Nisa. Akibatnya dia membuat mamanya datang diantar Mang Ujo untuk mengantarkan bukunya Nisa.

“Quin! Ayo sarapan dulu!” teriak Mamanya dari ruang makan di lantai satu.

“Iyaaa!” Quin bergegas turun tangga, bersamaan dengan terdengar suara benturan keras dari luar rumah.

Quin bergegas naik lagi ke kamarnya, untuk melihat apa yang terjadi di gang belakang rumahnya. Ternyata Mang Ujo jatuh tabrakan dengan tukang sampah. Dima yang memakai baju olahraga dan membawa tas, datang membantu Mang Ujo bangkit. Akhir-akhir ini Mang Ujo terlihat sering membawa motornya Dima. Quin jadi bertanya-tanya apakah ayahnya Dima tidak mengojek lagi?

Di bawah sinar matahar, rambutnya Dima yang hitam, tebal, dan ikal terlihat berkilau. Quin selalu penasaran apakah karena keturunan atau karena Dima menggunakan lidah buaya waktu masih kecil seperti mamanya yang selalu memakaikannya ke kepalanya. Tapi sekarang rambut Quin tidak setebal rambut Dima.

Setelah membantu Mang Ujo bangkit dan mendirikan motornya. Dima melirik ke jendela kamar Quin. 

Quin bersembunyi di balik korden. Di dalam kepalanya dia ingin berinteraksi seperti dengan teman pada umumnya. Bisa teriak dari jendela ke orang yang ada di bawah, bertanya ada apa? Atau kenapa? Tapi Quin tidak tahu kenapa dia tidak bisa melakukannya pada Dima. Dia lalu bergegas pergi turun ke ruang makan.

“Ada apa?” tanya Mamanya yang sedang mengaduk segelas kopi untuk Papanya.

“Mang Ujo tabrakan sama tukang sampah,” jawab Quin sambil mengambil nasi goreng satu sendok nasi ke piring dan mulai makan.

“Astgifirullah! Nggak apa-apa?” tanya Mamanya khawatir.

Quin mengangkat kedua pundaknya, memberikan jawaban tidak tahu. 

Padahal Dima lagi membantu Mang Ujo mendorong motornya yang tidak bisa menyala ke jalan raya.

“Ada apa?” tanya Papanya datang lalu duduk di meja.

“Mang Ujo, tabrakan sama tukang sampah!”

“Innalilahi!”

“Nggak meninggal, Pah!” kata Mamanya mengoreksi Papanya.

“Kalau kecelakaan kan juga bilangnya innalilahi, Mah,”

“Emang iya?” tanya Mamanya pada Quin.

Quin lagi-lagi menjawab dengan menaikkan kedua bahunya. Bukannya tidak tahu, tapi dia tidak mau terlibat dengan Mamanya yang selalu pura-pura lupa soal sesuatu yang sebenarnya sudah tahu. Quin merasa mamanya itu punya penyakit cari perhatian atau pick me kalau sedang bicara dengan orang lain. Pernah ketika sedang ada teman-teman mamanya di rumah, mamanya menjelaskan soal resep masakan pada Quin, tapi begitu teman-temannya datang, mamanya bertanya soal resep masakan itu pada temannya, pura-pura tidak tahu.

“Kamu itu kalau ditanya, dijawab dong!” kata Mamanya kesal.

Quin mengangkat telunjuk untuk menunjukkan mulutnya yang penuh dengan nasi. Menjelaskan bahwa dia lagi mengunyah, sehingga tidak bisa menjawab. Tentu saja dibalas dengan nasihat panjang dari mamanya yang memang cerewet seperti kakak dan adik-adiknya. Selesai makan, Quin pergi ke sekolah diantar oleh Papanya yang sekalian pergi ke kantor. Kadang-kadang Quin melihat Dima sedang jalan kaki atau lari menuju sekolah. Tapi kali ini dia tidak ada.

‘Mungkin lagi ngurus motornya yang tadi jatuh,’ pikir Quin dalam hati.

“Ada yang ketinggalan lagi?” tanya Dima yang baru datang pada Quin yang lagi mengeluarkan baju olahraga untuk bersiap pelajaran olahraga di jam pertama.

Quin ingin bertanya soal motornya yang tadi tabrakan dan kenapa Dima terlambat, tapi yang keluar hanya satu kata, “Ada.”

“Apa?” tanya Dima menantang.

“Kemoceng! Buat bersihin elu!” Quin menjulurkan lidahnya ke Dima.

“Ha, ha, lucu banget! Eh, si Quin ngelucu!” kata Dima yang menyimpan tasnya di bangkunya, kursi kedua dari belakang. Di belakangnya ada Jejen yang sedang mabar dengan Danu.

“Main nggak?” tanya Jejen tidak memedulikan perkataan Dima tentang Quin. Sepertinya anak-anak cowok itu sudah tahu kenapa Dima biasa menggodai Quin. Dima tidak menggodai murid perempuan lain kecuali Quin. 

“Nggak ah, bentar lagi masuk!” Dima duduk di kursinya dan mengeluarkan buku puisi untuk dibacanya.

“Ah nolep! Baca mulu!” ejek Danu.

“Eh lo kok belum olahraga udah bau ketek! Abis ngapain lu? Nggak mandi?” kata Jejen menutup hidungnya dengan kaus bajunya.

Quin yang keluar bersama Nisa membawa baju olahraga untuk ganti di kamar mandi, melirik Dima, ingin tahu apa jawaban Dima.

”Gue abis pemanasan tadi, lari lima kilo!” 

Quin menggelengkan kepala, kesal tidak mendapatkan jawaban yang diinginkannya. Sesaat dia melirik buku puisi yang dipegang Dima. Dima melirik Quin balik. Quin bergegas keluar kelas.

Pelajaran olahraga adalah pelajaran yang Quin paling tidak suka. Panas, cape, dan apa gunanya? Quin merasa tidak perlu mahir main basket. 

“Kenapa sih olahraganya gak pilates atau yoga?” tanya Quin ketika sedang duduk di pinggir lapangan menunggu giliran anak perempuan main.

“Aku sih ogah yoga,” kata Meta yang duduk di sebelah kanan Quin.

“Kenapa? Enak tau, bagus buat postur,” jawan Quin lalu berdiri dan mencontohkan pose pohon.

Nisa juga ikutan berdiri dan melakukan pose pohon di sebelah Quin.

“Nggak bisa gue, gak seimbang,” kata Meta yang memiliki tubuh gendut.

Quin dan Nisa menarik tangan Meta untuk berdiri dan mengikuti pose pohon. Meta terpaksa melakukannya, tapi tentu saja dia tidak bisa. Keseimbangannya hilang hingga menabrak Nisa dan kemudian seperti domino menabrak Quin. Untungnya Quin memang punya keseimbangan yang bagus. Dia berhasil menahan kakinya agar tidak jatuh. Sayangnya dia jadi melangkah masuk ke lapangan basket yang kebetulan ada Dima sedang melompat hendak membuat three point. Alhasil Quin jatuh duduk menimpa Dima yang menghadap lapangan.

Semua murid teriak histeris.

Bersambung

1
Leni Manzila
hhhh cinta rangga
queen Bima
mantep sih
imaji fiksi: makasih udah mampir. aku jadi semangat nulisnya.🥹
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!