NovelToon NovelToon
SETIA (Senja & Tiara)

SETIA (Senja & Tiara)

Status: sedang berlangsung
Genre:Pihak Ketiga / Keluarga / Diam-Diam Cinta / Cinta Terlarang
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Ita Yulfiana

"Cinta itu buta, itulah mengapa aku bisa jatuh cinta padamu." -Langit Senja Pratama-

"Tidak, kamu salah. Cinta itu tidak buta, kamu saja yang menutup mata." -Mutiara Anindhita.

.

Ketika cinta jatuh di waktu yang tidak tepat, lantas apa yang mesti kita perbuat?

Terkadang, sesuatu yang belum sempat kita genggam, justru menjadi yang paling sulit untuk dilepaskan.

Follow IG @itayulfiana

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ita Yulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

SETIA — BAB 1

...~Kehidupan dimulai dari kehilangan, dan aku memilih untuk bangkit.~...

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

POV Tiara

"Halo, selamat siang."

Aku sedang duduk di sudut kafe yang masih sepi— tiba-tiba saja dihampiri oleh seorang pria tak dikenal. Namaku Mutiara Anindhita, atau yang akrab dipanggil Tiara. Aku seorang penulis novel online yang sedang melakukan riset dari beberapa narasumber untuk penulisan novel terbaruku.

"Perkenalkan, saya pemilik akun Instagram @senja25." Dengan senyum sumringah, pria itu mengulurkan tangan padaku, yang tidak langsung kubalas karena merasa cukup terkejut.

Aku memindai penampilan dan bahasa tubuhnya selama beberapa detik. Kesan pertama yang kudapat sama sekali tidak cocok dengan tema novel yang akan kutulis, yaitu pengkhianatan dalam rumah tangga. Pria ini terlihat percaya diri dan optimis; matanya berbinar, senyumnya juga tulus tanpa beban. Dari segi penampilan, tak ada tanda-tanda stres sedikit pun. Dengan kata lain, penampilannya fresh, terawat, dan good looking — yang berarti hidupnya damai dan bahagia-bahagia saja.

Berbanding terbalik dengan dua wanita yang datang menemuiku sebelum dia datang. Ekspresi datar mereka saat datang sudah hampir menjelaskan segalanya. Ditambah wajah kusam, kantung mata besar, penuaan dini, serta rambut rontok yang cukup memprihatinkan. Bibir mereka bisa saja tersenyum, tapi mata mereka menyimpan sejuta luka. Bukankah mata adalah jendela hati?

Kembali pada pria yang kini berdiri di hadapanku, sebuah pertanyaan tak bisa kutahan lagi untuk kulontarkan, "Kamu... sungguh pemilik akun @senja25?"

Dia mengangguk mantap, senyumannya tak pernah luntur. "Ya." Suara tegas itu membenarkan dugaanku. "Kenapa?" tambahnya kemudian.

Aku menggeleng. "Tidak, tidak apa-apa. Aku hanya sedang berpikir, sepertinya selama ini aku sudah salah paham."

"Salah paham? Salah paham bagaimana maksudmu?" Keningnya yang bersih dan mulus itu berkerut. Tangannya yang tadinya sempat terulur padaku ia tarik kembali, karena aku tak menyambutnya.

"Ya, salah paham. Aku pikir @senja25 itu seorang wanita, karena selama ini rata-rata pengikutku adalah wanita, lebih tepatnya sih ibu-ibu rumah tangga. Ditambah lagi, foto profilmu itu langit senja. Aku tidak menyangka, rupanya ada pria juga." Aku menjelaskan apa adanya, dan pria itu malah menanggapinya dengan tawa kecil.

"Duduklah," imbuhku kemudian. "Sepertinya aku harus minta maaf."

"Minta maaf kenapa?" Kening sang pria langsung berkerut.

"Ya, minta maaf, karena selama ini saat kita berkomunikasi melalui DM, aku selalu memanggilmu dengan panggilan 'Mbak Senja'."

"Oh, itu." Pria itu kembali tertawa, memperlihatkan lesung pipi kirinya yang membuatnya terlihat lebih manis.

"Lalu kenapa kamu tidak pernah protes? Atau setidaknya kamu menjelaskan bahwa kamu itu laki-laki, bukan perempuan?"

Pria itu lagi-lagi tersenyum. "Terkadang, tidak apa-apa membiarkan orang lain salah paham."

"Maksudnya?" Keningku otomatis berkerut.

"Begini, sejak dulu aku memiliki prinsip bahwa tidak semua kesalahpahaman orang lain butuh penjelasan dariku."

"Oh." Aku mengangguk-angguk sambil mengamati pria di depanku dengan rasa penasaran yang semakin besar. Sembari tersenyum, aku membuka aplikasi perekam suara di ponselku, memastikan pembicaraan kami terekam dengan baik dari awal hingga akhir.

Aku lantas menatap arloji di pergelangan tanganku. "Sebelumnya aku ingin meminta maaf. Sesi kita tidak begitu lama, bisakah kita mulai saja wawancaranya?"

"Tentu saja," jawab pria itu sembari menarik kursinya lebih maju, memasang tampang serius.

"Tapi sebelum kita mulai, bagaimana aku harus memanggilmu? Mas Senja? Apa itu sungguh namamu?"

Sang pria tersenyum. "Foto profilku sudah menjelaskan siapa namaku."

Keningku berkerut. "Langit Senja?"

"Yup. Lebih tepatnya Langit Senja Pratama."

Aku tersenyum. "Nama yang unik. Keren. Orang tuamu pasti memiliki selera."

"Dulu teman sekolah dan teman kampus memanggilku Langit. Orang terdekatku memanggilku Senja, dan ... seseorang yang spesial di masa lalu memanggilku Jaja," katanya dengan senyum misterius yang membuatku sedikit penasaran.

"Jaja? Lucu sekali," ujarku sambil tersenyum dan berpikir. Namun nampaknya aku mulai mengerti maksud dari senyuman misteriusnya barusan. "Sepertinya panggilan itu sebaiknya tidak digunakan oleh siapa pun, takutnya malah akan mengingatkanmu pada ... mantan istrimu."

"Mantan istri?" Keningnya berkerut, ekspresi wajahnya nampak tak terima. "Hey, jangan bercanda. Aku ini masih bujangan ting-ting, alias belum pernah menikah."

"Oh, sorry. Aku tidak tahu." Aku meringis, sedikit malu karena sudah sok tahu.

"Tidak apa-apa."

"Tunggu dulu." Aku menyipitkan kedua mataku menatapnya. Baru sadar bahwa ada yang aneh. "Jika kamu belum menikah, lalu bagaimana dengan-"

"Aku akan menceritakan kisah rumah tangga kedua orang tuaku. Lebih tepatnya dari sudut pandang seorang anak broken home," ucapnya cepat, memotong ucapanku.

"O-oh..." Bibirku membulat, seketika kehilangan kata-kata.

"Tidak masalah, kan?"

Aku mengangguk agak ragu. "Y-ya, tentu saja tidak masalah."

"By the way, kamu bisa memanggilku Senja saja," katanya diiringi dengan senyum.

Aku mengangguk. Diwaktu yang sama pelayan datang dengan secangkir kopi dan cemilan. "Baiklah, Mas Senja, silahkan nikmati kopinya dulu sambil kita ngobrol."

"Terima kasih."

"Sebelum kita mulai, aku ingin memastikan satu hal. Kamu tidak masalah 'kan jika aku menanyakan hal yang sensitif. Bisa saja itu memicu emosi, atau mungkin trauma."

Senja tersenyum. "Tanyakan saja apa pun. Aku sudah siap."

Aku pun tersenyum, sembari membuka lembaran notebook kecil dalam genggaman. "Baiklah, aku akan mulai bertanya."

"Silahkan."

"Kapan kedua orang tuamu bercerai?"

"Saat aku masih remaja," jawabnya tenang dan santai. Nampaknya dia sudah berdamai dengan itu.

Oh, kasihan sekali, batinku.

"Bagaimana perasaanmu saat mengetahui kedua orang tuamu berpisah?" tanyaku. Sejujurnya pertanyaan ini baru saja muncul di otakku karena Senja berbeda dari narasumber yang sebelumnya.

"Lega," jawabnya tersenyum.

"Kok lega?" Aku menatapnya heran.

"Iya, lega. Karena ... ibuku tidak tersakiti lagi. Ibuku sudah tidak menangis lagi setiap hari." Jawaban itu membuatku termangu. "Kamu tahu, aku adalah orang pertama yang mengetahui pengkhianatan ayahku, tapi aku denial. Aku tidak ingin kedua orang tuaku berpisah, aku ingin keluarga yang utuh, jadi aku merahasiakan masalah itu dari ibuku. Hingga suatu ketika ... lebih tepatnya 3 tahun setelah aku mengetahui perselingkuhan ayahku, ibuku akhirnya mengetahuinya juga. Di situlah aku mulai mengerti, bahwa apa yang selama ini ayahku lakukan tidaklah benar, dia melukai hati dan merusak mental ibuku. Aku merasa sangat membencinya saat mengetahui bahwa kelakuannya itu membuat ibuku tersakiti."

Hening sesaat. Aku tak ingin menyela saat dia bercerita.

"Jika kamu ingin tahu apa yang terkadang masih membuatku menyesal dan sakit hati hingga detik ini, yaitu ucapan ayahku yang berkata seperti ini, 'Sayang, aku minta maaf, aku khilaf. Demi Senja, anak kita satu-satunya, maukah kamu memberiku kesempatan sekali lagi?' Dan itu tidak terjadi sekali, melainkan berkali-kali. Demi aku, ibuku rela menahan sakit karena pengkhianatan ayahku. Terkadang, aku membenci diri sendiri, menyalahkan diri sendiri, demi aku, ibuku rela menahan sakitnya dikhianati. Kadang juga aku berpikir, aku tidak seharusnya dilahirkan di dunia ini, gara-gara aku, orang yang sangat aku cintai dan sayangi di dunia rela menanggung derita yang tak kunjung berujung."

Tanpa sadar air mataku mengalir, dan itu membuat Senja mengakhiri ceritanya.

"Mbak Tiara, kamu menangis?" tanyanya. "Jangan bilang matanya Mbak kelilipan, di sini tidak ada debu," tambahnya dengan nada bercanda.

Aku tertawa kecil sembari menyeka air mataku dengan tissu. "Tidak apa-apa, lanjutkan saja ceritamu. Waktu kita tidak banyak lagi, karena aku harus pergi ke suatu tempat."

1
Cikhy Cikitha
lanjuuut
Ita Yulfiana: siap kk
total 1 replies
wathy
aku kasi kopi deh biar tambah semangat 💪
Ita Yulfiana: Waaaah Kk baik banget😍😍 makasih banyak yah😘🥰🥰
total 1 replies
wathy
aku suka,, lanjut thor😍
Ita Yulfiana: Okey siaap😁😁
total 1 replies
Cikhy Cikitha
Next....
Ita Yulfiana: waiiit/Grin/
total 1 replies
Cikhy Cikitha
lanjuuut
Ita Yulfiana: Siaaap😄🙏
total 1 replies
Cikhy Cikitha
Semangat berkarya🤩🤩
Ita Yulfiana: Siap, makasih banyak😍😍
total 1 replies
wathy
aku beri kopi deh biar semangat update 💪
Ita Yulfiana: uwwaaah makasih banyak Kak😍😍🙏
total 1 replies
wathy
wahhh senja langsung nembak 😄
wathy
itu pasti senja
wathy: Aamiin.. sama2 😍
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!