Entah wanita dari mana yang di ambil kakak ku sebagai calon istrinya, aroma tubuh dan mulutnya sungguh sangat berbeda dari manusia normal. Bahkan, yang lebih gongnya hanya aku satu-satunya yang bisa mencium aroma itu. Lama-lama bisa mati berdiri kalau seperti ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rika komalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lamaran
Kami yang tengah asyik bercengkerama tiba-tiba di kejutkan dengan perkataan abangku yang tiba-tiba ingin melamar seorang wanita, ya kami hanya dua bersaudara dan aku sebagai anak bungsu di sini.
"kau serius ingin melamar wanita itu?" ucap ibuku.
" iya buk, Rama udah klop dengan Sinta."
Sinta? Hmmm, sudah seperti tokoh pewayangan saja namanya. Ku lirik lelaki dua puluh lima tahun itu, cukup matang tapi selama ini dia belum pernah sama sekali memperkenalkan siapa wanita itu, tapi kok tiba-tiba mau melamar.
"sebaiknya kamu kenalkan dulu dia pada ibu mas, masa main lamar aja." cerocos ku.
" iya Ram, bukan ibu tak merestui. Tapi alangkah baiknya kamu bawa dulu dia kesini, silahturahmi lah." ucap ibuku kemudian.
Tampak Abang ku tersebut meraup wajahnya, kalau kesal sih kami tidak perduli. Lagian, siapa suruh gak pakai acara ngenalin dulu. Kalau istri orang bagaimana? Bisa berabe ya kan.
Mas Rama lalu melihat kami berdua, semenjak ayah tidak ada dialah yang menjadi penggantinya. Anaknya baik, tidak pernah marah sebab itu sangat di sayangkan jika dia mendapatkan calon istri yang tak jelas bebet bobot nya.
"besok Rama bawa kesini ya buk, Rama jamin ibu pasti langsung suka."
" orang mana mas?"
" orang kampung sebelah, "
Kampung sebelah? kok aku sampai gak tau mas Rama punya pacar di sana. Masa iya mainku kurang jauh, padahal aku suka wara-wiri keluar masuk kampung tersebut.
"yakin kamu mas, orang kampung sebelah. Kok, aku gak tau?"
" mana mungkin kau tau, wong dia juga baru balik merantau. "
Oh, memang sebagian warga kampung kami maupun sebelah banyak yang merantau. Ya istilahnya mengadu nasib lah, karena yang memiliki sawah atau kebun lah yang masih bertahan di desa ini.
"ya sudah besok kami bawa dia kesini, nanti biar kita makan siang bersama. Bagaimana?"
" Setuju buk, Laras setuju." ucapku seraya memberikan dua jempol tangan pada mereka.
Terlepas dari semuanya, aku berharap semoga pilihan abangku ini tidak salah. Karena seumur hidup itu lama, jangan sampai putus di jalan.
Ke esokannya, aku dan ibu pagi-pagi buta sudah pergi ke pasar. Tidak terlalu jauh tapi lumayan juga sih kalau jalan kaki.
"enaknya masak apa ya Ras," ucap ibu setibanya di pasar.
" yang biasa aja buk, lagian kita juga belum tau dia suka apa tidak dengan masakan kita. " sahutku.
" iya juga ya, kita masak yang simpel tapi enak. Bagaimana? "
" setuju."
Aku dan ibu sama-sama melangkah ke pasar, membeli bahan masakan yang akan di masak untuk makan siang nanti. Dan tak butuh waktu lama, akhirnya kami selesai dan kembali pulang.
Setibanya di rumah,aku dan ibu langsung meracik masakan yang akan di masak. Namun tiba-tiba mas Rama datang menelisik makanan yang akan kami masak.
"masak apa buk?" ucap nya.
"ini mau masak rendang jengkol, semur ayam sama soup jagung."
" masa masak jengkol sih buk, malu tau."
" loh, malu kenapa? Ini kan masakan kesukaan kamu. Ngapain mesti malu." sahut ibu yang langsung membuat aku cekikikan.
Dasar, padahal jengkol itu favorit nya mas Rama, sok jual mahal. Seharusnya dia bersyukur ya kan di masakin begitu, terus pun biar calon istrinya itu tau kalau calon suaminya ini suka jengkol.
Singkat cerita, akhirnya setelah debut beberapa jam akhirnya semua makanan sudah terhidang di meja, mas Rama juga pergi menjemput kekasihnya.
"buk, Laras mandi dulu ya. Sebentar lagi mas Rama pasti datang."
" iya, ibu juga."
Kami masuk ke kamar masing-masing, tak butuh waktu lama akhirnya aku selesai. Dan juga sudah berganti pakaian.
"jadi penasaran, seperti apa sih calon istrinya mas Rama." ucapku sembari menyemprotkan parfum, jangan sampai aku di cap bau ketek nanti.
"Laras!" panggil ibu.
"iya buk."
"cepat, itu Rama sama Sinta udah datang."
Memang suara motor mas Rama sudah kedengaran, aku pun bergegas keluar dan menyambut mereka di depan pintu.
Cantik, kesan pertama yang ku lihat dari calon istri mas Rama, senyum manis mengembang di bibirnya.
"ayo-ayo masuk." ucap ibuku seramah mungkin. Aku juga turut mengangguk, mereka berdua melewati ku, namun seketika nafasku rasanya terhenti saat mencium aroma yang hinggap di hidung ku ini.
Bagaimana tidak, aku seperti mencium aroma yang tak asing. Ya tak asing.
Sambil mengerutkan dahi, aku berjalan mengikuti mereka berjalan menuju rumah tamu. Ku perhatikan dari ujung rambut sampai ujung kaki, tak ada yang aneh semuanya normal. Tapi aku kok mencium bau yang aneh tadi.
Ah, mungkin aku sedang berhalusinasi. Itulah yang ada di otakku saat ini.
Ya di sinilah kami duduk saling berhadapan, dan tatapan ku tak lepas dari Sinta, calon istri mas Rama.
"nah si ya, kenalkan itu ibu mas dan itu adik mas Laras."
Sinta lantas tersenyum kemudian beranjak menyalami kami namun lagi dan lagi aku harus menahan nafas saat Sinta sudah berdiri di depan ku.
"aku Sinta" ucapnya sembari mengulurkan tangannya.
"Laras," jawabku dengan suara terbata. Tangan Laras saat bersentuhan dengan tangan ku agak sedikit berbeda. Seperti kasar, tapi aslinya tak bersisik.
Dia langsung tersenyum dan duduk kembali di tempat nya. Ku hirup nafas ini dalam-dalam, apa ibu mencium bau yang ada di tubuh Sinta, tapi saat ibu tadi memeluk Sinta ekspresi nya biasa saja.
lama kami bercengkrama, akhirnya jam makan siang pun tiba. Aku sebelah ibu dan Sinta sebelah mas Rama.
"oh iya, kamu di kampung sebelah tinggal dengan siapa Sinta," ucap ibu di sela-sela makannya.
" dengan bapak dan ibu serta adikku, buk. "
Oh, tenyata dia punya adik, berarti dia dan mas Rama sama-sama anak pertama.
Kami mengangguk, tampak mas Rama malu-malu. Saat hendak memakan jengkol rendang buatan ibu, padahal kalau tidak ada orang dia paling banyak makannya.
"oh iya Sinta, jengkol itu kesukaan ram loh. Dia bisa ngabisin sepiring kalau lagi makan." seloroh ibu.
" ibu, jangan buat malu deh." ucap mas Rama kesal.
" ya apa-apa toh mas, bapak Sinta juga suka jengkol. Hampir tiap hari malah masak jengkol. "
Semua tertawa, kecuali aku. Aku cukup tersenyum tipis saja. Aku jadi penasaran siapa sebenarnya Sinta ini. mengapa bau badannya berbeda dengan kami, pikirku hidungku yang bermasalah ternyata bukan.
Setelah menyelesaikan makan, aku dibantu mama membereskan semua, biasanya sehabis makan kami langsung mencuci piring kata ibu, biar gak jadi sarang penyakit.
"sudah buk, biar Sinta saja." ucapnya yang langsung membuat aku mendongak.