Ini adalah kisah wanita bernama Ratih, yang pulang dari merantau tiga tahun yang lalu, dia berniat ingin memberi kejutan pada neneknya yang tinggal disana, namun tanpa dia ketahui desa itu adalah awal dari kisah yang akan merubah seluruh hidup nya
bagaimana kisah selanjutnya, ayok kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pena biru123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 9
Ratih, meskipun secara fisik lebih tangguh, berjuang keras dengan kekuatannya yang tersegel. Ia mencoba memanggil api kecil, tetapi yang keluar hanya asap tipis yang dengan cepat padam.
"Liontinmu adalah pecahan jiwa apimu. Tanpa inti yang utuh, kau hanya bisa memanggil sisa. Kau harus belajar menggunakannya seperti pisau bedah, bukan seperti bom," kata Penjaga Bayangan, sambil melemparkan sebatang ranting kering ke arah Ratih. "Bakar. Hanya ujungnya. Tanpa merusak sisanya."
Butuh tiga hari bagi Ratih untuk berhasil membuat ujung ranting itu berasap, bukan terbakar. Dia harus mengingat, dialah satu-satunya Keturunan Api Merah yang tersisa, dan beban itu terasa mencekik.
Rasa frustrasi Ratih bercampur dengan kekaguman yang tak terhindarkan. Suatu malam, saat mereka diserang oleh sekelompok Serigala Bayangan—makhluk hutan yang terdistorsi oleh kabut Penjaga Kabut—Penjaga Bayangan tidak menggunakan senjata. Ia hanya mengangkat tangannya. Angin di sekelilingnya berputar kencang, dan dalam sekejap, Serigala-serigala itu terlempar ke udara, sebelum menghilang ditelan kabut yang tiba-tiba menguat.
"Itu... teknik apa?" tanya Ratih, takjub.
"Bukan urusanmu. Fokus pada apimu," jawabnya, tanpa menoleh.
Aspek lain dari pelatihan adalah kelangsungan hidup. Penjaga Bayangan memaksa mereka tidur di sarang yang mereka bangun sendiri dari dedaunan dan lumpur. Mereka harus mencari makan, membedakan jamur beracun dari yang bisa dimakan, dan menjinakkan sungai untuk mendapatkan air. Dara, yang selalu detail, ternyata unggul dalam melacak dan mengidentifikasi tumbuhan. Jaya, meskipun awalnya canggung, menjadi ahli dalam membuat jerat sederhana.
"Lihat, Ratih! Aku dapat kelinci!" seru Jaya bangga, suatu pagi, sambil mengangkat hasil jeratnya.
"Tidak, itu tikus hutan yang sangat besar, dan ia sudah mati karena ketakutan, bukan jeratmu," koreksi Dara datar, dengan nada seorang ahli forensik satwa liar. Ratih dan Penjaga Bayangan nyaris tak bisa menahan senyum tipis mereka, yang langsung menghilang karena takut Penjaga Bayangan akan memberikan hukuman berupa lari sambil membawa tiga batu.
Suatu sore, saat Ratih mencari air, ia menemukan sebuah simbol yang diukir di batu besar, tersembunyi di balik air terjun kecil. Itu bukan simbol Suku Api Merah, tapi lebih mirip... lambang klan Penjaga Kabut yang ia lihat dalam kilasan ingatannya. Di bawah simbol itu, terukir kata-kata kuno yang terasa familier, seolah ia pernah mendengarnya sebelum ingatannya terenggut: Penebusan hanya melalui pengorbanan.
Ratih mengerutkan kening. Mengapa lambang musuh ada di tempat persembunyian mereka, dan mengapa Penjaga Bayangan seolah tahu segalanya tentang Tiga Batu? Apakah dia mata-mata? Atau... bagian dari masa lalu yang lebih rumit?
Ratih kembali ke perkemahan, dengan liontinnya terasa panas di kulitnya. Ia memandang Penjaga Bayangan yang sedang mengawasi Jaya memanjat tebing. Matanya yang biru kristal itu memancarkan aura dingin, namun saat ia membantu Dara yang terpeleset, ada gerakan halus di sudut bibirnya—seperti senyum yang langsung tersembunyi.
Kau kenal siapa ibuku? Kau tahu siapa nenekku? batin Ratih. Ia tahu, jawaban atas misteri ini mungkin akan menentukan apakah ia akan menjadi penyelamat yang disebutkan, atau hanya korban lain dari konflik yang telah menghantui garis keturunannya.
"Pelatihan kalian baru saja dimulai," kata Penjaga Bayangan tiba-tiba, seolah membaca pikiran Ratih. Ia menunjuk ke arah Timur. "Mulai besok, kita bergerak. Ada sesuatu yang harus kita ambil, sebelum mereka menyadari kekosongan itu."
"Kekosongan apa?" tanya Ratih.
Penjaga Bayangan menatap langit yang mulai memerah, suaranya kembali serak dan penuh teka-teki.
"Kekuatan leluhurmu, Keturunan Api Merah. Mereka mungkin telah mengambil intinya, tapi mereka lupa tentang wadahnya," bisiknya misterius, sambil melangkah menuju kegelapan hutan. "Wadah yang hanya bisa diakses oleh darah murni Suku Api Merah."
Malam itu, Ratih tak bisa memejamkan mata. Dia terus teringat neneknya yang hilang secara misterius, dan tuk guru. Apakah tuk guru selamat atau telah tiada, perasaan bersalah seakan menghantuinya.
Melihat Ratih gelisah, dara mencoba mengajak rataih bicara.
" Ada apa Ratih, kenapa kau begitu gelisah..?" Tanya dara yang kini juga ikut duduk dibawah sinar rembulan yang terang.
" Kau ingat dar, kita kemari karena nenekku sakit, dan pasti surat itu ditulis oleh bibiku, tapi sampai disini kita malah terjebak pada kutukan dan teror yang tak berkesudahan" ucapnya dengan mata menerawang jauh.
Dia mengambil napas pelan, lalu melanjutkan perkataanya.
" Aku bersalah padamu, kau juga harus terjebak bersama ku, maaf dara, liburmu hancur gara-gara masalah ini, dan keluargamu pasti dikota sangat hawatir mencarimu " ucap ratih dengan wajah penuh rasa bersalah.
" Ratih, tidak akan ada yang mencariku. Kau lihat selama tiga tahun kita tinggal di asrama para pekerja, tidak ada yang mencariku. Itu karena aku yatim piatu, dan kau sudah aku anggap seperti keluarga.
Ratih, aku akan membantumu menyelesaikan masalah ini, walau aku bukan dari desa ini. Dan aku juga senang punya pengalaman baru disini, walau ini tak mudah, soal nya aku tak terbiasa ha ha ha" dara mencoba mencairkan suasana, dan itu membuat sedikit membaik, Ratih terseyum dan memeluk sahabat nya itu.
Dari jauh,jaya juga kagum pada persahabat Ratih dan dara, penjaga bayangan itu juga terseyum, dia bernama Raden Wijaya, dia juga korban dari kekejaman penjaga kabut, sosok jubah hitam, dan wanita belati kembar, yang terus membuat kerusakan dimana-mana.
Pagi itu, suasana di perkemahan terasa sedikit berbeda. Ucapan tulus Dara malam sebelumnya telah melepaskan sebagian beban dari pundak Ratih. Bahkan Penjaga Bayangan, atau Wijaya, tampak kurang mengintimidasi. Mungkin karena Jaya tidak sengaja menabrak pohon saat berlari pagi dan Wijaya, alih-alih menghukumnya, hanya menggeleng samar.
"Kau harus melihat ke depan, Jaya, bukan ke burung di atas," komentarnya, suaranya masih serak, tapi kali ini tanpa nada ancaman.
"Burung itu langka, Tuan Wijaya! Sayapnya biru neon!" bela Jaya, mengusap dahinya yang benjol.
Dara, yang sedang memilah buah beri hutan, menyela dengan nada datar ciri khasnya, "Itu bukan burung, Jaya. Itu kupu-kupu besar. Dan warnanya bukan biru neon, tapi Cyanoptyx dengan sedikit iridesensi ungu."
Ratih tertawa lepas. Itu adalah tawa pertama yang benar-benar riang yang didengarnya dari dirinya sendiri sejak mereka tiba di hutan terkutuk ini. Wijaya, yang sedang menajamkan belati kecil, mengangkat satu alisnya, dan kali ini, Ratih tidak takut.
Jangan lupa tinggalkan jejak dan komentarnya serta ulasanya teman-teman 🤗🙏