NovelToon NovelToon
Kurebut Suamiku

Kurebut Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Lari Saat Hamil / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:9.7k
Nilai: 5
Nama Author: megatron

Sagara mengalami hilang ingatan setelah kecelakaan tragis, tidak ada kenangan Lania dalam pikirannya.

Lania merasa sedih, terlebih-lebih Sagara hanya mengingat sekertaris-nya yang tak lain adalah Adisty.

Peristiwa ini dimanfaatkan Adisty untuk menghasut Sagara agar menceraikan Lania.

Lantas, dapat kah Lania mempertahankan rumah tangganya?
Apakah ingatan Sagara akan kembali?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megatron, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aku Istrinya, Bukan Tamu

Langkah Lania terasa berat saat memasuki lobi utama kantor Sagara Corp. Sepatu haknya berdenting ringan di lantai marmer, tetapi detak jantung dalam dada jauh lebih nyaring. Di tangannya, ada amplop berisi selembar kertas berwarna hitam putih. Dia belum tidak boleh menyerah sekarang.

Sudah dua minggu sejak kecelakaan itu—tragedi yang menghapus sebagian ingatan Sagara, suaminya. Tidak semuanya. Justru sebagian, bagian yang paling rumit.

Sagara ingat mereka memiliki hubungan yang kuat, tetapi yang terus muncul di pikiran, yang terus menghantuinya, merupakan potongan memori terakhir sebelum kecelakaan—ketika Lania memintanya untuk berpisah.

Alasan di balik keinginan Lania menggugat cerai, Sagara tidak mengingat itu semua. Justru Adisty, sahabat lama sekaligus si asisten pribadi, memperkeruh suasana.

Malah berbuat sebaliknya—Adisty diam-diam mendorong jarak yang semakin melebar di antara mereka.

“Selamat pagi, Bu Lania.” Suara resepsionis terdengar ragu, seperti menahan napas. Mereka semua tahu posisinya tak lagi jelas di kantor ini.

“Aku ingin bertemu Sagara,” ucap Lania tegas.

Resepsionis melirik layar komputer sebentar. “Pak Sagara sedang tidak menerima tamu.”

“Bilang saja, aku membawa makan siang kesukaannya,” katanya sambil mengangkat tas bekal di tangan.

Resepsionis tampak ragu, tetapi akhirnya menekan tombol interkom.

"Pak Sagara masih rapat internal. Mungkin—"

"Aku tahu dia bersama Adisty saat ini," potong Lania pelan dan tegas. "Dan aku istrinya. Bukan tamu."

Resepsionis tampak canggung. "Saya mengerti, Bu. Tapi… sejak kecelakaan itu, Pak Sagara belum siap bertemu banyak orang."

"Banyak orang?" Lania tersenyum miris. "Aku bukan ‘banyak orang’. Aku rumahnya."

Masa bodoh! Lania akan masuk tanpa persetujuan.

Butuh waktu lima menit bagi Lania untuk menguatkan diri, dia pun berjalan santai menuju lift khusus pemegang jabatan penting di sana.

Dia sudah berdiri di depan ruang berpintu kayu ganda berukuran raksasa.

Tawa renyah terdengar di dalam kantor direktur utama, Lania membuka penuh percaya diri ruangan itu.

Dibukanya pintu lebar-lebar, menatap tajam wanita yang sedang duduk santai di pinggiran meja kaca direktur. Adisty segera berdiri, senyumnya tipis.

Lania melangkah masuk. Ruangan itu masih sama—netral, rapi, dan tenang. Namun, yang duduk di balik meja kini bukan lagi pria yang dia kenal sepenuhnya.

“Pergi. Aku ingin berdua saja,” jawab Lania dingin.

Tanpa kenal takut, Adisty menolak perintah Lania. “Kami sedang sibuk, Lan.”

“Tidak tau malu, statusmu apa sampai berani bertingkah seperti itu kepada istri atasanmu!” hardik Lania.

Adisty langsung menghampiri Lania. “Tanyakan sendiri pada Sagara.”

“Kau....” Lania sudah mengangkat tangan, siap mendaratkan tamparan di pipi wanita itu, tetapi urung. “Cih! Aku bahkan tak sudi menyentuhmu. Pergi sebelum kesabaran ku habis.”

“Tentu, ada pekerjaan yang lebih penting daripada meladeni mu.” Usai membalas ucapan Lania Adisty pergi.

Lania mengabaikan wanita seksi itu, kemudian menghampiri kursi bundar bersandar depan meja direktur utama. Melihat lembut pria yang kini bersandar pada kursi berukuran besar.

Pandangan pria di sana tampak hampa, lantas berpaling dan melanjutkan pekerjaan. Seolah-olah tidak merasakan kehadiran Lania.

“Aku bawa makan siang buatmu.”

Tidak lama Adisty masuk kembali, rantang berisi makanan dibawa, senyum centil menghias sudut bibir wanita itu. Dia sengaja melirik sinis Lania setelah meletakkan bekal ke atas meja di sudut lain ruangan.

“Ga—”

"Lania." Hanya satu kata, tak hangat, tidak juga dingin, tetapi memancing tanda tanya di kepala Lania. “Tinggalkan aja makanan di sana dan pulanglah.” Sagara menatapnya. Tatapan tajam, seutuhnya asing.

Ucapan Lania dipotong begitu saja oleh direktur itu, acuh tak acuh berjalan menuju meja tempat rantang Adisty.

“Aku hanya ingin bicara sebentar. Aku tahu kamu kecewa. Tapi yang kamu ingat... itu hanya sebagian. Lihatlah dulu aku membawa makanan kesukaan mu.” Lania pantang menyerah.

Sagara berdiri perlahan, memasukkan kedua tangannya ke saku. “Aku ingat kamu ingin pergi. Aku ingat kamu menangis. Dan bilang sudah lelah.”

Lania menggigit bibir. “Aku lelah... karena Adisty.”

Sagara terdiam.

“Karena aku merasa pernikahan kita selalu punya orang ketiga di dalam ruang yang seharusnya cuma milik kita berdua,” lanjut Lania, pelan berbalut kepastian.

Adisty yang duduk di salah satu sofa menahan napas. Sagara menatap Lania lekat-lekat, ekspresinya sedikit melunak.

"Aku tidak datang untuk mengharap mu kembali," lanjut Lania, “tapi aku datang untuk mengembalikan ingatanmu. Supaya kamu tahu kenapa aku memilih menjauh. Supaya kamu bisa memilih sendiri... bukan berdasarkan kebohongan yang dibuat orang lain.”

Sagara menunduk. Tak ada kata keluar dari bibirnya. Namun, jemari kirinya mulai menggenggam erat sesuatu—cincin pernikahan yang masih ada di saku jasnya, meski tak lagi dipakai.

Kerutan dalam terlihat di kening pria itu, lalu Adisty bergegas memeganginya. “Cukup untuk hari ini Lania, kau masih punya pikiran yang waras kan? Jangan terlalu memaksa.”

Kali ini Adisty benar, dia harus berhenti kalau tidak mau membebani pikiran Sagara.

Adisty merangkul bahu Sagara, membimbingnya duduk. Wanita itu selalu tampil modis. Rambut gelombangnya selalu terikat rapi ke belakang, suara selembut sutera, tatapan mata pun terkesan tenang. Dia tahu cara berbicara di hadapan Sagara, menjawab dengan tepat saat media bertanya, bahkan tahu kapan harus diam ketika direksi sedang murung.

Lania tahu satu hal pasti, Sagara adalah alat bagi Adisty, untuk mendapatkan posisi lebih tinggi.

Sejak kecelakaan itu, ketika Sagara kehilangan sebagian ingatan, Adisty adalah orang pertama yang menemaninya sadar di rumah sakit. Wanita itu ada di sana sebelum Lania sempat datang. Dia menyentuh tangan Sagara, entah apa yang sudah perempuan itu bisikkan. Seakan-akan, Adisty ingin unjuk diri.

Sagara lupa hari pernikahannya.

Namun, dia ingat... Adisty.

Celakanya, Adisty tak pernah mengingatkan apa yang perlu Sagara ingat.

“Jangan terlalu dipaksa, Ga. Ingatan yang hilang bisa kembali pelan-pelan. Jangan biarkan itu menyakitimu,” ucap Adisty lembut seakan-akan memberi ketenangan. Padahal setiap kalimat yang terucap merupakan racun dalam hubungan Sagara dan Lania.

Di kantor, Adisty perlahan menggantikan posisi yang dulu hanya milik Lania. Dia menyiapkan kopi favorit Sagara. Juga menyarankan warna kemeja, bahkan memilih musik latar untuk ruang kerja.

Dan setiap kali Sagara mencoba membuka album foto, mengingat, atau bertanya lebih dalam tentang masa lalunya dengan Lania... Adisty selalu mengalihkan ke hal lain.

Masih dengan perasaan terpukul, Lania bertahan di dalam ruangan itu.

Usai membantu Sagara duduk, Adisty menarik napas sejenak serta berkata, “Sagara sedang banyak tekanan akhir-akhir ini. Aku tidak yakin hari ini waktu yang tepat.”

“Dan kamu selalu tahu kapan waktu yang ‘tepat’ untuk Sagara, ya?” Lania menoleh pelan, nadanya masih stabil, mata menusuk tajam ke arah Adisty.

Dengan ekspresi wajah tanpa rasa bersalah, Adisty menarik napas, lalu duduk di sisi lain sofa.

“Mungkin kamu belum tahu,” lanjut Lania, lembut, “Sagara pernah cerita tentang kamu. Dia bilang kamu orang yang bisa dipercaya. Yang setia, tenang, tahu diri…”

“Cukup, Lania!” bentak Sagara, “Mari saling introspeksi diri.”

“Sagara,” bisik Lania, tetapi suaminya meletakkan jari telunjuk ke bibir, isyarat agar dia diam.

Air mata bergulir hangat membasahi pipi, Lania pun memilih pergi. Namun, saat tiba di ambang pintu dia berbalik badan.

“Aku hanya ingin menunjukkan ini.” Selembar kertas hitam putih Lania letakkan ke atas meja, “usianya baru 4 Minggu.”

1
partini
what the hell ,aihhh bad no good
partini
sehh pelakor di atas angin emang lain
Miu Nuha.
bagus othor ceritanya ☺
,, membangun konflik dn dialog itu gk mudah loh 🤧🤧 tpi ini bagus 👍
Miu Nuha.
dengkus? dengus keknya yaa 🤔
Mega: Terima kasih sudah mampir, kawal sampai tamat ya, luv luv luv more.
total 2 replies
Miu Nuha.
Lania udh hamil loh sagara 🙄🙄
Miu Nuha.
Adisty memanfaatkan hilang ingatan sagara 😩😩
Be___Mei
Nah! Kan! Ular emang. Perempuan kek begini lahir nggak bawa urat malu.
Be___Mei
Dih, nyari muka mulu ni orang
Be___Mei
Cakep Lania ihh. Tenang tapi nyimpen bom waktu.
Be___Mei
Adisty ni ibarat kucing garong yang ngincer makanan kucing lain, perlu dikandangin ni perempuan 😤
Be___Mei
Kerasa banget capeknya pasangan ini 🥺
Be___Mei
lah... Lania bukan Author yang bikin alur cerita ini. Napa jadi nyalahi Lania?? 🤨
Be___Mei
Lah, ini lagi cerita abaaanggghh!!
Be___Mei
Balik lagi ni cewek. Ada fotonya nggak kak Mega? Aku bantu santet deh 😏 mainnya licin banget kek ikan lele
Mega: ada fotonya, nanti aku kirimi Kikikik
total 1 replies
Be___Mei
Gosong dah si Sagara. Coba sabar dulu banggg, kamu tu mudah kepancing sama kabar receh nggak jelas dari Adisty. Ckckkck ...
Elisabeth Ratna Susanti
nah lho........
Memyr 67
𝗄𝖾𝗍𝗂𝗄𝖺 𝗄𝖾𝖻𝗈𝖽𝗈𝗁𝖺𝗇 𝗌𝖺𝗀𝖺𝗋𝖺 𝗆𝖾𝗇𝗀𝖺𝗆𝖻𝗂𝗅 𝖺𝗅𝗂𝗁
Memyr 67
𝗅𝖺 𝖻𝖾𝗀𝗈 𝗃𝗎𝗀𝖺 𝗌𝖺𝗀𝖺𝗋𝖺. 𝗍𝖺𝗎 𝗄𝗁𝖺𝗐𝖺𝗍𝗂𝗋 𝗌𝖺𝗆𝖺 𝗂𝗌𝗍𝗋𝗂𝗇𝗒𝖺, 𝗄𝖾𝗇𝖺𝗉𝖺 𝗃𝗎𝗀𝖺 𝗍𝗂𝖽𝖺𝗄 𝗆𝖾𝗇𝗀𝗁𝗎𝖻𝗎𝗇𝗀𝗂 𝗂𝗌𝗍𝗋𝗂𝗇𝗒𝖺 𝗌𝖺𝗆𝖺 𝗌𝖾𝗄𝖺𝗅𝗂?
Memyr 67
𝗌𝖾𝗉𝖾𝗋𝗍𝗂𝗇𝗒𝖺 𝖺𝖽𝗂𝗌𝗍𝗒 𝗀𝖺𝗀𝖺𝗅 𝗅𝖺𝗀𝗂
Memyr 67
𝗌𝖺𝗀𝖺𝗋𝖺 𝗆𝖾𝗇𝗀𝗀𝖺𝗃𝗂 𝗆𝗈𝗇𝗌𝗍𝖾𝗋 𝗎𝗇𝗍𝗎𝗄 𝖻𝖾𝗄𝖾𝗋𝗃𝖺 𝖽𝗂 𝖽𝖾𝗄𝖺𝗍𝗇𝗒𝖺
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!