Aaron Dzaka Emir—si tampan yang hidup dalam dekapan luka, tumbuh tanpa kasih sayang orang tua dan berjuang sendirian menghadapi kerasnya dunia.
Sebuah fakta menyakitkan yang Dzaka terima memberi luka terbesar sepanjang hidupnya. Hidup menjadi lebih berat untuk ia jalani. Bertahan hidup sebagai objek bagi 'orang itu' dan berusaha lebih keras dari siapapun, menjadi risiko dari jalan hidup yang Dzaka pilih.
Tak cukup sampai di situ, Dzaka harus kehilangan salah satu penopangnya dengan tragis. Juga sebuah tanggung jawab besar yang diamanatkan padanya.
Lantas bagaimana hidup Dzaka yang egois dan penuh luka itu berlanjut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulan_Eonnie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DD 01 Hanya Objek
“Bi! Bi Edah! Kenapa Bi Edah diam aja?” desak anak itu tak sabaran.
“Ta-tapi, Den.” Bi Edah terlihat gelisah.
“Dzaka udah gede, Bi Edah. Tahun ajaran baru Dzaka udah masuk SMP. Bi Edah nggak boleh gini terus.”
Anak itu merasa dia harus mendapatkan jawabannya saat ini. Sebab, sudah sejak lama dia menunggu dan terus menunggu.
Wanita paruh baya itu akhirnya menghela napas berat. Mungkin memang sudah waktunya majikan kecilnya itu tahu semuanya.
“Soal itu .... Sebenarnya—"
...----------------...
“Ka! Dzaka! Bangun, woi!”
“Hosh ... hosh.” Cowok itu terbangun dengan napas nggak beraturan. Setetes air luruh dari sudut matanya dan jatuh di lipatan lengan. Rasa lelah, karena mimpi yang sama dalam waktu lama tergambar jelas di wajah oval-nya. Bahkan, dia lupa menutupi kesedihannya.
Kalian mungkin mikir kenapa nggak dilupain aja, sih? Udah, kok. Semua cara udah dia coba. Kecuali satu—datang ke psikolog buat mengunci ingatan tentang itu. Kalau ditanya capek nggak? Boleh jujur nggak, sih? Dia capek banget. Otaknya capek belajar, tapi dia nggak pernah bisa tidur nyenyak.
“Lo kenapa, Ka? Hei, kenapa lo nangis?” Cowok yang tadi membangunkannya heran liat matanya basah.
“Bukan apa-apa.” Dia langsung beranjak sambil mengusap bekas air mata di wajahnya. “Gue ke toilet dulu.” Memaksakan senyum tipis di wajahnya sebelum berlalu. Meninggalkan pertanyaan di benak teman sebangkunya—Tanvir Wafda.
Dia melangkah dengan wajah kusut. Untung aja lorong kelas sepi, karena pembelajaran masih berlangsung. Jadi dia nggak perlu pakai topeng—sisi sok kuatnya.
Wajahnya keliatan sedikit segar setelah dibasuh. Tapi, mata yang sedikit sembab jadi bukti kalau dia lagi nggak baik-baik aja. Helaan napas berat terdengar bersamaan dengan langkah kakinya menjauh dari toilet. Nggak mood balik ke kelas, dia berbelok ke tangga menuju rooftop.
Namanya Aaron Dzaka Emir, biasa dipanggil Dzaka. Siswa kelas XII.IPA.1 di Sky High School. Cucu sultan—pemilik yayasan—yang jadi langganan olimpiade matematika. Sosok yang sama sekali nggak bisa dijangkau. Soalnya, prioritas Dzaka selain belajar cuma dua cowok yang jadi sahabatnya.
Dzaka berjalan pelan menuju dinding pembatas. Tatapannya nggak lepas dari langit biru bersih di atas sana. Semakin lama, langkah Dzaka makin berat. Dadanya sesak banget.
Sampai akhirnya ... air mata Dzaka luruh lagi. Dia terduduk, bersandar ke dinding pembatas sambil memeluk tubuhnya sendiri. Dzaka membiarkan air matanya mengalir sebanyak mungkin, supaya sesaknya hilang dan pikirannya kembali tenang.
Dzaka capek banget. Tapi, dia cuma punya dirinya sendiri—tonggak rapuh yang memaksakan diri bertahan.
Derit pintu besi bikin Dzaka reflek balik badan. Buru-buru dia menghapus jejak air mata dan menarik napas dalam. Selagi dia menghembuskan napas perlahan, kesedihan barusan ikut lenyap dari wajahnya.
“Udah dibilangin jangan kebanyakan belajar. Stres kan lo sekarang! Ck!” Sosok itu menyodorkan minuman dingin ke arah Dzaka.
“Kalau gue gak belajar, gue gak hidup,” balas Dzaka dengan senyum manis yang menampilkan lesung di ujung lengkung bibirnya.
“Kalau pura-pura itu bikin lo lebih baik, gue dukung itu. Tapi, lo harus tetap ingat, Ka. Kalau lo butuh penopang untuk berdiri tegak, ada gue dan Tanvir.” Sosok itu menepuk pundak Dzaka menyalurkan semangat.
Dzaka terdiam sambil menatap hamparan biru bersih itu sekali lagi. “Thanks buat minumannya, Fa.”
Dzaka sengaja nggak lanjutin percakapan tadi. Perasaan Dzaka masih rapuh. Sedikit aja dia ngasih celah, topengnya bakal terlepas gitu aja. Bahkan sosok itu sekalipun, nggak akan Dzaka biarin tau sisi rapuhnya.
“Fa! Dzaka gak ada di toilet. Padahal tadi bilangnya mau ke toilet. Gue telepon dari tadi gak diangkat-angkat.” Suara di seberang terdengar begitu gusar. Dzaka menoleh kaget. Alisnya berkerut.
“Tenang napa, Vir. Lo kayak induk ayam kehilangan suaminya.” Nada santai itu bikin Dzaka menggulir mata jengah. Bahkan dia bisa dengar helaan napas berat Tanvir di seberang.
"Lutfan Raffaza! Gue gak lagi becanda!" Nada bicara Tanvir langsung berubah bikin sosok itu mengusap hidungnya—merasa bersalah.
“Gue di rooftop gedung IPA." Lima kata dari Dzaka cukup buat mengakhiri kecanggungan barusan.
Deritan pintu kembali terdengar. Tanvir benar-benar kacau—rambut yang nggak beraturan, napas tersengal-sengal dan kancing kemeja yang udah kebuka, menyisakan kaos putih yang membalut tubuh proporsionalnya.
Dzaka tersentak waktu Tanvir mendekat. Tatapan Tanvir nggak kayak biasanya. Dzaka nggak terlalu paham, tapi ... itu tatapan khawatir, kan?
"Gue gak maksa lo cerita apapun, Ka. Tapi ... tolong banget jangan kayak gini. Gue khawatir," lirih Tanvir. Omongan Tanvir langsung sampai ke hati Dzaka. Tapi, apa dia pantas dikhawatirkan kayak gini?
"Gue—"
"Kalau cuma mau bilang gue gak papa, mending gak usah, Ka. Gue udah gak bisa bedain mana yang bener baik-baik aja atau gak baik-baik aja," sela Raffa bikin Dzaka terdiam.
"Udah hampir tiga tahun, tapi ... sampai sekarang gue masih gak mengenal lo dengan baik," lanjut Raffa yang dibalas anggukan oleh Tanvir.
"Ka! Sebenernya lo siapa?" Pertanyaan itu mengudara tanpa balasan. Keheningan tercipta gitu aja.
Kalau mereka nanya ke Dzaka, terus dia harus nanya ke siapa? Dzaka aja nggak kenal sama dirinya sendiri. Nggak ada satupun yang Dzaka tau soal dirinya, selain namanya. Hidup Dzaka udah diatur sedemikian rupa alurnya. Siapa dia dan seperti apa dia harus dikenal? Semua udah ada yang ngatur. Dzaka cuma perlu menjalankan peran sesuai arahan.
"Gue ... Dzaka." Suara lirih Dzaka terbawa angin dan menghilang sebelum sempat didengar siapapun.
Getaran di saku celananya menarik atensi Dzaka. Sebuah notifikasi pesan muncul.
Unknown
Saya tunggu di dekat tempat les setelah jam pulang sekolah
Dzaka mengantongi ponselnya tanpa membalas. Apa itu kehidupan remaja? Pulang sekolah nongkrong di kafe atau ikut ekskul sampai sore? Dzaka nggak pernah ngerasain tuh. Mungkin lebih tepatnya, itu nggak ada di alur kehidupannya.
Ting Tong!
Ting Tong!
“Eh udah bel. Kalian tunggu gue di lapangan, ya! Awas kalau kalian ninggalin gue lagi!” Raffa langsung berlalu seolah-olah keheningan sebelumnya nggak pernah terjadi.
Dzaka sama Tanvir jalan berdampingan. Tapi, nggak ada yang mulai bersuara sama sekali. Bahkan, sampai di parkiran mereka masih saling diam.
"Ka .... Kalau lo bisa tulus sama orang lain, jangan tutup diri lo dari perasaan yang sama. Kenapa lo selalu nolak afeksi orang lain?" Pertanyaan Raffa aja dia nggak bisa jawab apalagi pertanyaan ini.
Dia cuma ngelakuin apa yang harus dia lakuin. Apa itu tulus? Dzaka ngerasa dia bersikap biasa aja. Jadi dia nggak berhak nerima apapun.
Dzaka mengenakan hoodie dan mulai menghidupkan mesin motornya. "Gue duluan!" pamit Dzaka meninggalkan parkiran Sky High School dan kedua sahabatnya yang masih berdiri menatap kepergiannya sendu.
"Susah banget ya, Vir," lirih Raffa.
"Mungkin butuh waktu lebih lama, Fa," balas Tanvir getir.
Dzaka membelokkan motornya menuju tempat les yang terletak di dekat Earth High School. Dzaka memarkirkan motornya sebelum berjalan mendekati mobil hitam yang terparkir rapi di tepi jalan.
“Mulai bulan depan kegiatan les akan dialihkan ke rumah! Kami sudah mencarikan guru les terbaik. Jadi, jangan sampai membuat ulah yang akan menyulitkan! Kamu tau apa yang akan terjadi jika kamu melanggar, kan?” Kaca jendela kembali tertutup dan mobil itu perlahan menjauh.
“Setidaknya gue masih diizinin hidup,” lirih Dzaka tersenyum miris.
masa rasanya kayak ditinggal ribuan tahun😤😁
ak mampir ya 😊
awas kalo lama😤😤
sering-sering update ya kak😁✨