Aku tidak pernah percaya bahwa pernikahan bisa jadi sekejam ini. Namaku Nayla. Hidupku berubah dalam semalam saat aku dipaksa menikah dengan Reyhan Alfarezi, seorang pria dingin, keras kepala, dan kejam. Baginya, aku hanya alat balas dendam terhadap keluarga yang menghancurkan masa lalunya. Tapi bagaimana jika perlahan, di antara luka dan kemarahan, ada sesuatu yang tumbuh di antara kami? Sesuatu yang seharusnya tak boleh ada. Apakah cinta bisa muncul dari reruntuhan kebencian? Atau aku hanya sedang menipu diriku sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rima Andriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Satu minggu telah berlalu sejak pengobatan pertama Nayla dimulai. Namun hasil evaluasi terakhir dari tim medis tidak menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Kondisi Nayla justru semakin menurun. Tubuhnya melemah, dan ia semakin sering merasakan nyeri di bagian perut kanan atas. Reyhan selalu berada di sampingnya, tak sekalipun meninggalkan Nayla sendiri.
Hari itu, Reyhan duduk bersama Dr. Kazuhiro di ruang konsultasi khusus. Wajah dokter paruh baya itu tampak serius.
“Tuan Reyhan,” ucapnya dalam Bahasa Inggris yang fasih. “Kami telah melakukan serangkaian evaluasi menyeluruh. Sayangnya, kondisi istri Anda sudah masuk tahap lanjut. Terapi yang kami berikan tidak cukup untuk memperbaiki kerusakan organ hatinya.”
Reyhan menegang. Suaranya tercekat. “Apa artinya itu, Dokter?”
Dr. Kazuhiro menatapnya lekat-lekat. “Satu-satunya harapan Nayla untuk sembuh adalah transplantasi hati.”
Seketika, dunia Reyhan terasa runtuh.
“Transplantasi?” ulang Reyhan dengan suara rendah.
Dokter itu mengangguk. “Betul. Dan untuk itu, kami harus menemukan donor hati yang cocok. Kami sudah memulai proses pencarian, tetapi ini bisa memakan waktu. Kecocokan donor tidak hanya bergantung pada golongan darah, tapi juga pada kesesuaian jaringan dan antibodi.”
Reyhan menelan ludah. “Apakah saya bisa menjadi pendonor untuknya?”
“Kami akan segera menjadwalkan tes kecocokan untuk Anda,” ujar Dr. Kazuhiro. “Tapi kami juga menyarankan agar keluarga kandung Nayla, jika memungkinkan, turut menjalani pemeriksaan sebagai pendonor.”
Reyhan mengangguk dengan tegas. “Saya akan menghubungi orang tuanya.”
Setelah keluar dari ruangan itu, Reyhan berdiri lama di depan jendela koridor rumah sakit, menatap keluar dengan mata berkaca-kaca. Ia menoleh saat seorang perawat memanggilnya dan mengatakan bahwa Nayla mencarinya.
Sesampainya di kamar rawat, Nayla menoleh lemah dan tersenyum kecil melihat Reyhan datang.
“Kamu habis dari mana?” tanyanya pelan.
Reyhan duduk di samping tempat tidurnya, menggenggam tangan Nayla. “Bicara sebentar dengan dokter. Mereka hanya mau memastikan semuanya berjalan baik.”
Nayla mengangguk kecil. “Kamu nggak bohong, kan?”
Reyhan tersenyum lembut. “Tidak, Sayang. Tapi kamu harus janji, kamu juga nggak boleh menyerah. Apa pun yang terjadi, kita hadapi sama-sama.”
Nayla hanya memandangi wajah Reyhan dalam diam. Ia bisa merasakan sesuatu yang sedang disembunyikan, tapi ia terlalu lelah untuk bertanya lebih jauh.
Setelah Nayla tidur, Ia segera mengambil ponsel dan menghubungi Mama Nayla. Tak butuh waktu lama, suara lembut itu terdengar dari seberang.
"Halo, Reyhan... ada kabar, Nak?"
Reyhan menarik napas dalam. “Ma, hasil pemeriksaan Nayla baru saja keluar. Dokter bilang… dia harus menjalani transplantasi hati. Tidak ada pilihan lain.”
Sunyi sejenak. Hanya helaan napas tertahan dari seberang.
"Apa itu satu-satunya jalan?"
“Ya, Ma. Dan kita harus segera cari donor. Dokter akan melakukan tes kecocokan. Saya sudah mendaftarkan diri. Saya juga butuh Mama dan Papa ke sini secepat mungkin. Mungkin saja salah satu dari kalian cocok.”
"Baik, Nak. Kami segera mengatur penerbangan. Kamu tetap tenang di sana, ya. Jangan tinggalkan Nayla sendirian."
"Dan tolong... terus beri kami kabar setiap perkembangannya."
“Saya janji, Ma. Saya akan lakukan apa pun.”
Setelah menutup telepon, Reyhan berdiri lama menatap koridor kosong rumah sakit. Hatinya berdoa dalam diam. Wajah Nayla terbayang, lemah, pucat, tapi tetap mencoba tersenyum di hadapannya.
“Aku tidak akan membiarkanmu pergi, Nayla...”
---
Beberapa hari kemudian, Mama dan Papa Nayla tiba di rumah sakit luar negeri tempat Nayla dirawat. Reyhan menyambut mereka dengan pelukan singkat dan segera mengantar mereka ke bagian donor screening.
“Dokter akan mengambil sampel darah untuk uji kecocokan. Sayangnya hasil tesku tidak cocok.” jelas Reyhan pelan.
“Semoga salah satu dari kami cocok,” ucap Papa Nayla, menepuk bahu Reyhan. “Kami siap lakukan apa pun untuk anak kami.”
Mama Nayla mengangguk dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih sudah menjaga Nayla sejauh ini, Rey. Terima kasih karena tidak menyerah…”
Reyhan menunduk hormat. “Saya mohon doanya, Ma, Pa… Saya benar-benar ingin Nayla sembuh.”
Beberapa hari kemudian, Reyhan duduk bersama Papa dan Mama Nayla di ruang tunggu rumah sakit, menanti hasil uji kecocokan donor. Suasana penuh ketegangan. Papa Adnan duduk dengan tenang namun jelas menyimpan kecemasan dalam tatapannya.
Tak lama, pintu ruang pemeriksaan terbuka. Seorang dokter keluar dengan map hasil di tangannya. Ia menatap mereka satu per satu sebelum berkata, “Kami sudah mendapatkan hasilnya.”
Reyhan langsung berdiri, wajahnya penuh harap. “Bagaimana, Dok?”
Dokter mengangguk kecil. “Dari hasil yang kami terima, Bapak Adnan memiliki kecocokan yang sangat baik untuk menjadi donor hati bagi Ibu Nayla. Prosedur transplantasi bisa dijadwalkan segera, asalkan Bapak bersedia.”
Mama Nayla menutup mulutnya, matanya membasah seketika. Sementara Pak Adnan menarik napas dalam, lalu mengangguk mantap. “Kalau ini bisa menyelamatkan Nayla, saya siap.”
Dokter menatapnya serius. “Kami akan menjelaskan semua prosedur dan risiko medis yang mungkin terjadi. Tapi secara medis, Bapak adalah kandidat terbaik untuk operasi ini.”
Reyhan menatap Pak Adnan dengan mata berkaca-kaca. Ia berdiri dan membungkuk sedikit, penuh hormat. “Terima kasih, Pa. Saya… sungguh tidak bisa membalas ini.”
Pak Adnan menepuk bahu menantunya dengan tegas. “Yang bisa kamu lakukan adalah menjaga Nayla tetap tersenyum. Jangan buat dia merasa sendirian, apalagi takut.”
“Saya janji.” Reyhan mengangguk.
Setelah itu, mereka mulai membahas jadwal operasi.
Dengan hasil kecocokan yang sudah dipastikan, rumah sakit segera mempersiapkan segala hal untuk prosedur transplantasi. Reyhan berdiri di lorong rumah sakit, menatap ke luar jendela dengan mata penuh harap yang belum padam. Di belakangnya, Pak Adnan baru saja keluar dari ruangan pemeriksaan lanjutan dan mengangguk pelan.
“Semua pemeriksaan lanjutan sudah beres. Mereka hanya tinggal menunggu jadwal ruang operasi,” ucap Papa Adnan dengan nada tegas namun tenang.
Reyhan menoleh, langkahnya cepat menghampiri mertuanya. “Terima kasih, Pa. Tanpa Papa, saya tidak tahu harus bagaimana…”
Papa Adnan menepuk bahu Reyhan dengan lembut. “Nayla anak kami, Reyhan. Kami pun akan melakukan apa saja demi dia, sama seperti kamu.”
Tak lama kemudian, dokter meminta Reyhan masuk ke ruang rawat Nayla. Saat membuka pintu, ia mendapati Nayla tengah duduk di ranjang dengan selimut di pangkuannya, mengenakan hoodie abu-abu yang ia sukai. Matanya berbinar saat melihat Reyhan.
“Kemana saja? Aku merasa ditinggal,” canda Nayla, meski suaranya terdengar sedikit lemah.
Reyhan tersenyum dan mendekat, duduk di tepi ranjang. “Tadi ada diskusi kecil dengan dokter soal proses pemulihanmu. Semua berjalan sesuai rencana.”
Nayla mengangguk pelan. “Aku... merasa Mama dan Papa jadi lebih sering menghubungi akhir-akhir ini. Mereka… tahu sesuatu?”
Reyhan langsung menggenggam tangan Nayla, memeluknya dengan lembut melalui genggaman itu. “Mereka hanya khawatir karena kamu jauh dari mereka. Kamu kan anak kesayangan.”
Nayla tersenyum kecil, menatap keluar jendela. “Aku masih ingin hidup, Rey. Masih ingin lihat kamu, Mama dan Papa…”
Reyhan menelan ludah, menahan gejolak dalam dadanya. Ia menggenggam tangan Nayla lebih erat. “Dan aku akan pastikan kamu bisa melakukan semua itu, Nay. Setelah operasi nanti, kamu akan pulih. Kamu harus percaya padaku.”
Nayla menatap Reyhan lekat-lekat. “Kamu yakin aku bisa sembuh?”
“Yakin.” Suara Reyhan mantap. “Donor sudah ditemukan. Semua sudah dipersiapkan. Sekarang tugasmu cuma satu, percaya dan tetap kuat.”
Nayla memejamkan mata sejenak, lalu mengangguk pelan. “Terima kasih... karena tidak menyerah padaku.”
Reyhan tersenyum tipis, lalu mengecup punggung tangan Nayla. Di balik segala kepedihan, harapan mulai tumbuh.