NovelToon NovelToon
Bukit Takdir

Bukit Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Trauma masa lalu / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Mafia / Cintapertama / Epik Petualangan
Popularitas:9.6k
Nilai: 5
Nama Author: PGR

Ada luka yang tak bisa sembuh oleh waktu. Ada perjalanan yang tak pernah direncanakan, tapi justru mengubah segalanya.
Ketika hidup menggiring Johan Suhadi ke dalam misteri yang tersembunyi di balik sunyinya Bukit Barisan, ia tak lagi sekadar mencari jawaban—ia mencari dirinya sendiri.

Bukit Takdir adalah kisah tentang kehilangan, keberanian, dan pilihan-pilihan sunyi yang menentukan arah hidup.
Karena terkadang, untuk menemukan cahaya, seseorang harus rela tersesat lebih dulu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Awal Mula Janji "

Aku tidak tahu kapan semuanya mulai berubah. Aku hanya ingat, suatu hari aku bangun, dan rasanya tidak lagi sama.

Tidak ada kejadian besar.

Tidak ada suara tangisan.

Semuanya berjalan seperti biasa.

Hanya saja, ada sesuatu yang terasa kosong.

Bukan karena sesuatu benar-benar hilang.

Tapi karena sesuatu yang dulu dekat, sekarang terasa jauh.

Mungkin sejak ia tak lagi tersenyum seperti dulu. Atau sejak suaranya tidak lagi menemaniku di malam hari.

Aku tidak pandai menjelaskan hal-hal seperti ini. Aku hanya tahu, ada bagian dari diriku yang ikut pergi bersamanya.

Dan bagian itu tidak pernah kembali.

Aku masih hidup.

Masih bernapas.

Masih berjalan ke mana-mana.

Orang-orang melihatku baik-baik saja.

Padahal di dalam, ada luka.

Tidak kelihatan.

Tidak berdarah.

Tapi ada.

Setiap kali aku menarik napas panjang, luka itu ikut terasa.

Saat seseorang bertanya,

“Apa kabar?”

Aku menjawab,

“Baik.”

Itu jawaban paling mudah.

Dan semua orang menerimanya.

Mungkin memang tidak semua rasa sakit perlu diceritakan.

Ada hal-hal yang cukup kita simpan sendiri.

Ada sesuatu yang hilang dalam hidupku.

Aku tahu apa itu.

Tapi aku juga tahu, mencarinya tidak akan membuatnya kembali.

Seperti bayangan di tanah.

Ada, tapi tidak bisa digenggam.

Hidup berjalan dengan caranya sendiri.

Memberi.

Lalu mengambil kembali.

Tanpa menjelaskan apa pun.

Kadang aku berpikir, cinta itu seperti tanaman kecil.

Ia tumbuh pelan.

Berusaha hidup.

Tapi jika tanahnya keras,

ia akan mati juga.

Bukan karena ia lemah.

Tapi karena tempatnya memang tidak ramah.

Pagi tetap datang.

Aku bangun.

Membuka mata.

Berdiri.

Aku masih bisa mengenakan pakaian.

Masih bisa tersenyum pada orang-orang yang tidak tahu apa-apa.

Di dalam kepala, kenangan datang dan pergi.

Aku membiarkannya.

Karena tidak semua hal harus dimengerti.

Ada hal-hal yang cukup diterima.

Dan hidup, mau tidak mau, tetap berjalan.

“Pak Jo, langsung ke kantor, ya?”

Suara Pak Dedi menyadarkan ku dari lamunan.

Nada bicaranya biasa saja. Tapi aku tahu, ia peduli.

“Iya, Pak.”

Mobil melaju.

Padang sudah ramai. Motor berseliweran. Klakson sesekali terdengar. Langit mendung. Seperti menahan sesuatu.

Aku menyandarkan punggung.

Diam.

Namun pikiranku tidak ikut di dalam mobil, entah melayang kemana mana.

~

Namaku Johan Suhadi.

Beberapa tahun terakhir, orang mulai mengenalku.

Namaku muncul di seminar.

Di majalah.

Di obrolan orang-orang yang bicara soal uang dan peluang.

Padahal hidupku tidak pernah dimulai dari sana.

Aku tidak lahir dari keluarga berada.

Tidak punya jalan pintas.

Tidak ada yang membuka pintu dari dalam.

Aku hanya punya kemauan.

Bangun lebih pagi dari yang lain.

Datang lagi meski kemarin ditolak.

Berjalan terus, meski tidak tahu kapan sampai.

Aku mulai dari gudang kecil.

Menjual barang sisa.

Menjadi reseller Lois Jeans, saat belum banyak orang meliriknya.

Barang sering telat.

Kadang tidak laku.

Kadang harus dikembalikan.

Aku pernah rugi.

Pernah diejek.

Pernah dianggap bermimpi terlalu tinggi.

Aku tetap jalan.

Bagiku, gagal bukan tanda untuk berhenti.

Gagal hanya tanda bahwa aku belum selesai.

Aku belajar menahan kecewa.

Belajar diam saat ingin membalas.

Belajar menunduk, bukan karena kalah, tapi karena hidup memang begitu caranya mengajar.

Saat usahaku mulai stabil, aku tidak merasa sudah sampai.

Justru saat itu aku merasa harus melangkah lagi.

Aku ingin membangun sesuatu yang tidak cepat hilang.

Sesuatu yang bisa bertahan.

Dari situlah JoS lahir.

Johan Style.

Bukan sekadar merek.

Tapi jejak langkah.

JoS bukan cuma soal pakaian.

Ia lahir dari perjalanan panjang.

Dari pilihan untuk tetap berjalan, saat banyak hal menyuruh berhenti.

Dari lelah yang tidak selalu bisa diceritakan.

Di setiap potongan kain, di setiap jahitan, ada jejak langkah.

Tentang seorang anak muda yang pernah dianggap biasa saja.

Dan menolak hidupnya lewat begitu saja.

JoS tumbuh pelan-pelan.

Bukan karena iklan besar.

Bukan karena strategi rumit.

Ia tumbuh karena kejujuran.

Dan entah kenapa, yang jujur selalu menemukan jalannya sendiri.

Sedikit demi sedikit, JoS hadir di banyak tempat.

Masuk ke toko-toko kecil.

Menjangkau pasar yang lebih luas.

Sampai ke kota-kota yang belum pernah aku datangi.

Namaku ikut naik.

Entah sejak kapan, orang-orang mulai mengenalku.

Undangan datang bergantian.

Seminar.

Wawancara.

Ajakan kerja sama.

Salah satunya datang dari nama besar.

Mulyono.

Pejabat senior.

Pengusaha berpengaruh.

Wajahnya sering muncul di layar kaca.

Suaranya akrab di berita-berita ekonomi.

Banyak orang percaya,

jika sudah duduk satu meja dengannya,

itu tanda kamu sedang berjalan ke puncak.

Hari ini, kami akan membahas kerja sama besar.

Angkanya tidak kecil.

Cukup untuk membuat siapa pun berpikir ulang tentang hidupnya.

Di luar ruang rapat,

orang-orang mulai berbisik.

Menebak-nebak arah JoS ke depan.

Mengira semuanya akan berubah.

Tapi di dalam diriku, tetap sunyi.

Kesempatan sebesar ini

tidak cukup untuk mengisi ruang yang kosong.

Bukan karena aku tidak bersyukur.

Tapi karena ada sesuatu yang dulu pernah aku genggam erat.

Dan kini tak bisa aku raih lagi.

Lubang itu tidak pernah benar-benar tertutup.

Karena kehilangan bukan cuma soal ketiadaan.

Ia tinggal.

Diam.

Dan menemani.

Aku menarik napas sebelum membuka pintu.

Dalam.

Berat.

Seperti menyiapkan diri untuk kembali memakai topeng.

Saat aku melangkah masuk,

senyum itu terpasang rapi.

Senyum yang sudah lama aku pelajari.

Cukup hangat untuk membuat orang nyaman.

Cukup jauh untuk menjaga jarak.

“Maaf, sudah menunggu lama, Pak?”

Suaraku tenang.

Stabil.

Seperti orang yang baik-baik saja.

Padahal tidak.

Pak Mulyono terkekeh kecil.

“Tenang, Jo. Saya malah betah nunggu. Sekretarismu ramah, cantik, ngerti kopi. Hati-hati, bisa dicomot orang kalau kamu kelamaan.”

Ia melirik ke arah Wilda.

Wilda tersenyum canggung, lalu menunduk.

Aku membalas dengan senyum tipis.

Senyum yang sudah lama kupelajari.

Di luar, aku terlihat baik-baik saja.

Di dalam, kosong.

Candaan seperti itu terdengar biasa.

Tapi bagiku, nadanya seperti pisau kecil.

Tidak menusuk keras, tapi cukup tajam untuk terasa.

Ada satu pintu di dadaku yang sudah lama terkunci.

Bukan karena tak ada yang ingin masuk.

Justru karena terlalu banyak yang pernah mengetuk.

Masalahnya, ruangan di balik pintu itu berantakan.

Kenangan berserakan di mana-mana.

Siapa pun yang masuk, bisa terluka sebelum sempat membereskan apa pun.

Tahun 2007.

Saat hidupku terasa utuh.

Aku punya cinta.

Aku punya arah.

Dan yang paling penting, aku punya Keysha.

Vinda Puti Keysha.

Nama itu tak pernah benar-benar pergi dari kepalaku.

Keysha bukan sekadar kekasih.

Ia adalah rumah.

Tempat pulang setelah hari-hari panjang dan melelahkan.

Bersamanya, masa depan terasa dekat.

Kami merancang pernikahan.

Undangan sudah disebar.

Gaun dijahit.

Catering dipesan.

Semuanya siap.

Tinggal menunggu hari.

Lalu hidup berubah tanpa aba-aba.

Dua minggu sebelum hari bahagia, Keysha pergi ke Yogyakarta.

Urusan keluarga. Katanya sebentar saja.

Pesawat yang membawanya tergelincir saat mendarat di Bandara Adisutjipto.

Dan Keysha tidak pernah kembali.

Namanya tercantum di daftar korban.

Hitam di atas putih.

Saat itu, duniaku runtuh.

Aku kehilangan segalanya.

Bukan hanya seseorang, tapi juga arah hidup.

Hari-hari setelahnya seperti kabut.

Aku hidup, tapi kosong.

Bekerja, hanya supaya sibuk.

Tersenyum, agar orang berhenti bertanya.

Pertanyaan kecil saja bisa membuka luka yang belum kering.

Kota ini menyimpan terlalu banyak kenangan tentang Keysha.

Bangku taman.

Langit senja.

Hujan yang turun seperti membawa pesan yang tak pernah sempat diucapkan.

Enam tahun berlalu.

Waktu berjalan.

Tapi luka itu tetap tinggal.

Beberapa perempuan datang.

Mencoba mengisi ruang kosong itu.

Tak satu pun berhasil.

Bukan karena aku belum siap.

Tapi karena aku lupa caranya jatuh cinta.

Hidup sudah mengambil terlalu banyak.

Malam-malam, aku menatap langit-langit kamar.

Diam.

Bertanya dalam hati.

Bagaimana jika pesawat itu tidak tergelincir?

Bagaimana jika aku masih bisa memeluk Keysha sekali lagi?

Tapi hidup tidak mengenal “seandainya”.

Hidup adalah bertahan.

Bahkan ketika kehilangan ikut bernapas di dada.

Dan dari sanalah aku belajar satu hal:

Tidak semua yang hilang bisa kembali.

Tapi manusia tetap bisa berjalan.

Meski sebagian jiwanya tertinggal di masa lalu.

“Bisa saja, Pak Yono.”

Aku menjawab pelan, dengan senyum tipis.

Senyum yang tampak ramah, meski rapuh.

Senyum yang terlalu sering kulatih di depan cermin.

“Mari, kita ke ruang rapat, Pak.”

Aku melangkah lebih dulu.

Wilda mengikuti di belakang.

Langkahnya cekatan. Seperti biasa.

Hari ini bukan hari biasa.

Proyek kerja sama ekspedisi internasional.

Tawaran dari Pak Mulyono.

Jika berhasil, JoS akan melangkah lebih jauh.

Menembus batas negara.

Diakui dunia.

Sebuah mimpi lama.

Yang lahir dari tempat yang sama dengan kehilangan.

Dari hati yang pernah runtuh.

Dan dibangun kembali, pelan-pelan, dengan susah payah.

Diskusi berlangsung hampir satu jam.

Meja rapat penuh kertas. Coretan. Angka. Rencana yang disusun pelan-pelan.

Aku mencatat. Tidak ada yang kulewatkan.

Bukan karena ambisi berlebihan. Tapi karena aku tahu, kesempatan seperti ini tidak datang berkali-kali.

“Saya perlu waktu untuk membahas ini dengan tim, Pak,” kataku. “Semuanya harus dipikirkan matang.”

Suaraku terdengar mantap. Entah sejak kapan aku pandai menyembunyikan lelah.

Pak Mulyono mengangguk. “Keputusan yang tepat. Tidak perlu terburu-buru.”

Ia tersenyum tipis. “Semoga sebulan ke depan kita bisa membuat langkah besar.”

Kami berjabat tangan. Genggamannya kuat. Tatapannya penuh keyakinan.

Dua orang. Dua kepentingan. Bertemu di satu meja.

~

Sore turun pelan di Kota Padang.

Langit memudar. Jingga tipis muncul di ufuk barat, lalu perlahan hilang.

Dari lantai enam kantor, aku berdiri di depan jendela. Diam.

Di bawah sana, kota tetap berjalan. Motor saling menyalip. Klakson bersahutan. Orang-orang bergegas pulang.

Padang hidup seperti biasa.

Aku tidak.

Ada rasa kosong yang datang tanpa suara. Tidak menekan. Hanya ada.

Seorang polisi berdiri di perempatan. Mengatur lalu lintas. Tegak. Tenang. Seolah tahu apa yang harus ia lakukan.

Entah kenapa, aku iri.

Iri pada orang-orang yang terlihat punya pegangan. Yang tahu harus berdiri ke mana, meski keadaan semrawut.

Sementara aku… hari ini berdiri saja terasa berat.

Tubuhku lelah. Itu masih bisa kuterima.

Yang sulit adalah rasa kosong ini.

Kemarin aku baru kembali dari Pontianak. Perjalanan panjang. Pertemuan yang melelahkan.

Pontianak akan jadi cabang ke-13. Aku turun langsung. Melihat lokasi. Menghitung kemungkinan.

Aku tiba di Padang hampir pukul satu dini hari. Tidur sebentar. Lalu kembali bangun, mengejar hari.

Seminar. Pertemuan. Rapat hari ini.

Tubuhku capek.

Tapi lelah itu kalah oleh perasaan lain. Perasaan yang tidak bisa dihilangkan hanya dengan istirahat.

Tok. Tok. Tok.

Ketukan itu terdengar pelan.

Aku menoleh. Pelan.

Seperti baru saja ditarik kembali ke ruangan ini.

“Masuk.”

Suaraku keluar pendek. Hampir tanpa tenaga.

Pintu terbuka perlahan.

Aku langsung menahan napas.

Sosok itu berdiri di ambang pintu.

Siluetnya terlalu kukenal.

Terlalu dekat untuk disebut asing.

Terlalu sakit untuk ditatap lama-lama.

“Han… kamu sudah lupa, ya?”

Suaranya pelan.

Lembut.

Seperti dulu.

Aku terpaku.

“K-Key…?” suaraku gemetar. “Kamu… masih...?”

Tanganku terulur.

Refleks.

Tembus.

Tidak ada apa-apa.

Tidak hangat.

Tidak hidup.

Hanya kosong.

Air mataku jatuh sendiri.

Vinda Puti Keysha.

Nama yang tidak pernah benar-benar pergi.

Perempuan yang seharusnya sekarang jadi istri.

Bukan datang sebagai bayangan.

“Han, kamu masih ingat janji kita?”

Aku mengangguk pelan.

Menahan sesak di dada.

“Aku ingat,” kataku. “Setiap detiknya.”

Aku menarik napas. “Jangan pergi dulu.” “Temani aku sebentar.”

Aku tersenyum lemah. “Aku mau cerita.” “Kerjaan.” “Hidup.” “Keti… kucing kita yang makin kurus sejak kamu pergi.”

Aku menunduk. “Aku nggak peduli kita beda dunia.” “Asal aku bisa lihat kamu.” “Dengar suara kamu.”

Keysha tersenyum.

Senyum yang sama.

“Ingat waktu kita di Puncak Gunung Marapi, Han?” “Kita lihat Bukit Barisan dari atas sana.”

Ingatan itu datang pelan.

Di puncak Merpati, Gunung Marapi, kami berdiri berdampingan.

Angin memainkan rambutnya.

“Kamu tahu nggak,” katanya, “Bukit Barisan itu penuh misteri.” “Katanya ada manusia bunian.” “Harta karun.” “Bahkan bidadari.”

Aku tertawa kecil. “Kalau aku lihat bidadari, kamu colok mataku, ya?”

Keysha mencubit lenganku. “Iya. Karena kamu gatel sih.”

Aku tertawa makin keras.

“Mana bisa kamu colok? Aku pakai kacamata hitam. Nggak kelihatan, deh!”

Keysha ikut tertawa.

Lalu tawanya pelan-pelan reda.

Ia menatap lurus ke cakrawala.

Serius.

“Tapi beneran, ya…” katanya.

“Misteri itu ada nggak, sih?”

Aku mengangkat bahu.

“Entahlah. Tapi kalau kamu mau tahu… ayo kita cari tahu.”

Aku menoleh padanya.

“Kita ekspedisi. Kita jelajahi Bukit Barisan sama-sama.”

Keysha mengangguk mantap.

“Setuju. Kita harus dicatat sebagai penjelajah pertama yang membongkar misterinya.”

“Mari kita janji di sini,” kataku, menatap matanya.

“Siapa takut,” sahutnya, sambil mengulurkan kelingking.

Aku menyambut.

Kelingking kami bertaut.

Sederhana, tapi terasa berat.

“Aku,” kataku pelan.

“Aku, Vinda Puti Keysha.”

“Berjanji akan mengungkap misteri Bukit Barisan.”

Kembali ke masa kini.

Keysha menatapku.

Tatapannya hangat, seperti dulu.

“Aku khawatir kamu lupa janji itu,” katanya.

“Aku nggak bisa tenang. Aku tahu kamu sibuk… tapi kamu harus ingat.”

Tanganku terangkat, refleks.

Menggenggam udara, seolah itu tangannya.

“Key… kita lakukan bersama, ya?”

“Meski kita sudah beda dunia… aku nggak peduli dianggap gila. Kita tetap bisa pergi bareng, kan?”

Keysha menggeleng pelan.

Matanya berkaca.

“Maaf… waktuku sudah habis. Aku harus pamit.”

“Jangan,” suaraku pecah.

“Jangan pergi lagi. Aku belum siap ditinggal.”

Keysha menatapku lama.

Penuh kasih.

“Aku akan menunggu,” katanya.

“Mungkin kita tidak ditakdirkan bersama di dunia ini. Tapi aku yakin… di sana, kita akan bertemu.”

Ia tersenyum tipis.

“Tapi jangan cepat-cepat menyusul.”

Lalu sosoknya memudar.

Pelan.

Tenang.

Seperti cahaya yang tahu kapan harus pergi.

“Key…”

Suaraku habis.

Tok. Tok. Tok.

Aku terbangun tersentak.

Keringat dingin menempel di kulit, napas terengah-engah.

Mimpi itu… terasa terlalu nyata.

Tok tok tok.

Ketukan itu lagi.

Kali ini bukan dari mimpi.

“Iya, masuk!” jawabku cepat.

Pintu terbuka perlahan.

Keyla berdiri di sana, satpam wanita yang ramah.

“Ada apa, Pak? Kenapa panggil saya?”

Aku mengernyit.

“Eh? Kapan saya manggil Mbak Keyla?”

Keyla tersenyum kecil.

“Saya mau pulang, Pak. Shift saya habis. Tapi tadi dengar Bapak teriak ‘Key’. Kirain saya yang Bapak maksud.”

Aku tersenyum tipis, getir.

“Salah dengar, Mbak.”

Keyla mengedip nakal.

“Pak nggak usah malu. Bilang aja kangen. Tapi saya sudah punya suami, lho. Kalau Bapak mau… boleh jadi suami kedua saya.”

Aku tertawa, tapi tawaku berat.

“Ya ampun, Mbak Keyla…”

Ia tahu segalanya.

Tentang Keysha.

Tentang pernikahan yang tak pernah terjadi.

Tentang luka yang tak pernah benar-benar sembuh.

“Oh ya, Mbak. Saya mau tanya sesuatu. Masih ada waktu, kan?”

Keyla mengangguk.

“Untuk Bapak, selalu ada.”

Aku menatap ke luar jendela.

Senja sudah pergi, malam perlahan turun.

Hiruk pikuk kota jauh di bawah, tapi di dalam hatiku… ada sesuatu yang mulai menyala lagi.

Bukan harapan besar.

Bukan bahagia sempurna.

Hanya satu janji lama, yang tetap menunggu untuk diingat,

dan entah kenapa, rasanya hangat.

1
cimin
ya ampun aku tiap hari liat bukit barisan pas berangkat kerja hhuh
Mika
kejar kejaran yang dag Dig dug serr
Lara12
makin seru aja ceritanya nih/Scream/
Aline1234
lanjutkan sob
Aline1234
lanjut sob
Lara12
🥲
Like_you
alur yang menarik 😄
Like_you
/Whimper/
Like_you
/Brokenheart/
Lara12
❤️❤️
Mika
akhirnya janji dihutan dulu akhirnya terpenuhi /Chuckle/
Mika
Janji yang menyelamatkan johan/Heart/
Lara12
recommended banget sih, cerita nya penuh misteri, aku suka😆
Mika
ga sabar nunggu kelanjutannya, hehe
Pandu Gusti: Makasih ya, ditunggu ya setiap pukul 8 pagi 🙃
total 1 replies
Mika
sidang terepik yang pernah aku baca
Mika
mudah banget baikan nya/Tongue/
Mika
🤣🤣
Mika
kok yang nama nya Mulyono pada gitu ya orang nya/Curse/
Mika
jangan lapor polisi, lapor damkar aja/Smirk/
Mika
kemana ya keluarganya?/Brokenheart/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!