Sudah lima hari Dewa menginap di rumah Jejed. Selama itu pula, setiap hari Mama selalu datang untuk menemui dan membujuk Dewa agar mau pulang. Namun, pria berambut gondrong itu bersikeras untuk tidak mau pulang. Dewa enggan untuk sekedar bertemu muka atau melihat wajah si kakak brengseknya.
Ia sungguh sangat membencinya. Sangat wajar, bukan?
Sama seperti hari sebelumnya, sore ini Dewa sedang membantu Pak Cecep--ayahnya Jejed memperbaiki sebuah motor vespa milik pelanggan. Pak Cecep memiliki sebuah bengkel kecil yang letaknya berada di halaman rumahnya yang luas.
Sejak bersahabat dengan Jejed, Dewa kerap belajar mekanik bengkel dengan Pak Cecep. Saat ini sedikit banyak, Dewa mengerti tentang mesin motor dan mobil. Malahan mengutak-atik mesin motor dan mobil menjadi hobi kedua setelah bermusik.
Sebuah mobil sedan warna putih berhenti di depan bengkel. Seorang ibu yang masih terlihat cantik di usia yang sudah tidak muda turun dari mobil dan menghampiri Dewa. Wanita itu adalah Bu Dewi—mamanya Dewa.
"Selamat sore," sapa Mama ketika masuk ke bengkel.
"Sore," jawab Pak Cecep yang tengah berjongkok di bawah motor vespa. Hanya Pak Cecep yang menjawab salam, sedangkan Dewa yang berjongkok di samping Pak Cecep hanya diam saja tidak ikut menjawab salam.
Mama mengapitkan kedua tangannya sebagai pengganti berjabat tangan tanpa bersentuhan. Pak Cecep juga turut mengapitkan kedua tangannya." Maaf Bu, tangan saya kotor," ujarnya.
"Iya, enggak apa-apa, Pak Cecep. Saya yang minta maaf nih Pak, anak saya sudah merepotkan keluarga Bapak," jawab Mama.
"Enggak kok, Bu, malah saya senang karena Dewa bisa bantu saya. Dewa malah lebih paham dan lebih menguasai ilmu montir dibanding anak saya sendiri," sahut Pak Cecep.
Mama hanya tersenyum mendengar ucapan Pak Cecep. Mama jelas mengetahui hal itu. Mama adalah satu-satunya orang yang mendukung keputusan Dewa dulu yang bersikeras masuk SMK (STM) jurusan otomotif.
Sementara Papa adalah orang yang paling menentang keputusan Dewa. Sejak saat itu, hubungan Dewa yang kurang dekat dengan papa menjadi semakin tidak dekat lagi. Papa jadi jarang mengajak Dewa berbicara dan bersikap masa bodo dengan segala yang dilakukan putra bungsunya.
"Wa ... sudah sana cuci tanganmu! Temui mamamu," titah Pak Cecep.
"Iya, Om,” sahut Dewa patuh.
"Pak Cecep ... saya permisi ke dalam. Ibu ada di rumah ‘kan?”
"Ada, Bu, silakan."
Dewa yang tengah berjongkok sambil mengutak-atik mesin motor, kemudian berdiri dan beranjak menuju wastafel untuk mencuci tangan. Sementara Mama sudah berjalan menuju rumah keluarga Jejed dan langsung disambut hangat oleh Bu Cecep yang kebetulan sedang duduk di teras rumahnya.
Dewa mencuci tangannya yang dipenuhi noda oli hingga bersih. Setelahnya ia beranjak menuju rumah keluarga Jejed untuk menemui Mama yang sudah duduk di ruang tamu.
Sayup-sayup telinganya mendengar obrolan Mama bersama Bu Cecep. "Bu Cecep, tolong ibu saja yang bicara dengan Dewa. Tolong bujuk Dewa agar mau ...."
"Ehem." Mama tidak melanjutkan ucapannya ketika mendengar Dewa berdehem dan masuk ke rumah.
"Orang masuk rumah tuh bilang salam ... bukannya berdehem!” tegur Mama.
"Duduk sini sama Mama!” lanjutnya memberi titah.
Dewa pun menurut dan duduk di sebelah Mama.
"Sayang ... kamu ikut pulang sama Mama,ya. Kamu udah kelamaan tinggal di sini. Mama malu sama Bu Cecep karena kamu udah ngerepotin dengan menginap di sini lama-lama." Tanpa basa-basi, Mama langsung saja membujuk Dewa untuk pulang.
"Iya kan, Bu Cecep, Dewa ini sudah merepotkan ibu?” lontar Mama seraya mengedipkan mata seolah meminta dukungan Bu Cecep agar ikut membujuk Dewa untuk pulang.
"Dewa ... kamu pulang, ya. Kasihan mamamu. Nanti kapan-kapan kamu boleh menginap di sini lagi, tapi sekarang pulang dulu, kasihan Mama." Bu Cecep turut membujuk Dewa.
Sejujurnya dalam hati Dewa pun merasa tidak enak karena sudah lima hari menginap di rumah keluarga Jejed. Khawatir merepotkan keluarga sahabatnya itu. Namun, di sisi lain ia juga malas pulang karena nanti bisa bertemu Bang Deka.
"Papa sama kakakmu sedang tidak ada di rumah, mereka sedang ke luar kota. Mungkin minggu depan baru mereka pulang," ujar Mama seolah mengerti keresahan Dewa.
"Ya udah ... tapi pulangnya nanti nunggu Jejed," sahut Dewa mencoba mengulur waktu. Ia tengah memikirkan rencana apa yang akan dilakukan setelah pulang ke rumah nanti.
"Ngapain mesti nunggu Jejed sih? Sekarang saja pulangnya.” Mama mengalihkan pandangannya pada Bu Cecep.”Memangnya Bima lagi ke mana, Bu?" tanyanya.
"Bima sekarang kerja," jawab Bu Cecep.
"Wah bagus itu. Tuh, dengerin, Wa! Bima sekarang sudah bekerja. Memang laki-laki itu harus bekerja untuk mempersiapkan masa depan. Masa iya mau terus-terusan luntang-lantung ga jelas," ujar Mama dengan semangat. Sengaja menyindir putra bungsunya.
"Bima cuma kerja di restoran milik pamannya. Kebetulan pamannya membuka cabang di kota asal istrinya, dan menetap di sana. Jadi, Bima membantu mengelola restoran pamannya yang ada di sini," tutur Bu Cecep.
"Iya ga papa, Bu, yang penting kerja dan punya penghasilan sendiri."
"Ngomong-ngomong belum dibuatkan minum nih. Duh, maaf yah Bu sampai lupa belum dikasih minum karena asyik mengobrol." Bu Cecep berdiri dan segera beranjak ke dapur.
"Eh, ga usah repot-repot, Bu Cecep, kita juga kan mau pulang!" seru Mama.
Bu Cecep tak menanggapi seruan tamunya, ia tetap pergi ke dapur untuk membuatkan minuman.
"Ayo, Sayang, bereskan barang-barang kamu, kita pulang sekarang. Nanti kamu bisa kirim pesan pada Jejed, tidak usah menunggu sampai dia pulang," titah Mama.
Meskipun malas, Dewa patuh menuruti perintah Mama. Sebenarnya tidak ada barang-barang yang harus dibereskan. Karena ketika Dewa pergi dari rumah, tidak membawa apa-apa, hanya membawa satu baju yang melekat di tubuhnya. Selama menginap di rumah Jejed, ia meminjam baju sahabatnya itu untuk baju salin.
Dewa mulai membereskan kamar yang lumayan berantakan, hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih. Merapikan seprei. Membereskan buku-buku dan majalah yang berserakan di lantai. Menyapu lalu mengepelnya. Rajin banget ‘kan Dewa.
Setelah kamar bersih dan rapi, ia kembali ke ruang tamu menemui Mama. Mama tersenyum semringah ketika melihat Dewa sudah bersiap untuk pulang.
"Bu Cecep... mohon maaf karena anak saya sudah merepotkan keluarga di sini," ujar Mama.
"Gak apa, Bu Dewi. Dewa kan sahabatnya Bima, sudah saya anggap seperti ponakan sendiri," balas Bu Cecep.
"Sayang ... kamu bilang terima kasih dong sama Bu Cecep karena sudah mau menampung kamu," titah Mama.
"Tante, terima kasih banyak sudah mengizinkan menginap di sini," ucap Dewa seraya mencium punggung tangan Bu Cecep.
"Sama-sama, Wa. Bima juga sering ngerepotin kamu ‘kan? Kamu yang sabar, yang kuat, karena laki-laki memang harus kuat.” Bu Cecep yang memang mengetahui masalah Dewa mencoba memberikannya sedikit nasihat.
"Makasih, Tante." Dewa mengangguk seraya tersenyum.
"Loh, Dewa mau ke mana?" tanya Pak Cecep yang baru masuk ke rumah.
"Mau pulang, Om," jawab Dewa.
"Wah, nanti ga ada yang bantu pekerjaan om, dong," keluh Pak Cecep.
"Nanti saya main ke sini lagi, kalau ada waktu, Om," ujar Dewa seraya tersenyum.
"Pak Cecep, Bu Cecep, terima kasih sudah menerima Dewa di sini. Dan mohon maaf sebesar-besarnya karena sudah merepotkan keluarga Bapak dan Ibu," tutur Mama.
"Ah, tidak apa-apa, Bu Dewi. Saya malah senang karena ada yang membantu pekerjaan saya," jawab Pak Cecep. Bu Cecep mengangguk, menyetujui ucapan suaminya.
"Kalau begitu, kami permisi Pak, Bu." Mama berpamitan menyalami keduanya.
"Om, Tante, Dewa pamit, ya." Dewa pun turut berpamitan. Ia mencium punggung tangan Pak Cecep.
“Laki-laki baik untuk wanita baik-baik," bisik Pak Cecep seraya menepuk bahu Dewa.
Dewa tersenyum tipis lalu berganti mencium punggung tangan Bu Cecep.
“Semoga nanti diganti dengan perempuan yang lebih baik,” ujar Bu Cecep.
“Amin,” sahut Dewa.
Setelah berpamitan, Dewa pulang bersama Mama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
ik@
aamiin....🤲
2023-11-22
1
Safitri Agus
benar sekali,,makanya jadilah orang baik.
2022-11-10
2
RAMBE NAJOGI
bener tuh,,,
2022-09-02
0