Matahari mulai bersahabat dengan menghilangkan terik dan berganti dengan kehangatan sehangat hati Dewa saat ini. Ya, hatinya yang hangat sebelum tragedi itu terjadi. Tragedi yang akan memorak-porandakan hatinya dalam sekejap.
Dewa sampai di rumah mewah di kawasan perumahan elit. Ini adalah kediaman Clara--kekasihnya. Clara adalah wanita cantik putri dari seseorang yang sangat berpengaruh di negeri ini. Ayahnya memiliki perusahaan properti, dan bidang usaha lainnya. Mulai dari hotel, restoran dan retail.
Dewa memacarinya bukan karena status sosial Clara, tetapi karena ia memang mencintainya. Percayalah hati Dewa tulus penuh cinta. Mereka sudah menjalin kasih selama lima tahun, sejak awal kuliah dulu hingga sekarang. Hubungan paling langgeng di antara kisah percintaan sebelumnya.
Dewa melirik arloji di tangannya, menunjukkan pukul 15.40. Ia membunyikan klakson, dan satpam yang sudah sangat mengenalnya membukakan pintu gerbang. Tidak lupa, Dewa menyapa satpam yang berkumis lebat itu. Ia kembali melajukan motornya dan memarkirkannya di depan rumah mewah megah Clara. Tampak Bi Ning, seorang ART yang juga sudah sangat mengenalnya tengah menyiram tanaman hias yang bertengger rapi di halaman depan rumah.
"Bi, Clara ada?" tanyanya ketika menghampiri Bi Ning. Tangan kanannya menggenggam buket bunga yang tadi dibeli.
"Loh, bukannya tadi Non Clara katanya mau ketemu sama Den Dewa yah?" jawab Bi Ning. Ia menghentikan sejenak kegiatan menyiram tanaman hias karena meladeni pertanyaan Dewa.
"Jadi Clara ga da di rumah Bi?" tanyanya lagi.
"Ga ada Den," jawab Bi Ning sambil melirik tangannya yang menggenggam buket bunga.
Setelah mendapat jawaban dari Bi Ning, ia mencoba menelepon Clara, berniat memberitahu sang kekasih tentang kedatangannya, namun ponsel Clara tidak bisa dihubungi, hanya dijawab oleh operator telepon.
"Ya sudah Bi, kalau begitu saya pulang saja," ujar Dewa setelah usahanya untuk menghubungi Clara gagal.
Ia berbalik badan, dengan langkah gontai berjalan menuju motornya.
"Den ...!” seru Bi Ning ketika Dewa hampir sampai menuju motor.
“Iya, Bi Ning,” sahut Dewa berbalik badan.
"Bunganya untuk Non Clara ‘kan?" tanya Bi Ning seraya mengulas sebuah senyuman tersipu.
"Iya, Bi.”
"Atuh ngapain bunganya dibawa lagi? Sini atuh, kasih ke Bibi, nanti Bibi berikan sama Non Clara.”
Sempat ragu akan tawaran Bi Ning, namun akhirnya Dewa berjalan menghampiri dan menyerahkan buket bunga yang dipegangnya kepada wanita berdaster itu.
"Nitip yah Bi, untuk Clara sampaikan salam cintaku untuknya," kata Dewa dengan diiringi sebuah senyuman.
Bi Ning menerima buket bunga itu sambil senyum-senyum gimana gitu. "Uh, romantisnya. Den Dewa nih udah ganteng, romantis lagi. Bibi pengen deh punya suami kayak Den Dewa," balas Bi Ning sambil cengengesan dan mengerjapkan mata berkali-kali.
Seringai ketakutan seketika menghias wajah Dewa. Bi Ning usianya sekitar 35 tahun, namun belum pernah berumah tangga. Serem juga ‘kan kalau dia senyum-senyum begitu.
Dewa langsung berbalik badan dan berjalan cepat menuju motornya. Secepat kilat ia menyalakan motor, lalu langsung ngacir bersama si kuda besi.
Sekitar dua puluh menit waktu yang ditempuh untuk menuju rumah. Dewa memarkirkan motornya di garasi. Pandangannya tertuju pada Honda Jazz warna putih yang terparkir di sana.
Mobil milik sang kakak semata wayangnya.
Tumben sekali jam segini Bang Deka sudah ada di rumah. Gumam Dewa dalam hati.
Dewa memiliki seorang kakak laki-laki, Radeka Bastian namanya. Sama seperti Dewa, kakaknya pun berparas tampan. Namun, sifat mereka sungguh berbeda.
Bang Deka, begitu Dewa memanggilnya adalah tipe pria metroseksual yang selalu bergaya rapi dan stylish. Berbanding terbalik dengan sang adik yang cenderung urakan meskipun tetap terlihat tampan. Deka juga adalah seorang playboy, kalau tidak mau disebut cassanova. Urusannya selain bekerja adalah hanya tentang wanita.
Deka kini bekerja di perusahaan Pak Satya—papanya dan digadang-gadang yang akan meneruskan perusahaan papanya kelak. Makanya, Pak Satya cenderung lebih menyayangi Deka dibanding Dewa yang tidak tertarik untuk bekerja di perusahaannya.
Dewa masuk ke dalam rumah yang ternyata tidak terkunci. Tak sengaja pandangannya menemukan sebuah tas yang tergeletak di atas sofa ruang tamu. Ia memandangi tas itu, seakan mengenali pemiliknya.
Apakah itu benar tas milik Clara? Apa tadi Clara ke sini lalu tasnya ketinggalan? Atau itu tas teman wanita Bang Deka yang kebetulan sama dengan tas kepunyaan Clara?. Beragam pertanyaan dpemiliknyanya.
Ah, sudahlah, ngapain juga gue mikirin tas itu punya siapa. Batinnya.
Dewa melanjutkan langkah menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Persis berhadapan dengan kamar sang kakak. Saat hendak menaiki tangga, ia berpapasan dengan Bi Siti. Beliau adalah seorang ART yang sudah lama bekerja bersama keluarganya.
"Den Dewa su-sudah pulang?" sapa Bi Siti dengan terbata.
Kening Dewa mengernyit mendengar sapaan Bi Siti. Merasa ada perasaan cemas dan khawatir berlebihan dari raut wajah ART yang sudah dianggap sebagai ibu keduanya itu.
"Memangnya kenapa, Bi?" tanya Dewa yang merasa heran dengan tingkahnya.
"Eh ... Eng-enggak papa kok Den," jawab Bi Siti masih dengan raut wajah cemas.
"Mama sudah pulang, Bi?"
Bi Siti diam tidak menjawab seperti tidak mendengar pertanyaan Dewa. Lebih tepatnya seperti ada yang dipikirkan sehingga tidak mendengar pertanyaan Dewa. Atau memang beliau tidak mendengarkan.
“Bi ...!” Dewa berseru lagi.
Raut wajah Bi Siti semakin tampak tengah mencemaskan sesuatu.
"Eh, i-iya, Den." Bi Siti meremas jemarinya karena gugup.
"Mama sudah pulang?" Dewa bertanya lembut supaya tidak membuat wanita berusia empat puluhan itu menjadi lebih gugup.
"Be-belum. Hmmm ... saya permisi, Den," pamit Bi Siti, lalu melangkahkan kaki menuju dapur.
Dewa hanya menggelengkan kepala melihat reaksi Bi Siti. Saat kakinya baru menginjak dua anak tangga , tiba-tiba ia teringat tentang tas wanita yang ada di sofa. Ia memutar tubuh berniat menanyakannya kepada Bu Siti. Namun, kemudian mengurungkannya karena sang ART sudah melangkah jauh dan masuk ke dapur.
Dewa melanjutkan langkah menaiki anak tangga menuju kamar. Tepat saat tangannya menyentuh gagang pintu, ia mendengar suara-suara aneh dari kamar sang kakak yang posisinya berhadapan dengan kamarnya.
"Emmmh... Ahhhh... Ssshhh."
Suara itu sungguh menarik atensinya. Langkahnya terayun menuju pintu kamar Deka.
Ia kembali memfokuskan pendengarannya. Ia tersenyum usil saat hatinya merasa yakin bahwa itu adalah suara de-sahan seorang wanita.
Pasti Bang Deka lagi nonton film bokep. Sebab tidak mungkin kalau kakaknya itu berani bercinta di rumah ini. Bisa-bisa Papa akan menggantungnya hidup-hidup. Begitu pikirnya.
Seperti pria pada umumnya menonton film anu-anu sudah menjadi hal biasa. Kalau ada pria yang tidak atau belum pernah nonton film bokep berarti mereka masuk kategori pria pada khususnya.
“Ah ... emmmh ... ssshh.”
Kira-kira tampang Bang Deka kalau lagi nonton film bokep kayak gimana ya? Kira-kira apa yang dilakukan Bang Deka saat nonton film bokep ya? Hatinya tergelitik penasaran. Jadi pengen lihat tampang Bang Deka kalau lagi mupeng.
Oke, sekali-kali boleh dong mengusili Bang Deka. Bagaimana kalau kita buka saja pintunya.
Dewa menekan pelan gagang pintu yang sepertinya tidak terkunci.
Ceklek ...
Oh, no.
Dewa terbelalak saat melihat adegan yang terjadi di atas tempat tidur kakaknya. Tebakannya salah. Ia tidak pandai menebak rupanya. Ternyata Bang Deka bukan sedang menonton film bokep, melainkan tengah asyik menindih seorang wanita.
Gleek...
Dewa menelan liur melihat pemandangan yang membuatnya turut menggigil. Baiklah, ia memutuskan untuk kembali ke kamar. Tidak akan turut campur dengan kegiatan yang sedang dilakukan kakaknya.
Namun, tepat saat berbalik badan, sorot matanya menangkap pakaian wanita yang teronggok di lantai kamar. Sial. Ia mengenali pakaian itu. Dress cantik motif kotak putih biru yang pernah dibelinya dengan susah payah untuk hadiah ulang tahun Clara—kekasihnya.
Seketika tubuhnya terasa panas bagai disulut api. Ia segera menghampiri dua manusia yang sedang bergumul panas di atas peraduan. Dua insan yang hasratnya tengah menggila itu tidak menyadari atas kehadiran Dewa.
Dewa menggelengkan kepala tidak percaya. Dadanya panas terbakar. Wajahnya sontak memerah karena amarah, saat pandangannya tertuju pada wanita cantik yang tengah mengerang nik-mat di bawah tubuh sang kakak.
"BRENGSEK... BANGSAT... ANJING KEPARAT...!!!!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
Mukmini Salasiyanti
Hajaaaarrrrrrrr......
2023-11-07
1
Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman
nahhh lohhh ternyata oh ternyata si clara selingkuh sma deka😛😛😛
2023-02-11
2
jahaaaat
2023-01-27
0