5. Kehangatan Hati Arsen

Beberapa minggu ini, Arsen sangat giat dalam belajar yang membuat Gibran begitu kagum. Ia mendekat kearah adiknya yang tengah mengerjakan soal diatas lantai dengan sangat fokus.

Gibran hanya mengamati adiknya dan sesekali mengoreksi dan menjelaskan jika ada jawaban yang salah.

Arsen pendengar yang baik, ia mendengarkan kakaknya dan kembali mencoba menyelesaikan soal yang salah itu, meski harus mencoba dan salah berkali-kali, ia tetap pantang menyerah sampai jawabannya benar.

Pada saat ini, Gibran melihat keseriusan adiknya dan menjadi lebih bersemangat lagi untuk mengajarinya.

Waktu berlalu dan Arsen sudah menyelesaikan semuanya dengan sedikit arahan dari Gibran.

"Semakin hari, aku melihatmu semakin giat." puji Gibran.

"Tentu, aku ingin mendapat nilai yang bagus saat ujian kenaikan kelas nanti, jika aku bisa mendapatkannya, ibu pasti bangga dan setidaknya ayah akan tersenyum padaku." jawab Arsen dengan mata penuh binar, ia bisa membayangkan raut bahagia orangtuanya ketika ia pulang dengan membawa raport dengan nilai yang baik.

"Kamu pasti bisa!" Gibran memberi semangat pada adiknya dengan wajah penuh keyakinan.

Arsen mengangguk dan tersenyum pada sang kakak.

Tidak berapa lama kemudian, seseorang membuka pintu kamar yang memang tidak memiliki kunci, yang membuat Arsen dan Gibran sontak mengalihkan pandangan kearah pintu yang sudah setengah terbuka.

Aida berdiri dibalik pintu dan tersenyum pada kedua putranya. "Anak-anak kita ada tamu, sapa mereka." ujarnya.

"Baik, Bu." ucap Arsen dan Gibran bersamaan, mereka beranjak dan mengikuti ibunya menuju ruang tamu.

Arsen dan Gibran menyapa mereka dengan sopan kemudian duduk bersebelahan pada kursi kayu jati berwarna cokelat berhadapan langsung dengan seorang lelaki dan perempuan yang usianya tidak jauh berbeda dengan kedua orang tuanya, sedangkan Aida dan Surya duduk di kursi samping berada diantara putra dan kudua tamunya.

"Gibran, mereka berdua adalah mitra bisnis ayah dulu, tante Fatma dan Om Baskoro." jelas Surya pada anaknya.

Gibran tersenyum kearah kedua tamu itu setelah mendengar penjelasan dari ayahnya.

"Kamu memiliki anak-anak yang sangat menawan." puji Baskoro.

"Ya begitulah." Surya terkekeh. "Putraku Gibran, dia siswa paling pintar di Sekolah, dia bahkan mengikuti banyak lomba dan selalu mendapat juara satu." Surya tertawa, ditengah keterpurukannya ia masih memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan.

"Wah, hebat sekali." ucap Fatma. "Lalu, siapa nama anakmu yang duduk disamping Gibran? Dia sangat manis." lanjutnya bertanya dengan senyumnya.

"Namanya Arsen, dia anak yang sangat penurut." jawab Aida.

"Kalian memiliki anak-anak yang luar biasa." kata Fatma.

"Ya, begitulah." ucap Aida tersenyum.

"Jadi, kamu tinggal disini setelah usahamu berhenti beroperasi?" tanya Baskoro dengan nada santun.

"Iya." jawab Surya. "Sebenarnya aku ingin memulai usahaku lagi. Tapi, untuk saat ini bisa makan saja kami sudah sangat bersyukur. Apalagi, membuka usaha kembali dari nol sangat sulit sekarang, aku punya keluarga yang harus aku hidupi." lanjutnya dengan perasaan malu dalam hati.

"Kami ikut prihatin, tapi kami juga tidak bisa banyak membantu. Banyak pengusaha yang tengah mengalami masa sulit sekarang." ujar Fatma.

"Ya, kami bisa mengerti. Kalian mau mengunjungi kami saja itu sudah membuat kami senang." ucap Surya penuh ketulusan.

"Dalam kondisi sekarang, apa Gabriel dan Arsen belum pernah melakukan pemeriksaan kesehatan seperti cek darah dan lain sebagainya?" tanya Baskoro.

"Cek kesehatan? Untuk apa?" tanya Surya bingung. "Mereka terlihat baik-baik saja dan sangat sehat." lanjutnya terkekeh.

"Cek kesehatan sangat penting untuk mereka, diusia muda rentan sekali terkena penyakit yang bahkan tidak memiliki gejala pada awalnya." jelas Fatma.

Surya mulai berpikir. "Menurutku cek kesehatan juga penting. Tapi, kami tidak memiliki uang untuk melakukannya. Jadi, biarlah, asal mereka bisa menjaga kesehatan, maka semua pasti akan baik."

"Tidak bisa seperti itu." kata Baskoro. "Besok lakukan cek kesehatan di Rumah Sakit dekat kota, kami akan menanggung biayanya. Kesehatan adalah yang utama." lanjutnya penuh keyakinan.

"Aku merasa tidak enak jika kalian yang menanggung semuanya." ungkap Surya.

"Tidak apa, kita sudah berteman cukup lama. Terimalah kebaikanku yang tidak seberapa ini." ujar Baskoro.

"Baiklah." ucap Surya. "Terima kasih." lanjutnya.

"Kami akan pamit pulang dulu, besok aku akan membawa anakmu ke Rumah Sakit." ujar Baskoro kemudian beranjak dari tempat duduknya diikut oleh Fatma yang melakukan hal sama.

Surya dan Aida juga berdiri untuk menghormati tamu yang hendak pamit pulang.

"Silahkan." kata Surya dengan sopan.

Kedua orang itupun berlalu pergi dari kediaman keluarga Surya.

***

Sehari setelahnya, Fatma dan Baskoro membawa Arsen dan Gibran Pergi ke Rumah sakit untuk melakukan cek kesehatan. Mereka berdua melalui serangkaian tes yang tidak mereka mengerti dan Dokter menyatakan mereka berdua sehat, Dokter memberikan sebuah amplop putih dengan nama dan alamat Rumah Sakit terteta pada bagian depan amplop itu, bisa diduga itu hasil dari tes mereka.

Fatma dan Baskoro mengantar anak temannya itu kembali ke Rumah setelah mereka makan di sebuah restoran.

Raut ceria dan bahagia menghiasi wajah Arsen dan Gibran, pergi menaiki mobil ketempat yang cukup jauh dan makan makan di Restoran sangat menyenangkan bagi mereka, rasanya seperti pergi berlibur.

Keduanya mengucapkan terima kasih pada pasangan suami istri itu dan kemudian berlalu masuk kedalam Rumah membiarkan mereka berbincang dengan ayah dan ibunya.

Setelah membersihkan diri, Gibran masuk kedalam kamar mengenakan celana panjang dan handuk yang ia kalungkan dilehar, rasanya sangat menyegarkan pergi mandi setelah perjalanan jauh.

Gibran menatap adiknya yang tengah tersenyum melihat keluar jendela yang terbuka. Ia segera menghampiri Arsen.

"Giliranmu mandi." ucap Gibran yang membuyarkan lamunan Arsen. Ia kemudian memberikan handuknya.

Arsen langsung menoleh kearah kakaknya dan mengambil handuk yang Gibran ulurkan.

Gibran beranjak membuka lemari untuk mencari pakaian yang akan ia kenakan, ia mengambil kaos berwarna hijau muda dengan gambar beruang lalu memakainya.

"Mas Gibran ingin jadi Dokter, kan? Seperti orang yang tadi kita temui." ujar Arsen menatap keluar jendela sambil memainkan dedaunan yang berada dibaliknya.

"He em." jawab Gibran duduk dikursi belajarnya dan membuka sebuah buku.

"Aku akan mendukung impian, Mas." ucap Arsen. "Mas adalah kebanggaan keluarga, aku hanya ingin menyelesaikan pendidikanku sampai SMP dan setelah itu aku akan bekerja untuk Mas Gibran."

Gibran segera menoleh kearah adiknya, "Kamu tidak boleh bicara seperti itu, impianku adalah urusanku. Aku tidak mau kamu harus berkorban, belajarlah yang giat dan setelah lulus kita bisa bersekolah di Sekolah yang sama." ujarnya memarahi Arsen.

Arsen tersenyum masih sibuk dengan tanaman didepannya. "Memangnya aku akan diterima jika mendaftar di SMP Harapan Bangsa, itu Sekolah yang hanya menerima murid pintar atau kaya, aku harus memiliki salah satunya dan sayangnya aku tidak memenuhi syarat."

"Karena itu kamu harus rajin belajar." tegas Gibran.

"Aku sedang mencobanya sekarang, aku akan berusaha mendapat nilai sebaik mungkin. Tapi, aku tidak akan bersekolah di SMP pilihan Mas, Sekolah itu jauh dan siswanya harus tinggal di Asrama." ujar Arsen. "Aku tidak ingin meninggalkan ibu sendirian dan juga tidak mau membebani ayah lebih banyak lagi. Aku ini berbeda dengan Mas Gibran yang bisa diandalkan, aku sadar diri dan lebih memilih bersekolah di SMP satu atap Desa sebelah."

"Arsen..." ucap Gibran sedih dengan perkataan adiknya.

"Mas, walaupun aku bodoh tapi kekuatan ototku jauh melebihi dirimu." Arsen menatap Gibran penuh percaya diri. "Aku memang tidak bisa menjadi Dokter, Guru atau lain sebagainya. Tapi, aku bisa mengandalkan ototku untuk bekerja, aku bisa menjadi buruh panggul di Pasar atau kuli bangunan, pekerjaan apa saja. Aku bisa menghidupi diriku sendiri jadi jangan khawatir."

"Kamu yakin ingin hidup seperti itu?" tanya Gibran tidak percaya. "Apa kamu tidak punya impian?"

"He em." Arsen mengangguk. "Aku tidak peduli dengan impian, selama aku bisa mendapat uang lebih untuk membantu ibu dan mengurangi beban ayah juga mendukung impian Mas Gibran, aku sudah bahagia. Suatu saat nanti, ketika Mas sudah mencapai impian Mas, aku tidak meminta apapun, Mas harus bahagia dan menikmati hasil dari kerja keras Mas Gibran karena aku juga akan melakukan hal yang sama."

"Kamu naif sekali." ucap Gibran penuh haru.

"Aku mengatakan ini dengan kesungguhan hatiku." Arsen tersenyum.

Aida yang sedari tadi mendengar perbincangan antara Arsen dan Gibran sangat sedih, putranya Arsen sering mengalah untuk segala hal namun tidak pernah mengeluh dan dengan sikap keras dari sang ayah tidak membuatnya marah, ia justru ingin melakukan yang terbaik agar ayahnya bisa bangga akan dirinya, dalam hati Aida ia begitu bangga pada putra bungsunya itu.

Terpopuler

Comments

parksiti

parksiti

aroma bawang

2023-01-21

0

Aditya

Aditya

selalu nangis ,kasian arsenx

2023-01-03

0

Titin Herbalis Nasa

Titin Herbalis Nasa

mewek thor

2021-11-28

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!