Arsen perlahan membuka matanya setelah sinar matahari pagi masuk melalui celah atap gudang itu, tanpa disadari kini ia tengah terbaring pada lantai yang penuh dengan tanah. Matanya sakit karena semalam ia terlalu banyak menangis, ia bahkan menangis sampai tertidur.
Tubuhnya masih lemah tapi Arsen memaksa dirinya untuk bangkit. Ia duduk sesaat untuk mengumpulkan seluruh kesadarannya. Setelah merasa lebih baik, Arsen berdiri dan membuka pintu yang sudah tidak terkunci itu.
Begitu ia keluar, Arsen langsung mendapati Gibran yang sudah rapi dengan seragam, sepatu serta tasnya, duduk pada batang kayu besar yang berada disamping pintu Gudang.
"Mas." panggil Arsen lemah.
Gibran langsung menunjukan senyum manisnya ketika menoleh kearah Arsen. "Duduklah." ucapnya menepuk batang pohon itu meminta Arsen duduk disampingnya.
Arsen menuruti perkataan kakaknya dan duduk bersebelahan dengan Gibran. Dari raut wajah dan penampilan mereka terlihat kontras. Pantas saja, mereka berdua dibesarkan dengan kasih sayang yang berbeda. Gibran tumbuh menjadi seorang yang penuh percaya diri sedangkan Arsen, ia cukup pendiam. Meski begitu, tatapan Arsen begitu lembut dan hangat.
"Jam berapa sekarang?" tanya Arsen.
"Hmm.." Gibran berpikir sejenak. "Aku menunggumu lama sekali, aku membuka kunci pintu gudang sekitar jam 8, mungkin sekarang sudah jam 9." jawabnya.
"Mas, kamu akan terlambat ke Sekolah!" Arsen membelalakan matanya.
Gibran terkekeh, "Tenang saja."
"Bagaimana jika ayah memarahimu?" tanya Arsen panik.
"Ayah dan ibu sudah pergi bekerja." jawabnya santai.
"Oh." Arsen menunduk. Ia baru ingat, jika Gibran yang melakukan kesalahan, kakaknya itu hanya akan dinasehati dan tidak akan mendapat hukuman seperti dirinya.
"Lihat punggungmu." ucap Gibran membuka kaos abu lusuh yang Arsen kenakan. "Merah sekali, pasti sakit." lanjutnya prihatin.
"Aku tidak apa-apa." kata Arsen.
Gibran menghela napas dan mengusap puncak kepala Arsen lembut. "Adik baik." pujinya.
"Seandainya aku sama seperti Mas Gibran, apa ayah akan sayang padaku?" tanya Arsen dengan polosnya.
Gibran menghentikan apa yang dia lakukan, ia kemudian menepuk pundak Arsen berusaha memberi semangat pada adiknya. "Ayah juga menyayangimu, hanya dengan cara berbeda." ia mencoba menghibur Arsen.
Arsen hanya mengangguk, berusaha mempercayai ucapan Gibran.
Gibran tersenyum, ia membuka tas miliknya dan mengeluarkan sesuatu dari dalam sana. "Ini untukmu." ucap Gibran memberikan sebuah apel merah pada Arsen.
Mata Arsen berbinar melihat apel itu, ia segera menerimanya. Jarang sekali Arsen memakan buah yang cukup mahal seperti apel, buah ini begitu istimewa dan berharga baginya. "Ini untukku?"
Gibran mengangguk pelan dengan wajah semringah melihat adiknya yang begitu bahagia.
"Ayo kita makan bersama, kita bagi dua." kata Arsen.
"Tidak usah, aku sudah memakannya kemarin. Aku pulang terlambat karena menghadiri acara ulang tahun temanku dan aku mendapat apel itu untukmu." ujar Gibran, sebenarnya ia tidak memakan apel sama sekali, ia membawa apel itu pulang untuk Arsen karena Gibran tahu bahwa adiknya sangat menyukai buah tapi mereka tidak memiliki kesempatan untuk membelinya.
Senyum Gibran mengembang melihat Arsen yang dengan lahap memakan apel pemberiannya. Ia memainkan jerami ditangannya. "Terima kasih untuk ikan yang kamu tangkap kemarin, aku menemukannya di Halaman dan membawanya."
Arsen tersenyum dan mengangguk. "Aku memang menangkap ikan itu untuk ibu dan Mas."
"Tapi, ayah mengira aku yang menangkapnya dan aku tidak memiliki kesempatan untuk menjelaskannya." ujar Gibran sedih.
"Tidak apa-apa." ucap Arsen.
"Baiklah, setelah ini kamu sarapan ya. Aku berangkat sekolah dulu." pamit Gibran.
Arsen mengiyakan. Setelah selesai dengan apelnya, Arsen bergegas mempersiapkan diri untuk pergi ke Sekolah.
***
Karena terlambat, Arsen tidak masuk kedalam kelas. Ia justru duduk diatas rerumputan liar dan menyandarkan tubuhnya pada sebuah pohon besar yang berada di Kebun belakang Sekolah sembari menatap langit.
"Arsen." panggil seseorang yang membuat Arsen sontak menoleh kearah orang yang memanggilnya.
Lea tersenyum memandang langit. "Apa yang kamu lakukan? Sedang melihat apa?" ia mencari-cari apa yang tengah Arsen amati karena temannya itu begitu serius melihat keatas.
"Tidak ada, hanya sedang ingin melamun saja." jawab Arsen.
Lea mengalihkan pandangannya pada Arsen dan menyipitkan matanya. "Melamun tentang apa?"
Arsen kembali menyandarkan kepalanya dan memejamkan mata. "Rahasia."
Lea memdekat kearah Arsen dan duduk disamping temannya itu, ia merasa begitu nyaman ketika bersama dengan Arsen. Ia menatap dengan seksama wajah temannya itu yang nampak tenang. Ia memang biasa mendatangi tempat ini ketika jam istirahat tiba karena Lea tahu Arsen akan selalu ada di tempat ini, temannya itu memang suka menyendiri.
"Lea." panggil Arsen masih memejamkan mata.
"Ya." jawab Lea spontan.
Arsen membuka matanya dan mengalihkan pandangannya pada Lea yang menatapnya bingung.
"Kenapa berteman denganku? Kamu pintar dan banyak orang yang ingin berteman denganmu." ujar Arsen.
"Entahlah, aku hanya tidak suka dengan mereka." jawab Lea seadanya.
"Aneh." ucap Arsen.
"Kenapa? Tidak mau berteman denganku!" Lea kesal.
Arsen terkekeh. "Bukan begitu."
"Bilang saja iya." Lea masih cemberut.
Arsen menghela napasnya. "Aku akan berusaha sekeras mungkin agar orangtuaku bisa merasa sedikit bangga padaku." ada kesedihan dalam nada bicara Arsen.
Perasaan Lea berubah sedih, ia tahu apa yang Arsen alami. Awalnya ia berteman dengan Arsen karena merasa iba dan penasaran tapi pada akhirnya ia benar-benar merasakan ketulusan dan ingin selalu berteman dengan Arsen. Meski di Kelas Arsen terkenal sebagai murid pendiam. Tapi, sebenarnya dia anak yang ramah dan baik hati.
"Jika kita tumbuh dewasa, aku harap tidak ada yang berubah." ujar Lea.
"Tentu akan ada yang berubah." ucap Arsen. "Aku akan menjadi lelaki tampan." lanjutnya tertawa.
"Ha-ha-ha-ha-ha." Lea menirukan tawa Arsen seperti tengah mengeja dengan raut wajah sinisnya.
Arsen tersenyum. "Lea, tolong ajari aku semua mata pelajaran. Aku janji akan berusaha dengan keras."
Melihat tekad dan kesungguhan Arsen, Lea menjadi bersemangat. "Baiklah."
"Bersiaplah, aku akan menyaingimu." kata Arsen penuh percaya diri.
"Lihat saja nanti." ucap Lea dengan angkuhnya.
Mereka berdua tertawa. Arsen benar-benar bersyukur memiliki sahabat seperti Lea, sebenarnya ia ingin Gibran mengajarinya. Tapi, ia tahu bahwa Gibran tengah sibuk belajar untuk mempersiapkan diri masuk ke SMP impiannya.
Arsen terkejut ketika melihat Gibran mendekat kearahnya, ia membawa sebuah kantong plastik.
"Mas Gibran." ucap Arsen lirih.
"Dia siswa yang paling pintar di Sekolah." gumam Lea.
Arsen mengangguk tanda bahwa ia membenarkan ucapan Lea.
"Bukankah dia kakakmu? Kenapa dia tidak setampan dirimu? Ah, Tuhan memberikan kalian kelebihan yang berbeda." ujar Lea.
Arsen menatap Lea sesaat. "Kamu ini bicara apa?" tanyanya lalu kembali fokus pada Gibran.
Arsen tersenyum dan melambaikan tangannya pada sang kakak, Gibran mempercepat langkahnya.
"Obati lukamu." ucap Gibran ketika sudah berhadapan dengan Arsen.
"He em." Arsen mengangguk.
Gibran nampak canggung saat Lea menatapnya. "Aku pergi dulu." ia kemudian berlalu pergi.
"Apa ada sesuatu diwajahku?" tanya Lea heran pada Arsen.
Arsen menggeleng. "Tidak, wajahmu baik-baik saja."
"Kakakmu aneh sekali." kata Lea ketus.
"Jangan bicara begitu, dia kakakku." ucap Arsen membela Gibran.
"Baiklah, ayo kita kembali ke Kelas." ujar Lea berjalan meninggalkan Arsen.
Seperti biasa, Arsen mengikuti Lea dan berjalan dibelakangnya. Lea tersenyum, entah mengapa dirinya merasa senang. Tapi, terlalu dini baginya untuk jatuh cinta.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Ages Tasrika
😭😭😭😭
2021-12-26
0
Afdarius Malayu
sampai disini saya sangat terharu sekali.
2021-07-27
5