Pria Dingin Itu Tuan Arsen

Pria Dingin Itu Tuan Arsen

1. Arsen

April 1998

Seorang anak laki-laki berusia 11 tahun berjalan pada jalan setapak dengan hamparan padang rumput liar berada pada kanan kirinya yang menjadi pemandangan menyejukan mata ditengah teriknya sinar matahari siang itu.

Langkahnya terhenti tatkala sesuatu mengenai bagian belakang kepalanya yang saat ini terasa ngilu hingga membuat matanya berkaca-kaca. Arsen, nama anak lelaki tersebut. Ia memegang bagian yang sakit dan berbalik ketika mendengar suara tawa yang renyah. Ya, ia menyadari bahwa dirinya tengah ditertawakan.

"Apa kau marah?!" tanya seorang anak dengan nada mengejek disela tawanya.

"Ayo pukul kami kalau kau bisa!" tambah lainnya.

"Sadarlah, kau itu paling bodoh diantara kita semua."

Arsen memandang ketiga teman sekelasnya, Adli, Yopi dan Angga dengan tajam. Namun, ia segera memilih pergi karena tidak ingin membuat keributan yang hanya akan merugikan dirinya.

Arsen adalah anak dengan nilai terendah di kelas, nilainya tidak pernah lebih dari tujuh, berbeda dengan Gibran, kakak yang hanya terpaut satu tahun lebih darinya, dia seorang yang pintar baik dalam bidang akademik maupun non akademik.

"Hei, Bodoh!" Adli menendang ransel yang berada dipunggung Arsen hingga sang pemilik kehilangan keseimbangan dan terjatuh dengan lutut membentur batu.

"Aku tidak ingin mencari masalah!" teriak Arsen sembari menyeka air matanya yang mulai berjatuhan, bagaimanapun ia masih dikategorikan sebagai anak kecil.

"Kau menangis?!" ucap Yopi menunjuk Arsen, ia memancing tawa kedua temannya.

Arsen memang sudah biasa dibully oleh teman sekelasnya. Bukan hanya karena dia tidak pandai tapi juga karena status keluarganya yang bangkrut tiga tahun silam.

"Berikan uangmu, Miskin!" Adli yang menjadi pemimpin diantara para pembuli kecil itu mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Arsen.

Arsen menatapnya dingin. "Tidak ada!" jawabnya.

"Teman-teman, geledah tasnya!" perintah Adli.

Yopi dan Angga mengikuti arahan dari Adli, mereka mengambil tas dari pemiliknya dengan paksa, kekuatan mereka tidak sepadan hingga Arsenpun tidak mampu mempertahankan tas miliknya.

Yopi membuka resleting tas tersebut kemudian menumpahkan isinya keatas jalan tanah penuh debu dan kerikil hingga semua isi yang ada dalam tas itu berserakan.

Akhirnya, Adli menemukan uang yang telah disimpan Arsen pada bagian dalam lembar buku tulis miliknya. Padahal, uang itu telah lama ia kumpulkan untuk membeli makanan enak untuk ibunya yang akan berulangtahun pada bulan juni nanti.

Adli dan temannya tersenyum penuh kemenangan. "Kamu bilang tidak punya uang." ucapnya. "Dasar pembohong!" lanjutnya memukul kepala Arsen.

Setelah mendapat apa yang diinginkan, mereka bertiga pergi dengan raut wajah puas serta semringah, meninggalkan Arsen dengan seluruh rasa marahnya.

"Aku melihat ayah si idiot itu berlutut dihadapan ayahku hanya agar tidak dipecat." ujar Adli yang disambut tawa kedua temannya.

"Seperti tidak punya harga diri." sambung Yovi.

Arsen mengepalkan tangannya mendengar penghinaan yang mereka lontarkan pada ayahnya. Ia menyeka air mata yang mengalir dan menatap ketiganya yang sudah berjalan cukup jauh dengan tatapan dingin penuh amarah. Ia masih bisa menerima jika mereka berbuat semena-mena pada dirinya, tapi menghina orang yang ia sayangi itu sudah lain cerita.

Tanpa pikir panjang, Arsen yang masih duduk diatas jalanan tanah mengambil sebuah kerikil yang cukup besar lalu melemparkannya kearah Adli hingga mengenai bagian belakang kepala, sama persis dengan apa yang Adli lakukan padanya beberapa menit yang lalu.

Dari kejauhan, Arsen mendengar mereka marah dan menunjuk dirinya serta berteriak mengatakan sesuatu. Namun, Arsen tidak mendengarnya dengan jelas. Ia tak peduli dengan apa yang mereka katakan itu.

Setelah cukup lama terduduk karena rasa sakitnya, Arsen kemudian bangkit. Ia segera pergi menuju sungai untuk membersihkan lututnya yang berdarah.

Tidak perlu pulang ke Rumah untuk membersihkan diri, karena tidak jauh dari tempatnya berada terdapat sebuah sungai dengan air yang jernih. Arsenpun pergi menuju sungai itu.

Setelah membersihkan dirinya, Arsen duduk pada batu besar dengan kaki memainkan air yang mengalir cukup deras dengan suara yang menenangkan. Saat ini, Arsen masih belum ingin pulang ke Rumahnya.

"Arsen." panggil seseorang dari bawah yang membuat Arsen sontak menoleh kearahnya.

Ia melihat seorang gadis yang ia kenal basah kuyup dengan senyum ceria menghiasi wajahnya. Gadis kecil itu melambaikan tangannya pada Arsen.

"Apa yang kamu lakukan disana?!" tanya Arsen setengah berteriak karena suara air sungai yang cukup kencang terkadang membuat suara samar.

"Turunlah, aku sedang menangkap ikan." jawab gadis yang bernama Lea itu.

Kegiatan yang tengah Lea lakukan terdengar menyenangkan bagi Arsen, ia pun turun dari batu tempatnya duduk lalu berlari menuju tempat Lea berada.

"Ambil jaringnya dan kita tangkap ikan bersama." ujar Lea dengan senyum manisnya.

Arsen yang semula murung kembali ceria, yang ada dalam pikirannya hanya ia ingin mendapatkan banyak ikan untuk ibunya, Arsen membayangkan wajah ibunya yang tersenyum gembira.

Arsen dan Lea bersemangat menangkap ikan hingga keduanya basah kuyup, keceriaan dan tawa keduanya terdengar. Hanya hal kecil semacam ini saja sudah membuat Arsen begitu bahagia.

Hari mulai sore, ikan yang mereka tangkap sudah cukup banyak meski ukurannya tidak terlalu besar. Lea memasukan seluruh ikan kedalam tas jaring. Mereka berdua pun keluar dari sungai dengan kaki dan tangan yang keriput karena terlalu lama terendam air.

"Semua ikan ini untukmu." ucap Lea.

"Kenapa begitu? Kamu juga menangkapnya." kata Arsen tidak enak hati.

"Lagipula, paman dan bibiku tidak suka ikan." ujar Lea berjalan mendahului Arsen.

"Lalu, kenapa menangkapnya?" tanya Arsen bingung, ia berjalan mengikuti Lea yang memang arah jalan pulang mereka sama.

"Karena aku menyukaimu." jawab Lea berbalik menatap Arsen sesaat kemudian melanjutkan langkahnya. "Aku ingin menikah denganmu suatu saat nanti." lanjutnya dengan polos.

"Jangan menikah dengan orang sepertiku." ujar Arsen. "Jangan menyukai orang bodoh sepertiku."

"Walaupun kamu bodoh tapi kamu tampan." Lea terkekeh.

"Jadi kamu menyukaiku hanya karena aku tampan?" tanya Arsen heran.

"Memangnya kamu memiliki kelebihan lain?" Lea berbalik tanya lalu tertawa. "Apa impianmu?" lanjutnya bertanya.

"Entahlah." jawab Arsen singkat. "Kamu sangat pintar, apa kamu ingin menjadi Dokter?" lanjutnya bertanya.

"Impian setinggi itu tidak cocok untukku, aku hanya ingin bisa bekerja untuk membahagiakan orang yang telah merawatku dan membalas budi mereka." jawab Lea masih dengan semangatnya, ia sudah ditempa menjadi dewasa sedari kecil.

Arsen terkesan dengan sikap dewasa Lea.

"Aku pergi dulu." ujar Lea setelah sampai pada gang masuk menuju kediamannya.

Arsen melambaikan tangannya pada Lea, diantara banyak murid dikelas hanya Lea yang bersikap baik padanya. Selain cantik, Lea juga seorang yang pintar hingga ia dikelilingi banyak orang yang ingin berteman dengannya. Tapi, pandangannya hanya tertuju pada Arsen dan ia hanya ingin berteman dengan Arsen karena banyak orang yang menjauhi sahabatnya itu.

Arsen memutuskan untuk kambali ke Rumahnya setelah Lea benar-benar hilang dari pandangannya. Dalam perjalanan ia begitu semringah, ia merasa senang setidaknya ada makanan kesukaan Gibran yang dimasak malam ini.

Terpopuler

Comments

Nur Evida

Nur Evida

hadir thor setelah pilih2 novel tertarik di sini moga ceritanya bagus

2021-12-16

0

Suwati Suwati

Suwati Suwati

mampir Thor....

2021-11-24

0

Bunga Syakila

Bunga Syakila

nenyimak

2021-11-09

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!