Viola yang memang kedinginan langsung meraih pakaiannya dan kembali memasangnya.
Setelah selesai, Viola menatap Rehan yang masih duduk terdiam membelakangi dirinya.
"Maaf mas tapi semua itu tidak benar. Saya memang bukan wanita malam, saya kemari kerena saya dijebak sama mas Hari."
"Dia bilang kalau dia itu adalah seorang sutradara dan dia juga bilang, dia akan memperkerjakanku namun setelah tiba disini, aku mulai mengerti akan pekerjaan yang dia tawarkan ini sangat tidak layak untukku."
Jelas Viola panjang kali lebar sedangkan Rehan sudah kembali menatap intens wajah Viola.
"Kau tidak berbohong kan?"
Rehan yang sangat membenci kebohongan, menatap Viola sangat tajam.
"Iya mas, saya bahkan rela bersumpah atas nama Tuhan saya."
"Baik, aku percaya."
Rehan bisa saja memaksa Viola namun Rehan juga masih memiliki hati nurani bila sudah menyangkut pada seorang wanita.
Rehan pun beranjak ingin pergi meninggalkan Viola namun Viola mencegat tangan Rehan.
"Mas, bolehkah aku ikut bersama mas Rehan saja. Aku tidak mau tinggal bersama mas Hari, aku tidak mau bila besok-besok kejadian ini terulang lagi."
Rehan yang ingin pergi jadi urung lalu menatap Viola yang terlihat menahan tangis.
"Aku bisa memasak kok mas, aku juga bisa beberes rumah bahkan aku juga bisa melakukan pekerjaan berat lainnya jadi ku mohon, bawalah aku bersama mas Rehan."
Viola menangkup kedua tangannya, berharap bahkan sangat berharap agar Rehan membawannya pergi, Rehan pun tampak berpikir keras.
"Sebagai pembantu?" tanya Rehan yang langsung Viola balas dengan anggukan.
"Apa pun itu, asal tidak dengan pekerjaan haram ini."
…
Rehan sudah membawa pergi Viola. Viola menatap wajah Rehan yang tampak fokus menyetir.
"Mas" panggil Viola pada Rehan.
"Hmm."
"Apa aku boleh bertanya?"
Viola menatap intens wajah Rehan yang juga menatapnya lalu kembali fokus menyetir.
"Apa?"
"Mengapa mas pergi di tempat seperti tadi? apakah mas tidak memiliki istri atau kekasih?"
Ucapan Viola berhasil membuat Rehan memberhentikan mobilnya secara mendadak.
"Kau!!"
Rehan menggeram, melihat tingkah Viola yang mulai seenaknya.
"Jangan kau pikir, aku sudah menolongmu maka kau sudah seenaknya bertanya apa saja tentangku" karena kesal, Rehan berkata sambil menunjuk Viola.
"Ma-maaf mas, saya benar-benar tidak bermaksud membuat mas Rehan marah, saya hanya -- "
Viola menggantung ucapannya, menyadari wajah Rehan yang bertambah merah.
"Em tidak jadi."
"Bagus jadi tetaplah duduk cantik seperti ini saja karena bila kau terus berbicara seperti tadi maka aku tidak akan segan-segan menurunkanmu dari mobilku."
"Benar-benar pria tidak sopan" gumam Viola dalam hati.
Setelah melihat Viola diam, barulah Rehan kembali melajukan mobilnya hingga tiba disebuah gedung tinggi, pencakar langit.
Viola terus terdiam, tidak berniat bertanya lagi. Takut bila kembali bicara membuat Rehan tambah kesal.
Rehan pun menuju lift begitu pula Viola yang terus mengikuti Rehan dari belakang.
Para pelayan tampak membungkuk sopan ketika Rehan melintasinya, seakan-akan Rehan adalah tamu spesial tapi tidak untuk Rehan.
Rehan tetaplah Rehan. Rehan yang selalu bersikap datar, kasar, tanpa ekspresi sama sekali.
Setibanya di lift, Rehan langsung memencet tombol 14 yang berarti, tempat yang akan ia tujuh ada di lantai 14.
Tidak lupa, Viola memperhatikan semua yang dilakukan Rehan agar besok-besok bila ingin menggunakan lift, ia sudah bisa menggunakannya.
"Oh begitu" Viola bergumam namun itu terdengar jelas ditelinga Rehan.
Rehan melirik Viola sekilas, lewat ekor matanya lalu menghela napas.
"Dasar gadis kulot" ucap Rehan dalam hati, tidak lama setelahnya lift terbuka lebar.
Rehan pun kembali berjalan, masih dengan Viola yang mengekor dari belakang.
Setelah tiba di depan apartemen miliknya, Rehan dengan cekatan memasukkan pin-nya dan lagi-lagi itu tidak lepas dari pandangan Viola.
Rehan yang memasukkan pin-nya begitu cepat membuat Viola kesulitan melihatnya.
"Apa?"
Rehan melihat Viola dengan tatapan tajam, Viola yang penakut langsung menggeleng.
"Cepatlah masuk, sebelum aku berubah pikiran."
Tak ingin melihat Rehan marah, Viola langsung berlari terbirit-birit.
Rehan melihat itu dengan spontan tersenyum kemudian menyusul Viola yang sudah berada di ruang tamu.
Viola bahkan sudah menatap kesetiap sudut apartemen Rehan, tampak semua yang ada disana mewah dan sangat rapi.
"Mas, apakah mas tinggal disini sendiri?" kalimat itu pun menjalar begitu saja dari bibir mungil Viola.
Menyadari akan pertanyaannya, ia lalu mengulum bibirnya, takut bila Rehan kembali marah.
Sedangkan Rehan sudah duduk bersender di sofa dengan tangan yang memijat pelipisnya.
"Tidak" jawabnya singkat.
"Oh begitu terus mas Rehan tinggal sama siapa?"
"Kenapa kau sangat cerewet, aku bahkan sangat lelah. Apakah kau tidak melihatnya?"
Bentakan Rehan menggema diseluruh sudut apartemen Rehan, darahnya bahkan terasa mendidih tatkala Viola yang terus bertanya.
Viola yang mendapat bentakan itu memilih diam sambil menundukkan wajahnya, tidak berani melihat kearah Rehan lagi.
"Sudah, kau pergilah sana" usir Rehan tapi saat ingin pergi, Viola kembali berhenti.
"Apa lagi?" bentakan Rehan kembali terdengar diiringi tatapan tajamnya.
"Em kamarku mas, kamarku ada dimana?"
"Oh kamarmu, kamarmu berada disebelah kiri, di lantai atas."
Tidak ingin bertanya lagi, Viola langsung melanjutkan langkahnya menuju dimana kamarnya berada.
Dan setelah tiba, Viola langsung merebahkan tubuhnya, diatas kasur yang berukuran king tersebut.
"Wahhh ternyata begini, rasanya jadi orang kaya? aku bahkan tidak pernah membayangkan bisa tidur ditempat sebagus ini."
Viola terus berucap akan kehidupan orang kaya dan baru tersadar akan dirinya yang belum menghubungi nenek Tia setelah tiba di Jakarta.
"Astaga, nenek."
Dengan cepat Viola duduk, segera meraih ponsel jadulnya dari dalam tas.
Dert.. Derrttt..
Ponsel nenek Tia terdengar berdering namun entah kenapa? tidak juga diangkat.
"Nenek, angkatlah" Viola dengan perasaan tidak karuan bahkan tidak tersadar akan buliran hangatnya sudah keluar.
Ia sangat takut bila sesuatu terjadi kepada nenek Tia yang begitu sangat ia sayangi.
"Ya Allah, kenapa nenek tidak juga mengangkat telponku? padahal aku sudah belasan kali menghubunginya namun masih belum diangkat juga."
Semua pikiran negatife tentang nenek Tia sudah bersatu karena tidak biasanya nenek Tia, tidak menjawab telponnya.
"Apa jangan-jangan, sesuatu terjadi sama nenek?" pikirnya dengan wajah gusar.
"Kalau memang iya, aku harus segera pulang."
Tanpa berpikir panjang, Viola keluar dari kamarnya. Segera menghampiri Rehan yang terlihat masih di ruang tamu.
Dengan air mata bercucuran, Viola menghampiri Rehan.
"Mas, maafkan aku. Aku harus pulang kampung sekarang juga."
Rehan yang terkejut akan kehadiran Viola yang menangis, langsung menghampiri Viola.
"Kau ada apa? apa terjadi sesuatu?"
"Huuaaaa, nenek mas. Nenek tidak biasanya, tidak mengangkat telponku."
Viola terus saja menangis sedang Rehan dibuat bingung melihat Viola.
Ia tidak tahu harus berbuat apa untuk menenangkan gadis kecil itu.
"Bagaimana ini? apa yang harus ku lakukan?"
Rehan tampak berpikir keras dan entah dari mana asalnya? ia dengan tangan terulur, meraih tubuh mungil Viola.
"Sudah, sudah, kuatkanlah dirimu. Aku yakin nenek baik-baik saja." Rehan berucap sambil mengelus lembut punggung Viola.
Viola yang berada di dalam dekapan Rehan, masih terus menangis hingga deringan telpon terdengar membuat keduanya saling tersadar kemudian menjauhkan diri masing-masing.
Tampak dari wajah Viola berubah bahagia melihat yang menelponnya adalah nenek Tia dan dengan cepat, ia pun mengangkatnya.
"Huuaaaa neneeeek, Viola rindu neneeeek."
Terima kasih..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Afifa Ahmad
seru ni..
2021-06-29
0
R.F
cemungut
2021-06-29
0
{♠️𐔣α𝒇 ιᷜͷͥαᷟༀ♠️}🐍
semangat Author 👍👍
2021-06-16
0