Dian tahu, ia pasti akan mendapat rintangan ketika meminta ijin pamannya. Ada beberapa pekerjaan yang harus ditanganinya terkait usaha biro perjalanan kecil yang dikelola paman yang bekerja sama dengan beberapa pemuda desa setempat. Tentu saja pamannya tak bisa langsung percaya sembarang orang buat menggantikan pekerjaannya yang rajin tiap saat memblasting promo paket-paket wisata yang mereka tawarkan di media sosial maupun grup-grup sekolah. Namun ternyata, paman justru lebih terkejut karena Dian memutuskan pergi berdua dengan seorang lelaki asing. "Apa? Kamu mau pergi hanya berduaan dengan lelaki yang baru kamu kenal? Tidak boleh, Dian. Kamu perempuan. Bagaimana kalau dia mencelakai kamu di jalan? Jangan mudah tergiur uang, Nduk."
"Dian percaya dia baik, Lik."
"Banyak lelaki bertampang baik yang akhirnya ketahuan menipu, Yan. Kamu masih terlalu muda untuk mengerti."
"Tapi ini satu kesempatan bagus, Lik. Pak lik kan tahu dari dulu aku ingin jalan-jalan keliling Jawa. Waktunya pas libur, gratis dan dibayar untuk jasa navigasi. Kesempatan seperti ini tidak akan datang dua kali. Sayang jika dilewatkan. Dian pasti bisa jaga diri, pak lik. Dian pasti akan pulang dengan selamat dan membawa banyak cerita pengalaman hidup selama di perjalanan."
Gunadi kehilangan akal dan mulai menakut-nakuti Dian. "Bagaimana kalau kamu diperkosa lalu dibunuh di tengah jalan?"
"Dian nggak takut. Kata pak Ustadz, kalau mati dibunuh mempertahankan diri pasti masuk surga, Pak lik. Itu jauh lebih baik daripada mati bunuh diri." jawab Dian apatis.
Pria dengan rahang kuat dan kulit yang terbakar matahari itu mengernyitkan dahi. Sadar kalau Dian bukan orang yang bisa ditakut-takuti. Dia mewarisi sifat keras kepala ibunya yang sampai saat ini menghilang tak tahu rimbanya. Dian bukan anak kecil lagi. Dia sudah cukup mengerti bahwa orang miskin hanya punya 2 pilihan kerja keras meraih mimpi atau mati kelaparan. Tidak ada yang pilihan yang lebih baik selain menikmati hidup apa adanya. Ada kesempatan ambil, urusan besok akan terjadi apa biarlah jadi keputusan Tuhan. Bagi orang miskin, mati adalah harapan buat hidup lagi di alam yang berbeda. Dalam logika reinkarnasi yang dijabarkan dalam berbagai bentuk keyakinan manusia, setiap kebaikan akan diganjar dengan kehidupan yang lebih baik pada periode kehidupan selanjutnya. Dian salah seorang gadis yang percaya apa kata orang-orang bijak di kampung ini, kesabaran dan kerja kerasnya selama ini pasti akan diganjar dengan kehidupan yang lebih baik.
"Besok Tono yang akan gantikan aku menemani pak lik ya." lanjut Dian kemudian. Tak peduli apapun keberatan yang dikatakan pamannya.
Gunadi angkat bahu. Apa yang dilakukan Dian sama persis dengan apa yang pernah dilakukan Suciati kakaknya ketika nekat pergi mencari nafkah menjadi housemaid di negeri orang. Seribu orang bilang jangan pun, dia tak peduli. Yang ada di otaknya hanya perbaikan nasib. Namun entah mengapa sampai saat ini nasibnya masih menggantung tanpa seorang pun yang tahu. Agen tenaga kerjanya bilang, Suciati memutuskan untuk berhenti kontrak dan mencari pekerjaan sendiri secara independen demi menerima gaji utuh tanpa potongan ini itu. Mereka angkat tangan dan kehilangan jejak Suciati.
Sejak kecil keponakannya itu telah terlihat bakat keras kepala seperti kakaknya yang melahirkan anak itu. Caranya bersikap, marah, tersenyum dan ketegarannya pun menurun nyaris sempurna pada anak gadis semata wayang yang telah lama ditinggalkannya. Salah satu yang membuatnya tidak merasakan kehilangan kakak adalah karena Suciati benar-benar hidup dalam jiwa anaknya. Jantung kakaknya seolah masih berdetak bersama irama hentakan jantung Dian. Rasanya cocok sekali kalau anak itu menyanyikan lagu bertaut untuk ibunya, seperti yang dilantunkan penyanyi indie Nadin Amizah
Bun, hidup berjalan seperti bajingan
Seperti landak yang tak punya teman
Ia menggonggong bak suara hujan
Dan kau pangeranku, mengambil peran
Bun, kalau saat hancur ku disayang
Apalagi saat ku jadi juara
Saat tak tahu arah kau di sana
Menjadi gagah saat ku tak bisa
Sedikit kujelaskan tentangku dan kamu
Agar seisi dunia tahu
Keras kepalaku sama denganmu
Caraku marah, caraku tersenyum
Seperti detak jantung yang bertaut
Nyawaku nyala karena denganmu
Aku masih ada sampai di sini
Melihatmu kuat setengah mati
Seperti detak jantung yang bertaut
Nyawaku nyala karena denganmu
Bun, aku masih tak mengerti banyak hal
Semuanya berenang di kepala
Dan kau dan semua yang kau tahu tentangnya
Menjadi jawab saat ku bertanya
Sedikit kujelaskan tentangku dan kamu
Agar seisi dunia tahu…
Gun mengambil 3 lembar uang merah dalam dompetnya. Ia menyerah dengan keputusan keponakannya. "Ambilah! Maaf, pak lik hanya bisa kasih kamu sangu sedikit. Kalau ada apa-apa, segera hubungi pak lik ya."
"Terimakasih, Pak lik. Dian punya ide bagus, jalan-jalannya sambil berdagang kaos sablonan mas Ben yang keren-keren. Mas Ben sudah membolehkan Dian bawa 100 pieces dan dibayar bertahap kalau laku. Doakan supaya hasilnya banyak, bisa buat nambahin biaya kuliah." ujarnya antusias.
Gun mengangguk meski tak yakin apakah ide itu baik untuk Dian. Namun ia tak ingin melunturkan semangatnya yang menyala. Anak itu terbukti cerdas, sudah diterima di universitas negeri tanpa tes. Barangkali sudah waktunya untuk diberi kepercayaan membuat keputusan sendiri. Upaya yang sekarang harus dilakukan hanyalah mengusahakan beasiswa atau keringanan biaya kuliah dan menyediakan biaya hidup di kota Surabaya yang nilainya pasti tidak sedikit. Dia harus ambil kesempatan itu agar tidak terjebak mimpi menjadi buruh migran di luar negeri lalu menghilang tanpa tahu dimana rimbanya seperti ibunya. Kalau dia kuliah, kemungkinan akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik terbuka lebar. Mimpinya untuk keluar dari himpitan lingkaran setan kemiskinan yang turun temurun diwariskan keluarganya akan terwujud.
"Kamu sudah pamit bapak dan ibu sambungmu?"
"Sudah."
"Bapak bilang apa?"
"Tidak bilang apa-apa. Hanya titip kalung ini supaya dipakai terus. Kata bapak, kalung ini bertuah menjaga aku selama dalam perjalanan." jawab Dian sambil menunjukan sebuah kalung tali hitam yang mirip tali sepatu jaman dahulu dengan liontin berbentuk lingkaran yang berasal dari batu giok hijau.
Gun tidak heran. Gondo, ayah Dian, memang masih percaya unsur-unsur klenik jawa macam itu. Meski miskin, Gondo suka membantu mengobati orang sakit karena gangguan makhluk halus dengan sukarela, rajin tirakat dan memiliki benda-benda yang menurut pengakuannya keramat. Benda-benda itu datang sendiri menghampirinya. Entah ada orang yang memberi atau menemukannya di tempat-tempat yang tak terduga.
"Dian itu bisa pintar karena aku membantu tirakat buat anakku." Gun pernah mendengar Gondo berkata begitu di hadapan teman-temannya yang sama-sama 'cangkruk' di warung kopi murah di pinggir desa.
Waktu itu Gun hanya diam. Padahal dalam hati ia menyangkal. Menurut Gunadi, Dian cerdas karena dia menurunkan bakat genetik kakaknya. Begitu pula dengan semangat dan kerja kerasnya. Gondo itu pemalas. Hasil kebunnya tak pernah cukup untuk membiayai hidup keluarga kecilnya karena ia terlalu santai dalam mengolahnya. Waktunya lebih banyak dihabiskan untuk mengurus benda-benda yang dianggapnya keramat, minum kopi dan ngobrol nggak karuan bersama sesama lelaki yang menjalani hidup tanpa ambisi. Hasil kerja Suciati sebagai buruh migran hanya menyisakan rumah mungil, sepetak kebun dan sepeda motor butut yang sering dipakai Dian untuk ke sekolah.
Gun mengantar Dian sampai di penginapan Riza pagi itu. Dia merasa harus tahu banyak tentang pemuda yang mengajak keponakannya jalan-jalan keliling Jawa. Paling tidak ia tahu nomor telepon, KTP dan alamat tempat tinggal pemuda itu agar jika ada masalah pada keponakannya bisa mencari tahu jejaknya.
"Dian harus dipulangkan dalam keadaan selamat, tidak kurang suatu apapun. Dia adalah aset yang nilainya sangat berharga buat kami. Kalau sampai dia celaka, aku bakal cari kamu dan menyembelihmu hidup-hidup. Camkan itu ya!" Gun menatap Riza dengan tajam mengancam.
Riza sebenarnya ketar ketir mendengar ancaman itu, namun ia mencoba tenang karena ia melihat Dian antusias dan mantap ingin menemani perjalanannya. Ia membiarkan gadis itu membawa satu dus besar kaos yang katanya akan dijual sepanjang perjalanan. "Insya Allah kami akan saling jaga. Doakan kami selamat ya, Pak lik." ucapnya sambil tersenyum.
"Doakan juga supaya kaosnya laku." tambah Dian cuek. Ia mencium tangan pamannya. Sementara Gun menepuk pundaknya seolah memberi sedikit tambahan semangat buat keponakannya mengawali perjalanan.
_________
Semangat terus ibadah ramadhannya. Maaf slow update. Semoga berkah dan menjadi insan yang takwa.
Dukung terus kisah ini ya😍
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 207 Episodes
Comments
Musi Rini
Dian yang tak kunjung oadam, semangatnya tooppp👍👍👍💝💖
2023-01-06
0
Dwisya12Aurizra
perjalanan dimulai... GO..
aku mampir dan baru komen diceritamu
2021-08-22
1
Unknown
lanjut👍🏼
2021-05-04
2