Begitu menginjakkan kaki di pantai berpasir putih kecoklatan yang tampak anggun dengan bukit-bukit karang di sekitarnya, Dian sudah dipanggil omnya. Para remaja yang berwisata sudah duduk manis di perahu kayu masing-masing. 30 orang putra putri duduk manis di 4 perahu kayu bermotor yang masing-masing berkapasitas 8 orang. Semua telah menggunakan pelampung, siap berpetualang keliling teluk yang airnya tampak berwarna biru tosca.
"Dian, ayo! Tamumu sudah siap mau nyebrang ke pantai bolu-bolu, Kelatak dan Banyu Anjlok." teriak salah seorang awak perahu.
Dian segera berlari meninggalkan Riza yang bengong sendiri. Dian langsung menuju salah satu perahu yang tampaknya kekurangan awak. Tubuh mungil itu begitu cekatan memegang kayu panjang di sebelah kiri perahu bersiap mendorong perahu yang telah dinaiki 7 anak seusianya. Perahu perlu didorong agar lebih ke tengah sehingga perahu dengan mudah melaju tanpa terantuk pasir atau karang pantai. Sementara seorang rekannya sibuk menyalakan mesin diesel yang digunakan sebagai tenaga pendorong perahu.
"Cak Riza. Ayo melu sisan. Isih onok kursi sak enggon maneh" teriak Dian sambil melambaikan tangannya ke arah Riza. (Kak Riza, ayo sekalian ikut. Masih ada kursi kosong satu lagi)
Riza bergegas mengunci mobilnya dengan memencet tombol mengunci otomatis. Tanpa berpikir ia langsung berlari mengejar perahu yang telah didorong Dian menuju ke tengah laut. Ia tak peduli apapun. Bergabung dengan remaja tanggung yang tengah berdarma wisata mungkin membawa kegembiraan tersendiri. Ingat masa-masa Indah di SMU.
Dian melompat naik dari sisi kiri, sementara Riza memilih menyeimbangkan perahu dengan naik dari sisi kanan. Seorang remaja putera membantu menarik tangannya saat naik tadi. Celana jeansnya basah. Tapi Riza senang. Apalagi anak-anak remaja tanggung itu juga tampak tak keberatan ada penumpang lain diluar kelompok mereka. Rata-rata mereka tengah sibuk mengabadikan foto diri serta pemandangan sekitar dengan kamera ponsel. Sebagian kecil ada menggunakan kamera digital dan mengambil video kebersamaan mereka saat perahu mulai perlahan melaju ke tengah.
"Pakai pelampungnya, Cak." kata Dian sambil melempar satu pelampung ke arah Riza.
Riza menangkapnya lalu segera mengenakan pelampung itu. Tentu saja ia sadar harus menggunakan pelambung sebagai salah satu prosedur keselamatan penumpang kapal.
"Cak Riza yang mobilnya tadi mogok di jalan ya?" sapa pemuda gempal yang duduk tepat di depan Riza.
Riza mengangguk.
"Mobil apik kok mogokan." komentarnya sinis disambut tawa rekan di sebelahnya.
Riza hanya tersenyum.
Daripada menanggapi anak yang berkomentar sinis tentang mobilnya yang tadi mogok, Riza lebih tertarik memperhatikan anak-anak lain yang tertawa memperlihatkan hasil pengambilan gambarnya yang mungkin tampak lucu. Sementara Dian terlihat serius memberikan beberapa pengarahan tentang gambaran singkat tempat-tempat yang akan mereka kunjungi, persiapan snorkeling, waktu yang disediakan, dan apa yang harus dilakukan para tamu di tempat-tempat tersebut. Yang paling ditekankan adalah menjaga adab, kesopanan dan menjaga kebersihan lingkungan dengan tidak membuang sampah sembarangan.
"Pertama-tama kita akan mengelilingi pulau-pulau karang cantik yang konon tidak kalah cantik dari pulau karang di Raja Ampat. Teman-teman akan melihat berbagai varietas tanaman bakau yang menghias pulau-pulau karang itu. Lihatlah kedepan. Kita akan mengitari pulau-pulau karang tersebut."
Para penumpang kapal menghentikan aktivitas pribadinya dan melihat ke depan dengan antusias. Terpampang jelas beberapa batu karang yang berdiri kokoh diantara lautan menyerupai sebuah pulau-pulau kecil. Pintar sekali gadis itu mengalihkan perhatian para remaja yang biasanya susah diatur.
Pantai yang pertama kali dikunjungi adalah Banyu Anjlok, sebuah pantai dimana terdapat air terjun yang tumpah langsung ke laut. Air terjun itu berasal dari laguna air tawar di atas bukit karang. Kata Dian, ada beberapa traveler yang mendirikan tenda di atas bukit karang guna melihat sunset dan sunrise. Rombongan itu mengambil paket one day tour, oleh karena itu mereka diberi kesempatan satu jam berada di pantai Banyu Anjlok untuk mandi, berfoto, memanjat tebing dengan seutas tali mencapai puncak bukit karang atau aktivitas lain yang mereka sukai. Aktivitas bebas, hanya waktu yang dibatasi. Para remaja itu langsung melompat dari perahu yang telah bersandar lalu sibuk masing-masing berkelompok sesuai kegiatan yang mereka sukai di pantai itu.
Riza ikut saja bergabung dengan salah satu kelompok anak laki-laki yang memutuskan untuk naik ke bukit karang dengan seutas tali. Menguji adrenalin. Setelah sampai di atas bukit pun mereka tetap ingin menguji adrenalin lagi dengan melompat terjun ke laut. Wih, ngeri. Lompat bebas dari ketinggian sekitar 100 meter.
"Wani ra, Cak?" tantang anak bertubuh gempal yang sejak tadi sinis melihat Riza.
"Siapa takut. Bonek kok dilawan." balas Riza pasang wajah angkuh, terpancing emosi tak mau kalah.
"Bonek di sini kalah sama Arema, Cak." Anak gempal itu kembali membalas dengan lebih sinis.
Riza maju. Ia tak peduli apapun, yang penting niatnya tidak bunuh diri. Lagipula anak muda yang di depannya tadi sudah melompat dan byur.... tenggelam sebentar lalu muncul dan berenang ketepian. Setelah itu ia tertawa sambil melambaikan tangan ke orang-orang yang masih berada di atas bukit seolah mengatakan, "Yes! aku berhasil. Aku hebat."
Kalau anak SMU saja bisa, kenapa Riza tidak. Riza memantapkan diri menjadi penerjun berikutnya. Hup, ia melompat dengan percaya diri. Blub bup blub bup... tubuhnya mulai masuk ke dalam air, namun dengan cepat kembali terdorong naik karena pengaruh pelampung yang dikenakannya.
Riza berenang ke tepi lalu melakukan celebration action seperti anak lelaki sebelumnya, melambaikan tangan ke atas sambil tersenyum jemawa.
Tiba-tiba ada tangan menyentuh pundaknya, "Cak, jangan ngajari anak ABG melakukan hal yang membahayakan. Tempo hari ada anak ABG tewas gara-gara melompat dari situ."
Riza menoleh. "Maaf." katanya sambil menunduk begitu tahu yang menegurnya adalah Dian, sang pemandu. Meski ini bukan idenya, tapi Riza merasa bersalah juga melakukan tindakan yang membahayakan nyawa seperti itu. Biarpun sedang patah hati, ia tak mau mati sia-sia. Seharusnya ia yang lebih tua menasehati, bukannya malah ikut-ikutan menguji adrenalin buat sok-sokan layaknya anak remaja tanggung. Riza sudah hampir lulus kuliah. Usianya sudah 21 tahun, seharusnya sudah bisa bersikap lebih dewasa.
"Duduk di sana yuk!" ajak Dian sambil menunjuk pohon bakau besar yang melengkung.
Riza mengekor saja.
"Aku sebenarnya sudah bosan bawa tamu ke sini-sini aja. Pinginnya bisa jalan-jalan ke tempat lain biar tidak jadi katak dalam tempurung." tiba-tiba saja gadis mungil itu membuka percakapan dengan kalimat berisi keluhan.
"Memang berapa penghasilan kamu dari pekerjaan ini?"
"70 ribu perhari."
Riza mengelus dada dalam hati. Kasihan. Otak Riza menghitung, kalau dia bekerja 22 hari sebulan, berarti penghasilannya masih ada di bawah UMR.
"Kamu bekerja tiap hari?"
"Kalau libur sekolah aja, cuma buat kegiatan mengisi waktu sambil cari uang saku. Sekarang aku kelas 3 SMU dan sudah diterima lewat jalur SNPTN di fakultas ekonomi di salah satu universitas negeri di Surabaya."
"Wah, hebat. Baru selesai Ujian Nasional dong." Padahal dalam hati Riza mau bilang, pola pikir kamu lebih dewasa daripada seharusnya anak SMU.
Dian mengangguk.
"Kita tukeran nomor telepon ya. Kabari aku kalau sudah mulai aktif di Surabaya." Riza mulai sok akrab.
"Nggak tahulah, Cak. Dilematis jadinya. Kalau nggak diambil, sekolah kena imbas jatah SNPTN buat adik kelas pasti dihentikan. Kalau diambil, masih bingung biayanya darimana."
"Buat surat keterangan tidak mampu aja supaya dapat keringanan biaya."
"Sudah diajukan surat-suratnya. Belum tahu diterima atau tidak."
"Nanti aku bantu cari pekerjaan sampingan di Surabaya. Kakakku punya bisnis toko baju online dan toko kue. Aku akan rekomendasikan kamu, kalau kamu mau."
Matanya langsung berbinar-binar. Dian kelihatan lebih bersemangat. "Terima kasih, Cak. Aku tunggu kabar baiknya lo. Aku akan melakukan pekerjaan apapun asal halal dan bisa melanjutkan kuliah." jawabnya cepat dan tegas.
Riza sendiri sebenarnya bingung, apa yang bisa ia janjikan buat gadis yang baru beberapa jam dikenalnya. Semua serba spontan, tanpa pikir panjang. Terserah bagaimana nanti saja. Niatnya baik. Mudah-mudahan saja jalannnya dipermudah.
Wida belum tentu butuh pegawai. Lagipula andaikan Dian tahu bagaimana keadaan keluarga saat ini, apa ia masih mau berkawan dengannya. Apa dia tidak akan menjauh dengan teratur atau terang-terangan menolaknya seperti teman-teman yang selama ini baik padanya. Apa dia tidak malu berkawan dengannya meski tahu ayahnya tersangka korupsi, usahanya disegel dan kerap dikaitkan punya hubungan spesial dengan artis terkenal.
Tidak. Riza tidak boleh membuka jati dirinya. Bukankah ia pergi untuk mencari jati diri yang baru? Dian tak boleh tahu siapa dia dan keluarganya. Biarlah. Nanti Riza pikirkan lagi ide untuk mencarikan pekerjaan sampingan buat Dian. Pasti banyak orang yang butuh pegawai yang baik, gesit dan cerdas seperti dia.
"Mudah-mudahan rejekimu baik, Yan." ujar Riza kemudian.
___________
Selamat membaca💞
Selalu sehat dan bahagia ya
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 207 Episodes
Comments
sahabat kayu
keren kak,narasi cerita dan tulisan tertata cukup baik,tata letak titik,koma tepat dan gak asal-asalan seperti beberapa author yang hanya mementingkan viewer, mudah-mudahan ceritanya semakin banyak yang baca,aku bantu share ya kak
2021-10-06
2