Alamak, kebablasan. Riza menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi ketika tahu perjalanan yang seharusnya akan dimulai dari ujung timur Banyuwangi tapi mobilnya malah sudah jauh melaju ke arah Malang. Terpaksa mendadak harus berganti destinasi awal. Riza terlanjur berjalan jauh menuju ke arah Malang, enggan rasanya kalau harus putar balik. Apalagi membayangkan jarak kota Banyuwangi yang masih ratusan kilometer lagi, sedangkan tubuhnya letih karena kurang tidur. Sunyi hati membuat malam terasa kelam dan matanya sulit terpejam. Bayangan masa lalu dan kemarahan selalu memenuhi kepalanya.
Jalan tol Surabaya - Malang yang lengang membuatnya terlena. Jeep tuanya meluncur lurus begitu saja mengikuti lajur jalan tol tanpa halangan. Lagu-lagu Fiersa Besari yang disetelnya lewat aplikasi musik di gawainya terasa begitu merasuk di hati, seakan menemukan teman yang merasakan kegalauan hati yang sama walaupun tak pernah bertemu muka. Teman yang memotivasi diri untuk bangkit menjadikan hari-hari galau menjadi lebih bernilai positif, tidak merusak diri. Beruntung sekali Riza hidup di jaman teknologi informasi begitu membumi. Motivator yang memompa semangatnya tak selalu harus hadir nyata, namun bisa memotivasi lewat media sosial. "Terima kasih, Fiersa. Unggahanmu memotivasi aku untuk bangkit dari rasa patah hati." kata Riza dalam hati pada salah satu ikon master patah hati favoritnya.
Hanya perlu satu jam lebih, Riza telah tiba di kota Malang. Riza memutuskan untuk langsung berbelok ke arah selatan. Tujuan pertamanya adalah pantai Sendang Biru. Namun malang tak dapat di tolak, belum sampai tempat yang dituju jeep tuanya tiba-tiba berhenti di tengah jalan.
"Jancuuk! Apes banget aku!" Riza memukul kemudi sambil berteriak menggerutu. Sekali lagi ia menjatuhkan tubuhnya di jok. Sial. Mungkin orang galau tak seharusnya bepergian membawa mobil sendirian begini. Ia berjanji akan buat catatan ini dan disebarkannya di media sosial agar orang lain dapat mengambil pelajaran dan tidak mengalami kesialan yang sama dengannya. Otaknya ambyar. Terbukti tak ada satupun hal yang dilakukannya dengan benar hari ini. Yang dirasakannya hanya bingung dan bertanya-tanya, bagaimana mungkin ini terjadi.
Kalau otaknya normal mana mungkin ia menyetir mobil begitu saja tanpa melihat kondisi bahan bakar yang sekarat. Padahal tujuannya adalah daerah pelosok yang jarang atau bahkan tak ada pom bensin. Jeep mogok di kawasan perkebunan. Riza bingung. Celingak-celinguk memperhatikan areal di sekelilingnya. Yang ada hanya pohon-pohon, rumput dan ladang jagung. Jalanan juga sepi. Hanya ada beberapa sepeda motor yang lewat. Bagaimana ini? Pom bensin pasti jauh dari sini. Pikirannya benar-benar buntu.
Tiba-tiba terdengat klakson mobil di belakangnya berbunyi nyaring, nyaris memekakkan telinga. Dilihatnya sebuah mobil bus tiga perempat berhenti di belakang mobilnya. Supirnya kelihatan kesal karena kondisi jalan tidak cukup lebar untuk bisa menyalip jeepnya yang sedang mogok.
Riza tak tahu harus berbuat apa. Ia diam saja di belakang kemudi.
"Ono masalah opo mobilmu, Cak?" (Ada masalah apa mobilmu, Kak?) Seorang perempuan muda dengan jeans belel dan kemeja kotak-kotak menghampirinya dan bertanya dengan suara cempreng. Rambutnya diikat ekor kuda dan memakai topi hitam dengan bordir kalimat yang berbunyi, Dian yang tak kunjung padam.
"Keentekan solar." jawab Riza dingin. (kehabisan solar)
"Diinggirno sek yo, Cak. Awake dewe nggak iso liwat." katanya lagi. (Dipinggirkan dulu ya, kak. Kami tidak bisa lewat)
Riza menggangguk. Perempuan berperawakan mungil itu lalu memanggil beberapa orang temannya untuk membantu mendorong mobil Riza lebih ke kiri agar bus tiga perempat yang tampaknya bermuatan remaja yang hendak berdarma wisata itu bisa lewat.
Bus itu akhirnya bisa lewat setelah jeep Riza didorong ke pinggir mepet dengan kebun jagung. Aroma bunga kopi tercium harum menusuk hidungnya. Tanaman kopi tampak dijadikan pagar buat ladang jagung di perkebunan yang terletak di dataran yang cukup tinggi itu. Sejak beberapa kilometer sebelumnya, Riza memang telah melintasi jalan bukit yang berkelok dan naik turun. Kondisi jalannya sudah beraspal namun lebarnya hanya pas untuk 2 mobil minibus berpapasan tanpa sela. Makanya jeep Riza harus didorong sedikit masuk ke pinggir kebun agar bus 3/4 itu bisa lewat.
"Mau dibantu carikan solar?" tawar perempuan itu. Setelah busnya lewat, ternyata dia masih ada menunggu di samping jeep Riza, tidak langsung naik bus dan meninggalkannya dalam keadaan bingung.
"Iya."
Dia meminta Riza tunggu sebentar sementara dia mengejar bus yang berjalan perlahan menantinya. Dia berbincang sebentar dengan supirnya. Kemudian mengambil gawai dan menelpon seseorang. Setelah selesai, bus itu melaju sementara gadis mungil berkemeja kotak-kotak itu kembali lagi menemui Riza.
"Aku nyilih solar soko paklikku, sing duwe persewaan kapal ning pantai Lenggoksono. Sampeyan mengko kudu langsung mbalekno yo, Cak." (Aku pinjam solar dari omku yang punya persewaan kapal di pantai Lenggoksono. Kamu nanti harus segera mengembalikan ya, kak)
"Inggih. Suwun yo, dik.(Oke. Terimakasih ya, Dik)" jawabnya semringah. Riza kehabisan kata. Bersyukur sekali dipertemukan dengan gadis baik hati yang bersedia susah untuk menolongnya.
Riza turun dari jeepnya. Ia ikut nongkrong di sebelah gadis mungil itu. Mereka sama-sama duduk menunggu orang yang akan membawakan solar pinjaman gadis itu di bawah pohon kopi yang sedang berbunga. Harumnya segar dan semerbak. Mungkin karena wanginya, bunga-bunga putih yang tumbuh di ranting-ranting itu dikerumuni oleh banyak serangga sejenis kumbang juga kupu-kupu.
Riza mengulurkan tangannya. "Kenalkan, aku Riza."
Gadis itu menyambut uluran tangannya dan menjabatnya dengan erat. Meski masih kelihatan muda, namun tatap matanya penuh percaya diri. Ia menyebut namanya Dian.
Riza melirik topinya dan berkomentar santai, "Oh, jadi nama panjangnya Dian yang tak kunjung padam ya?"
Gadis itu tersenyum. Tidak membenarkan, tidak pula menyangkal gurauan Riza.
"Mau kemana, Cak? Kenapa sampai kehabisan bahan bakar?" tanya Dian dengan wajah cuek. Tangannya iseng menyabuti rumput yang ada di dekatnya lalu melemparkannya sembarang di sekitar tempat duduknya.
"Pantai Sendang Biru. Mau tracking ke pulau Sempu."
"Sampeyan salah arah, Cak. Ke pantai Sendang Biru tidak lewat jalan ini. Harusnya belok ke timur setelah melewati bukit hutan jati di pertigaan desa Kedung Banteng tadi. Tak jauh dari pertigaan itu ada pom bensin. Ikuti terus petunjuk arah ke pantai Sendang Biru, sudah cukup banyak kok papan petunjuk arahnya." jelasnya fasih.
Riza garuk-garuk kepala. Waduh, salah arah lagi. Memang bepergian saat galau sendirian harusnya naik transportasi publik saja, bukan bawa kendaraan sendiri seperti sekarang. Di transportasi publik bisa tanya dan dibantu orang sekitar. Nyetir sendirian saat kepala sedang penuh berbagai masalah itu berbahaya. Beruntung Riza hanya beberapa kali salah arah, belum sampai ke tahap yang mencelakakan jiwa raganya. Riza menarik nafas panjang. Harusnya ia jalan santai dan lebih fokus melihat papan-papan penunjuk arah yang mungkin tersembunyi atau luput dari pengelihatannya.
Tak ada kata yang bisa terucap. Riza memang tak punya pengalaman bertualang sendirian begini. Biasanya ia selalu pergi bersama rombongan teman-temannya. Sering jadi supir tapi tak mengerti arah. Riza menyadari kalau selama ini ternyata ia supir buta yang sangat tergantung pada arahan navigator. Riza hanya cengar-cengir mendengar penjelasan Dian yang panjang lebar soal tempat-tempat wisata di Malang selatan. Pengetahuannya tentang itu telah merekah di kepala karena ternyata ia sering menjadi pemandu wisata di kawasan Malang Selatan. Tadi itu Dian sedang bawa jadi pemandu sekaligus kernet bus yang membawa rombongan wisata anak SMU dengan tujuan pantai Lenggoksono dan air terjun Banyu Anjlok.
Orang suruhan Dian telah datang membawa sejerigen solar milik paman Dian, pemilik perahu sewaan yang digunakan pengunjung untuk berkeliling bukit karang, mengunjungi air terjun Banyu Anjlok serta beberapa pantai eksotis sekitar Lenggoksono.
Riza mencoba menstarter jeepnya saat tangki bahan bakar telah terisi 10 liter solar. Bersyukur tidak ada masalah yang berarti. Ia membiarkan mesin menyala saat ditinggal keluar untuk mengucapkan terima kasih pada orang-orang yang telah membantunya.
"Terima kasih ya. Bagaimana menggantinya? Aku ganti uang saja boleh?"
Dian menoleh ke arah Tono yang membawakan jerigen solar tadi. "Ya opo, Ton? Kon gelem gak tuku solar kanggo gentekno solare paklik Gun?" (Bagaimana, Ton? Kamu mau nggak membelikan solar untuk menggantikan solar om Gun?)
Tono menggangguk.
"Kasih aja uangnya ke Tono, Cak. Biar dia yang beli solar penggantinya."
Riza memgambil 2 lembar uang seratus ribuan lalu memberikannya pada Tono.
"Keakehan iki, Cak." (Kebanyakan ini, kak)
"Nek iso tuku 5 liter meneh, Ton. Susuke kanggo kon (jika bisa, beli 5 liter lagi, Ton. Kembalianya buat kamu)." jawab Riza sambil menahan senyum.
Toni mengangguk.
"Aku antar kamu ke tempat tugasmu, Yan."
"Katanya mau ke Sendang Biru."
"Nanti aja setelah mengantar kamu. Aku akan merasa bersalah kalau pekerjaanmu terlantar karena membantuku."
Dian tersenyum.
____________
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 207 Episodes
Comments