Setelah lebih dari satu jam berada di lokasi Banyu Anjlok menikmati pemandangan air terjun yang langsung jatuh ke laut, Riza membantu Dian berteriak memanggil dan mencari anak-anak yang dipandunya agar kembali ke perahu untuk melanjutkan perjalanan menuju destinasi berikutnya, pantai bolu-bolu dan pantai Klatakan. Keistimewaan pantai ini adalah memiliki pemandangan laut dan pantai yang indah, namun terasa lebih privat karena hanya bisa dijangkau dengan naik perahu. Ombaknya yang tenang sangat cocok digunakan untuk berenang. Pantai ini enak buat dijadikan tempat untuk bersantai karena suasananya yang masih tenang dan tidak adanya gangguan.
Selain melakukan aktivitas snorkling yang sudah satu paket, para remaja itu menikmati pantai dengan caranya masing-masing. Ada yang berjalan jalan di bibir pantai, tiduran di atas pasir, bermain pasir atau hanya sekedar berfoto. Pose foto dan videonya pun aneh-aneh. Riza tertawa geli melihat tingkah mereka. Ada yang bikin video joget bang jago, berfoto sambil tiduran melingkar bergandengan tangan di bibir pantai, ada yang sibuk menerbangkan drone, dan ada juga yang minta difoto di bawah air dengan pacarnya dengan menggunakan kamera khusus underwater. Sejenak dia lupa jika hari ini adalah hari pernikahan Avi, mantan kekasihnya, namun sepasang kekasih yang meminta difoto saat snorkeling mengingatkannya pada Avi.
Avi, gadis berkulit sebening kristal dengan bentuk mata sempurna seperti kacang almond. Kembang kampus yang tak dinyana bisa jatuh hati pada Riza dan menemani hari-hari indahnya selama 3 tahun terakhir ini. Kalau saja papa tidak terlibat kasus itu atau Riza berani mengambil keputusan membawanya lari dari keluarganya, barangkali mereka sekarang masih bersama merajut mimpi dan janji yang belum terwujud.
Riza ingat lagi kenangan buruk yang mendekam di kepalanya, ketika orang tua Avi mendudukannya seperti seorang pesakitan di persidangan. Hatinya sakit dihina sebagai anak koruptor yang masa depannya pasti akan suram.
"Kamu anak koruptor, masih berani datang ke rumah ini. Otak kamu bebal ya? Saya sudah bilang kalian harus putus, jangan dekati anak saya lagi."
Riza menghembuskan nafas perlahan, berusaha tidak terpengaruh kata-kata ayah Avi yang menyakiti hati dan merobek harga dirinya. "Saya datang ingin bicara baik-baik dengan bapak sebagai laki-laki. Saya tidak mau menjalani hubungan backstreet. Saya mohon bapak mengerti, saya dan Avi saling mencintai. Bapak bahkan sudah tahu kami sudah menjalin hubungan cukup lama. Saya pikir tidak bijak jika meminta kami putus karena masalah yang menimpa ayah saya, yang saya sendiri tidak tahu menahu." kata Riza membela diri. Waktu itu ia berusaha keras untuk dapat bicara dengan tenang sebagai lelaki yang bertanggung jawab. Niat dan cintanya pada Avi tulus. Riza hanya ingin menunjukan itu.
Lelaki setengah baya berkacamata tebal itu tertawa sinis. "Buah tak pernah jatuh jauh dari pohonnya. Masa depanmu sudah tergadai oleh ulah ayahmu. Kamu bisa apa anak muda? Sebentar lagi harta orang tua kamu bakal disita pengadilan. Avi tidak bisa hidup miskin. Saya juga tidak rela anak kesayangan saya menderita seumur hidup karena memilih kamu sebagai pasangannya. Tidak. Saya tidak bisa mempercayakan anak saya pada kamu. Siapa yang bisa jamin anak orang yang suka selingkuh tidak akan melakukan hal yang sama seperti ayahnya." Ayah Avi menatapnya dengan sinar mata yang menghujam jantung.
Rasanya jantung Riza mau meledak. Semua pembelaannya dimentahkan dengan pesimisme yang selalu dikaitkan dengan kasus papa. Pasti miskin dan tukang selingkuh, dua stereotip itu yang disematkan ayah Avi dikepalanya. Dia menyebut 2 kalimat jahanam itu berulang-ulang sampai telinga Riza memerah dan jantungnya terbakar.
Entah sudah dipersiapkan sejak sebelum kasus papa merebak atau tidak, ayah Avi berkata dengan angkuhnya akan segera menikahkan Avi dengan seorang anak kenalannya yang memiliki bisnis lintas negara. Dialah calon suami Avi yang dianggap paling layak. Belakangan Riza tahu parasnya blasteran bule. Tentu saja kulitnya bersih, badannya tinggi besar dan hidungnya mancung. Meski usianya sudah 30-an tahun namun dia memiliki kesempurnaan fisik luar biasa sebagai seorang laki-laki. Dia pengusaha sukses dan mapan. Jelas calon suami yang diajukan ayahnya tidak sebanding dengan Riza yang hanya mahasiswa biasa dengan fisik yang hanya sedikit di atas rata-rata orang Indonesia.
Siapa yang tidak sakit hati diperlakukan seperti itu? Orang lain tak dapat melihat betapa rasa sakit itu menyiksa hatinya. Panasnya hati seperti dipaksa menggenggam bara api yang menyala. Di depan ayah Avi, Riza hanya diam ketika kehormatannya dihina sedemikian rupa. Kemarahan dan dendamnya telah ia bungkus rapi, tersimpan dalam lubuk hati yang paling dalam. Ia akan menjadikan dua bara api itu sebagai cambuk untuk membuktikan pada suatu saat nanti bahwa sangkaan ayah Avi itu tidak terbukti. Riza akan sukses. Tanpa diminta, Riza sudah bertekat akan menjadi suami setia agar istrinya tidak merasakan nelangsa hati seperti yang dialami mamanya.
Sukses itu tidak melulu soal harta. Prinsip hidupnya itu ternyata tak sejalan dengan Avi yang masih terobsesi untuk tetap tampil cantik dan borjuis hingga perlu biaya perawatan kecantikan mahal. Prinsip itulah yang akhirnya membuat Riza menyerah memperjuangkan Avi yang ragu, apakah dirinya sanggup memulai hidup bersama dengan Riza dari nol tanpa memiliki harta sepeser pun. Riza memang harus bersiap diri dengan segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada dirinya.
Riza berharap keputusannya melepas Avi adalah keputusan paling tepat buat kebahagiaan mereka berdua. Avi tak mungkin bisa hidup sederhana seperti yang ada dalam pikiran Riza. Dia berhak mendapatkan suami yang lebih tampan dan mapan. Sementara Riza harus belajar mengikhlaskan.
Bukan hanya kekasih yang pergi meninggalkannya. Teman-teman baiknya pun kini juga menjauh. Mereka jijik dan tak sudi dekat lagi dengannya. Riza jadi bertanya-tanya, apakah dosa ayah bisa diturunkan hukumannya pada sang anak yang tak tahu apa-apa? Lagipula berdasarkan asas praduga tak bersalah seharusnya mereka tahu belum ada putusan pengadilan yang mengikat papa jadi terhukum. Mengapa hukuman sosial pada anak dan keluarganya harus lebih dini dirasakannya?
Sebuah suara menyadarkan Riza dari lamunnya. "Cak Riza, kenapa bengong? Ayo kita makan siang dulu sama-sama. Ini jatah buat cak Riza." Dian menyodorkan kotak nasi padanya sambil tersenyum.
"Nanti aku ikut bayar paket wisatanya ya. Jadi tidak enak merepotkan kamu."
"Nggak usah dipikirin, Cak. Makanlah! Ini sudah lewat jam makan siang, nanti masuk angin. Setelah ini kita kembali ke Lenggoksono. Acara bebas selama 2 jam. Setelah itu, anak-anak itu akan kembali ke Malang."
Riza membuka kotak nasinya. Di dalamnya ada nasi, cap cay kering, ayam bumbu rujak, bola-bola daging, krupuk dan pisang ambon. Dilihatnya para remaja itu telah makan dengan riang dan lahap. Entah mereka tak punya duka atau tak peduli pada cerita dukanya. Yang tampak di wajah-wajah mereka hanya kebahagiaan yang membuat Riza menjadi iri dengan kebahagiaan itu.
Dian juga makan dengan lahap dan cepat. Cara makannya seperti kuli, sama sekali tak mengindahkan manner. Sesekali ia beradu pandang dan gadis mungil yang kulitnya coklat terbakar matahari itu tersenyum dengan manis memperlihatkan gigi putihnya yang berderet rapi.
"Enak, Cak." katanya sambil mengacungkan jempolnya yang masih kotor oleh bekas makanan tanpa malu atau risih.
"Kapan ke Sendang Biru?" tanyanya lagi.
"Setelah ini."
"Sudah registrasi belum?"
"Registrasi?"
"Iya, kalau mau ke pulau Sempu harus registrasi dulu. Pengunjung dibatasi, Cak. Kalau belum, nanti aku bantu registrasi lewat telepon. Aku kenal petugasnya."
"Bisa sekalian antar aku ke sana? Nanti ada bayarannya kok"
"Boleh. Aku akan ijin dulu ya, karena besok ada rombongan tour anak sekolah lagi dari Jombang. Alhamdulillah, menjelang liburan sekolah masa panen buat kami." terang Dian sambil tersenyum. Bersyukur pada keberuntungan kecil yang diperolehnya.
"Kamu mau jadi navigator aku keliling Jawa?" Entah kenapa Riza berpikir mengajak Dian sebagai teman perjalanannya. Pikirannya kacau. Mungkin ia butuh teman sebagai navigator agar tidak tersesat atau salah arah lagi.
"Berapa lama?"
"Targetnya sebulan. Aku akan bayar kamu 100 ribu perhari. Makan aku yang tanggung."
Dian tampak berpikir. Semenit kemudian ia tersenyum. "Kalau selama itu aku mesti ijin bapak dan pak lik dulu."
"Ibu?"
Wajah Dian berubah muram ketika Riza menyebut kata ibu. "Ibuku hilang. Katanya dulu kerja sebagai buruh migran di Hongkong, tapi sudah bertahun-tahun tidak pulang dan tidak kirim uang gajinya lagi. Kami kehilangan kabar tentang ibu."
"Maaf."
Dian segera mengubah wajah muramnya dengan senyum. Aih begitu cepat ia merubah ekspresi wajahnya. "Bapakku juga sekarang sudah kawin lagi. Sebenarnya aku jarang di rumah juga sih. Meskipun ibu tiriku baik, tapi sungkan aja kalau menyusahkan mereka yang hidup hanya dari bertani. Paklik Gun itu adik bungsu ibuku. Dia yang punya perahu dan usaha tour bersama pemuda desa. Selain berdagang kecil-kecilan, aku dapat pekerjaan serabutan seperti ini dari beliau. Lumayan, cukup buat menyambung hidup selama ini. Sekolahku selama ini gratis karena dapat beasiswa bidik misi." sambungnya malu-malu. Tampak semu merah menghias pipinya. Ada sedikit kebanggaan tersirat di matanya. Tampaknya Dian termasuk golongan anak yang dipaksa dewasa lebih awal oleh nasib dan kemiskinan.
Mendengar cerita Dian, Riza bersyukur dikaruniai hidup berkecukupan sampai detik ini. Ternyata kisah hidup gadis mungil itu lebih buruk daripada dirinya. Tapi dia terlihat tegar dan ceria.
"Ohya, dalam rangka apa cak Riza mau keliling Jawa?"
"Tidak dalam rangka apa-apa. Hanya ingin jalan-jalan. Kata orang banyak banyak tempat bagus yang wajib kita kunjungi di Jawa bagian Selatan."
"Katanya sih begitu. Cuma mungkin jalur ke tempat-tempat indah di selatan itu bukan jalur bus umum, jadi agak sulit dijangkau wisatawan."
Riza mengangguk membenarkan apa yang dikatakan Dian. "Kalau begitu, besok sambil jalan kita tentukan tempat-tempat yang akan kita kunjungi nantinya ya. Mudah-mudahan kamu dapat ijin menemani aku." tiba-tiba saja Riza merasa mendapat siraman air sejuk yang membangkitkan antusiasnya terhadap perjalanan mencari kuburan untuk rasa patah hati yang menyandera pikirannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 207 Episodes
Comments
Nuri Ning
aq dri jombang thor,jgn2 yg ikut rombongan tur keponakan q😃
2021-06-23
2
Yeni Cahyany
semangat Riza,,buktikan kau bs sukses
2021-06-12
2
Unknown
ceritanya seru ditunggu kelanjutannya
semangat author 🤗🤗
2021-05-03
3