Trok kotok... kotok...kotok...kotok....!!!
Suara nyaring kenalpot sebuah vespa tua terdengar memasuki halaman rumah yang tidak terlalu luas namun adem itu. Sudah hampir tiga puluh menit Paijo duduk selonjoran, menunggu di depan rumah sederhana bercat tembok coklat, yang warnanya kini sudah nampak memudar.
Kakek tua pengendara vespa tua itupun terlihat turun dari motor. Kedua tangannya terlihat kepayahan membawa dua tas belanja berukuran besar. Daun bawang dan seledri terlihat menghiasi salah satu tas belanja.
Alih-alih menyusul dan membantunya, Paijo hanya berdiri menyambut dengan muka masam.
"Mbah dari mana?"
"Aku sudah nunggu lama dari tadi."
"Salim dulu! ucap Mbah Sam, sambil menjulurkan tangannya. "Bicara yang sopan sama orang tua. Baru mbah jawab!"
Paijo mencibir, dia terlalu lelah untuk basa basi. Tapi mengingat dia akan mengantungkan hidup pada pria tua di depannya, mau tidak mau dia harus patuh.
"Maaf, Mbah sangking pundi? Kulo sampun ngentosi ket wau?" mbah dari mana? Saya sudah menunggu dari tadi. Ucap Paijo lebih sopan dan menerima uluran tangan yang minta di cium itu.
"Matamu ora weruh po! Iki abot gowo belonjo, orak mbok tulungi malah sedakep koyo patung!"
Buset... di sapa halus malah ngegas. Paijo garuk-garuk telinga.
"Hehe... bawa sini mbah, Jo bantu. Sekarang Mbah buka pintu karena Jo udah capek delapan jam naik bus. Ngomelnya nanti aja kalau Jo udah istirahat dan makan. Gimana?"
"Bocah gendeng!"
Tanpa malu sama sekali Paijo membuktikan perkataannya. Tubuhnya pegal serasa di remuk-remuk di tambah di injak-injak. Setelah memakan nasi dengan lauk seadanya, Paijo tidur terkapar di lantai di depan televisi hanya beralaskan tikar yang lusuh.
Sedangkan mbah Sam sibuk berkutat membuat adonan bakso untuk berjualan nanti sore.
"Mbah...!"
Setelah dua jam tertidur, Paijo terbangun dan menghampiri mbah Sam di dapur sedang memotong daun bawang dan seledri. Sedangkan di atas kompor yang menyala satu buah dandang jumbo mengepulkan asap pertanda rebusan bakso sedang mendidih.
"Sudah bangun?"
"Masih pusing, pegel semua rasanya. Nyium bau bakso kayak yang di tarik paksa dari mimpi. Bikin laper!"
"Makan lagi nanti kalau sudah mateng. Sekarang cerita! kamu kenapa kesini? Tidak ada hujan, badai apalagi tsunami. Kenapa kesini? bapak kamu saja entah berapa tahun sudah tidak pulang." omel mbah Sam sambil mengacungkan pisau yang di pakai untuk memotong daun bawang tadi. Paijo bahkan sampai memundurkan tubuhnya.
"Minggat mbah, apalagi?"
"Anak mbah itu yang suka marah dan keras kepala. Bikin ga betah tinggal di rumah."
Mbah Sam melirik tajam pada satu-satunya cucu yang dia miliki dari garis keturunan Burhanuddin, kepala desa kaya raya yang memiliki tanah berhektar-hektar. "Dia bapak 'mu bukan?"
"Iya... bapak durhaka yang suka memaksakan kehendak pada anaknya, sekaligus anak durhaka yang menelantarkan bapaknya. Padahal bapaknya sudah tua, bahkan masih harus berjualan bakso malang seperti ini!"
Auchhh...!
Pekik Paijo saat keningnya di sambit sebutir bawang putih oleh si mbah.
"Dengar! Burhan mungkin sama kerasnya dengan 'ku. Tapi dia nurut dan pekerja keras. Sampai berhasil seperti itu. Kamu juga sama keras kepala seperti kami. Tapi kamu nglenyer, menyun! Sak karep 'mu dewe! belum bisa membuktikan apa-apa sudah sombong. Harusnya kamu malu!"
Wejangan seperti itu sudah Paijo dengar hampir setiap hari saat di rumah. Sekarang saat dirinya sudah minggat pun bahasan masih sama.
"Burhan bagi mbah bukan anak durhaka. Walaupun dia jarang kesini. Dia dan istrinya masih sering telpon dan rajin mengirim uang." "Hanya mungkin dia sudah lelah membujuk mbah untuk tinggal bersamanya."
"Pertemuan kami bahkan sering di akhiri dengan perdebatan." Paijo melongo bego. Mungkin lebih baik diam membiarkan orang tua ini berbicara dulu, dari pada nanti keningnya di sambit lagi.
"Kamu, dia dan mbah, kita sebenarnya satu server. Keras kepala."
"Tidak salah! Tapi menurut mbah keras kepala juga sewajarnya. Memang dia nyuruh kamu apa? sampai kamu minggat kesini?"
"Masih sama seperti yang dulu-dulu, masuk kuliah akuntansi atau apapun yang penting aku mau melanjutkan pendidikan. Aku sudah bilang berkali-kali aku tidak mau! Aku tidak suka belajar, aku ingin sukses dengan jalan 'ku sendiri."
"Terakhir malah mereka menjodohkan 'ku dengan seorang gadis anak dari pemilik toko Emas Bagong. Apa itu tidak hal gila namanya? jelas 'ku tolak. Aku tidak suka di atur. Cuih...!"
Mbah Sam manggut-manggut mendengarkan curahan hati Paijo. Dia sudah paham cucu kesayangannya ini hanya ingin menemukan jati dirinya sendiri. Pantas saja dia minggat. Jiwanya sama bebasnya dengan dirinya dulu saat masih muda.
"Mbah sekarang paham arah pikiran kamu."
"Terus sekarang mbah tanya, apa yang akan kamu lakukan untuk menjadi orang sukses itu?"
"Hla... itu yang masih Jo pikirkan. Bingung mau mulai dari mana? Tapi Jo yakin seyakin-yakinnya Jo bisa sukses! Cuma nanti kalau sudah nemu jalannya."
"Nanti kapan?"
"Ya nanti---" jawab Jo tidak yakin. Dia sendiri juga belum tahu.
"Dengar dan catat di otak kamu dan garisi pakai stabilo warna hijau !"
"Nakal boleh! Bodoh Jangan!"
Paijo melongo mendengar quote yang baru saja di lempar dari mulut kakek tua ke otaknya itu.
Kenapa kalimat itu terasa menampar harga diriku!
Diam saja kamu, dengarkan Mbah pasti ada kalimat lanjutan.
"Kamu boleh nakal, mokong, berontak ga mau nurut sekolah lagi. Tapi jangan bodoh! kamu juga harus bisa membuktikan kalau kamu bisa sukses tanpa sekolah tinggi."
"Bisa kamu?!"
Huh... itu aku juga tahu Mbah. Lebih baik iya-iya aja dari pada melawan nanti malah terjadi yang tidak-tidak. Bisa-bisa itu pisau terbang.
"Iya--"
"Kurang mantap jawabnya!"
"IYA BISA!"
"Buset, mbah udah kayak motivator aja!"
"Harus! biar generasi muda ga lembek kayak kamu!"
Paijo menelan ludah, lagi-lagi jiwa mudanya ternodai di katakan lembek. Asem-asem...!
"Mbah nanti jualan masih ider pakai gerobak?"
Lebih baik alihkan pembicaraan. "Kasihan sekali mbah, padahal anak mbah di sana duduk manis gaji besar."
"Sori ya! sekarang warung bakso mbah, bahkan sudah bisa di pesan lewat aplikasi. Mbah nakal tapi mbah tidak bodoh!"
Paijo berdecak kagum, benar juga orang setua ini bahkan usianya sudah limited edition. Sisa beberapa orang saja dari kaum sebayanya. Masih bisa melek teknologi. Marvelous!
"Sombongnya..."
"Hahaha... nanti sore ikut mbah ke warung. Sekarang mbah buka warung di pusat kota. Kamu lihat sendiri betapa sukses mbah kamu ini!"
"Hmmm... kita buktikan nanti. Kalau sukses kenapa rumah ini nampak seusia mbah!?"
Pletak!
Sebutir bawang putih berhasil menyerempet mulut Paijo.
Diam 'ku bilang! batin saja Jo Paijo!
****
Sore hari menjelang Maghrib, tidak mau mendapatkan kekerasan berikutnya. Paijo membonceng sang kakek menuju warung miliknya. Suasana kota Malang yang dingin-dingin adem memang paling cocok makan yang hangat-hangat.
Vespa tua itu berhenti di sebuah warung bakso bercat dinding hijau segar. Di atas pintu masuk terpampang besar papan bertuliskan 'Bakso Malang Cak Sam'. Paijo bersiul memuji kakeknya itu. Benar saja, walaupun warung terlihat sederhana. Baru buka dan beberapa menit duduk. Pembeli sudah mengantri berdatangan. Bahkan ojol-ojol berjaket hijau sudah ikut antri di sana.
Memiliki lima orang karyawan yang membantu di warung, tidak membuat mbah Sam berleha-leha di rumah. Dia ingin bakso Malang itu berdasarkan hasil masakannya sendiri. Sehingga setelah bakso siap, mereka baru datang untuk mengangkut ke warung.
"Kamu kenapa malah melongo?"
"Hah--?"
"Bantu mbah di kasir! atau mau bantu Solikin sana di belakang. Cuci mangkuk!"
Paijo menggeleng, "Lebih baik bantu menghitung uang dari pada cuci mangkuk! bisa-bisa mangkuk mbah habis karena pecah!"
"Iya memang, dasar kamu manja!"
"Iyalah ibu tiri 'ku tidak akan membiarkan anak tirinya ini menyentuh piring kotor. Jadi mbah yang mbah kandung. Baik-baiklah sama cucu sendiri." ucap Paijo terkekeh.
"Baik dengkul 'mu! disini tidak ada yang gratis. Mbah anggap kamu numpang, sebagai ganti kamu bantu mbah di warung sambil kamu nunggu jadi orang sukses!"
"Yaelah mbah, kalau jadi pelayan warung bakso gini mana bisa sukses? jadi tukang bakso--" Belum selesai kalimat Paijo sudah di potong.
"Bisa saja, kenapa tidak? Tukang bubur aja bisa naik haji. Masa iya tukang bakso tidak bisa sukses! kecil!"
"Kamu dengarkan Mbah! Kesuksesan itu tidak hanya di lihat seberapa banyak uang kita, atau seberapa kaya kita. Kita harus melihat dari kaca mata yang berbeda. Suatu saat nanti kamu pasti paham!" mbah Sam tersenyum penuh arti.
Sepertinya mbah lebih cocok jadi seorang motivator daripada tukang bakso. Lumayan siapa tahu bisa menggantikan Mario teduh.
Kali ini Paijo hanya membatin, jika di jawab seperti isi hatinya. Bisa-bisa mulutnya di sumpel pakai uang kertas.
"Mbah ga ada kalkulator?"
"Buat apa?" jawab mbah Sam dengan tatapan menghina.
"Ga takut salah ngitung?"
"Jangan bodoh, mbah ga butuh kalau hanya buat ngitung uang, apalagi uang kembalian!"
"Sombongnya..."
Mereka berdua kakek dan cucu terlihat kembali sibuk melayani pembayaran di kasir. Sesekali mereka terlihat tertawa bersama. Hilir mudik pembeli berdatangan dan keluar dengan perut kenyang dan senyuman mengembang.
Laris manis tanjung kimpul, bakso malang Cak Sam. Top markotop!!!
.
.
.
.
.
💚💚💚💚
like, komen, favorit,😘😘😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
zeus
Paijo ini modelnya ga Ada akhlak Sama orang yg lbh tua
Sama bapaknya gitu, Sama mbahnya juga gitu ga Ada sopannya
2025-01-27
0
Gechabella
owalahh jo, minggat kok gone mbahmu...kwi jeneng liburan🤣🤣🤣
2023-02-14
1
cakrawala haramain 🌹
baca novel ini sangat menghibur 🤣🤣🤣
tapi syg belum bnyak yg nemuin ini novel kayaknya
2022-09-29
1