Sesuatu yang Tidak Masuk Akal

Ella bercakap-cakap dengan pasangan dansa-nya, masih belum sadar bahwa lelaki itu adalah John.

“Maukah kau ikut ke taman bersamaku?” tanya John, membuat Ella mengernyit.

“Kenapa tidak bicara di sini saja?” tanya Ella, seakan mengerti maksud John mengajaknya ke sana.

“Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu, yang pastinya akan membuatmu terkesan,” ucap John dengan senyum misterius.

Sejenak, Ella berpikir bahwa itu merupakan tawaran yang berbahaya. Namun, John yang menggenggam erat tangan Ella seolah-olah tidak meninggalkan pilihan lain baginya. Akhirnya, Ella hanya bisa pasrah dan menurut.

Sementara itu, Leon dan Adreanna masih terjebak dalam kecanggungan yang mengiringi dansa mereka. Hingga pada akhirnya, Adreanna melepaskan tangan Leon dan sedikit menjauh darinya, membuat Leon menatapnya bingung.

“Aku mau istirahat. Kita lanjutkan dansanya nanti saja,” ucap Adreanna, hendak berjalan menjauh dari kerumunan.

“Bukankah itu sahabatmu?” tanya Leon, membuat Adreanna menghentikan langkahnya. Gadis itu berbalik untuk melihat siapa yang Leon maksud.

Leon menoleh ke seorang gadis bergaun cokelat keemasan, yang menuju taman bersama lelaki berjas hitam dengan sulaman perak.

"Iya, itu memang Ella," sahut Adreanna, melirik Leon sembari mengernyitkan keningnya. Ia curiga Leon tidak bertanya begitu karena ia tidak tahu, melainkan karena alasan lainnya.

“T-tunggu, kau mau ke mana?! Jangan ikuti mereka! Mereka mungkin butuh ... privasi!” ujar Adreanna, mencegah Leon berjalan menjauh darinya.

Leon menatap Adreanna sejenak sebelum akhirnya, ia mengabaikannya dan berjalan ke arah taman. Daripada terus gelisah memikirkan apa yang direncanakan Leon, gadis itu akhirnya memutuskan untuk mengikuti Leon.

Lelaki berjas biru tua itu sampai di taman belakang sekolah. Sangat sunyi dan terasa dingin. Ia pun berjalan cepat sambil mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan dua sosok itu.

Kemudian, langkahnya terhenti begitu ia melihat seorang lelaki berjas hitam sedang duduk di bangku taman, menyangga kepala seorang gadis bergaun cokelat. Gadis itu tampak tidak sadarkan diri, membuat Leon melesat ke arah mereka berdua. Ia yakin sepenuhnya bahwa lelaki itu adalah John dan gadis itu adalah Ella.

Saat John mendekatkan wajahnya ke wajah Ella, bogem mentah mendarat di pipi kanannya. John tersungkur di rumput dengan pipi kanannya yang lebam.

“Jangan pernah melukai orang tidak bersalah!” desis Leon, terus berjalan maju ke hadapan John, yang sedang berusaha berdiri.

“Melukainya? Aku bahkan sudah membuatnya tertidur!” sanggah John, tak terima.

“Persetan! Aku tahu maksudmu!” geram Leon.

John mengarahkan kepalan tangannya pada Leon. Namun, Leon berhasil menahan tangan John dalam sekejap. Ia bahkan menjatuhkan John dan mengunci gerakannya.

“Sebaiknya perhatikan di mana kau menyerang seseorang, bodoh,” ucap John sambil terkekeh sinis, membuat Leon mendongakkan kepalanya.

Ia tersentak melihat Adreanna yang terduduk di rumput, menyangga Ella yang ikut terjatuh dari atas bangku taman. Karena lengah, Leon tumbang saat John menyerangnya balik.

“John, hentikan ... !” seru Adreanna dengan getir, syok melihat dua lelaki itu berkelahi. Ia lalu menatap Ella yang tak kunjung sadarkan diri.

“Hah ... hah ... dasar kau ... !” desis Leon emosi, menatap tajam John.

Ia kemudian menoleh ke Adreanna, yang juga menoleh ke arahnya, seolah-olah terpanggil untuk menatap mata lelaki itu. Sepasang iris mata Leon bercahaya biru tua, membuat Adreanna seketika jatuh tak sadarkan diri di samping Ella.

John menatap Leon tak percaya.

“Kau gila! Apa kau ingin ada yang melaporkanmu, hah?!” desis John sembari mengarahkan tendangannya ke Leon.

Leon menangkisnya sambil menyahut, “Memangnya aku terlihat peduli?!”

Perkelahian mereka berlangsung cukup lama, tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya karena kondisi taman yang minim cahaya dan semua orang sedang sibuk berpesta.

Saat situasi taman telah kembali hening, Adreanna perlahan membuka matanya. Gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali untuk mengumpulkan kesadarannya. Langit malam berhiaskan bintang-bintang menyambutnya. Dalam hati, ia bertanya-tanya tentang bagaimana bisa ia tertidur di sana.

Langkah seseorang dari belakang membuatnya lekas duduk. Ia tercengang melihat Leon berjalan menuju hadapannya.

“Leon? Kenapa aku ada di sini?” tanya Adreanna, menganggap Leon telah berada di sana cukup lama sebelum ia ‘tertidur’.

“Oh, tadi kamu memintaku untuk mengantarmu ke sini. Tapi kamu malah ketiduran di atas rumput saat kamu sedang duduk-duduk di atasnya,” jawab Leon sembari tersenyum menahan tawa, membuat Adreanna menunduk dengan wajah semerah tomat.

Leon mengulurkan tangannya dan langsung diraih oleh Adreanna. Lelaki itu bermaksud memastikan Adreanna tidak akan jatuh saat mencoba untuk berdiri.

“Ah, ya ampun. Gaunku jadi sedikit kotor. Ngomong-ngomong, taman ini sepi sekali. Masa hanya ada kita berdua di sini?” tanya Adreanna, melihat tidak ada siapa pun di sekitarnya selain mereka berdua. Ia tidak tahu bahwa John telah pergi, sementara Ella telah dipindahkan ke tempat yang lebih aman oleh Leon.

“Begitulah,” jawab Leon dengan acuh tak acuh. Berikutnya, ia menyadari Adreanna memandang wajahnya lekat-lekat. Sekilas, lelaki itu merasa gugup.

“Sudut bibirmu berdarah .... Habis berkelahi, ya?” tanya Adreanna blak-blakan, membuat Leon segera menggeleng dan tersenyum tipis. Ia merutuki dirinya yang lupa membersihkan noda darah di bibirnya sebelum menghampiri gadis itu.

Saat Leon hendak menghapus noda darah itu dengan punggung tangannya, tiba-tiba Adreanna menyeka sudut bibirnya menggunakan sapu tangan berwarna abu-abu. Leon membeku, menatap tak berkedip Adreanna.

“... Paling tidak gunakan lengan bajumu, bodoh. Orang-orang bisa ketakutan nantinya jika melihat darah di tanganmu,” cibir Adreanna. "Nih, lanjutkan sendiri," imbuhnya, menyodorkan sapu tangan itu pada Leon.

Leon bergeming sejenak, melihat Adreanna yang memalingkan wajahnya. Semburat merah muncul di pipi gadis itu. Tatapan Leon melunak dan senyum kecil terukir di bibirnya.

“Baiklah,” ucap Leon, mengambil sapu tangan itu sebelum akhirnya, ia berbalik pergi. Sambil mengelap darah yang tersisa di sudut bibirnya, ia mengingat wajah merona Adreanna, yang anehnya mampu membuatnya merasa hangat di tengah dinginnya malam.

Adreanna menatap kepergian Leon dengan curiga. Ia ingat betul bahwa terakhir kali, ia sedang berdansa bersama Leon di aula. Lalu, Leon mengajaknya ke taman? Ia tidak yakin dengan itu.

Namun, karena dirinya baik-baik saja kini, Adreanna memutuskan untuk melupakannya. Ia pun bergegas pulang karena saat ia kembali ke aula, pesta telah berakhir.

Tidurku cukup lama, ya, batinnya sambil meringis, melihat beberapa siswa yang telah berganti pakaian, kini berjalan ke arah gerbang sekolah sepertinya.

...***...

Hari berlanjut seperti biasanya. Begitu pula kehidupan Adreanna. Ia kini sedang membaca buku di balkon sambil menghirup udara segar.

Kemudian, ponselnya bergetar. Tanpa meletakkan bukunya, ia mengambil ponselnya dan menjawab panggilan tersebut.

“Halo?”

Adreanna menjeda kegiatan membacanya dan memfokuskan dirinya pada sang penelpon.

“Hai, Adreanna. Sudah lama, ya?”

Jantung Adreanna seakan-akan baru saja berhenti berdetak. Dirinya membeku, matanya pun tak berkedip mendengar suara berat penelpon itu.

“Eh? Kok diam saja? Apa kau di sana? Atau ....”

Gadis itu menelan ludah dengan susah payah, mendengar orang di seberang sana menggantung ucapannya.

“... Kau hanya berpura-pura tidak ada di sana?”

“Drion, ada apa?” tanya Adreanna dingin.

“Wah, akhirnya .... Begitu dong. Jika aku tanya, jawab yang benar, manis.”

“Sudahlah. Apa tujuanmu menelponku?”

Lelaki berambut pirang di seberang sana menyeringai. Nama 'Drion' tersemat di luaran rajut seragam bernuansa gelapnya.

“Aku hanya ingin memberimu peringatan, Adreanna,” balas Drion sembari berjalan menuju balkon utama rumahnya yang megah.

“Jangan banyak basa-basi. Aku harus segera tidur,” sahut Adreanna dari balik telpon, membuat Drion terkekeh kecil.

“Senja baru saja tiba, dan kau sepertinya sudah sangat kelelahan. Kau ingin tidur? Baiklah. Semoga setelah aku memperingatkanmu, kau masih bisa tidur nyenyak," ujar Drion, seketika ekspresinya berubah serius.

“Hei, aku sudah tahu kau kini tinggal di mana, bahkan aku tahu kau bergaul dengan siapa saja. Jadi sebaiknya, kau tidak usah menyembunyikannya lagi dariku. Di mana kertas mantra itu?” tanya Drion dingin. Sempat ada keheningan sejenak dari sana.

“... Aku tidak akan memberitahumu, apalagi lewat telpon. Ah, seharusnya kuputus saja sambungannya tadi,” jawab Adreanna tak acuh, membuat Drion menggeram marah.

“Dengar, gadis kurang ajar! Kau punya dua pilihan jika kau terus saja membuatku kesal begini! Satu—”

“Tidak, tidak, tidak. Aku tidak tertarik dengan apa pun pilihan yang kau tawarkan, lelaki aneh.”

Drion mengeraskan rahangnya dan mengepalkan tangannya kuat. Ia menatap tajam vas bunga di nakasnya. Vas bunga itu seketika pecah, menimbulkan suara nyaring yang terdengar sampai ke ponsel Adreanna.

“Kau akan tertarik suatu saat nanti, Adreanna. Akan kudapatkan mantra itu bagaimana pun caranya, bahkan jika 'mereka' menghalangiku!” geram Drion.

Ia lalu mengakhiri panggilannya dan melempar ponselnya ke atas tempat tidurnya dengan kesal.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!