Berdansalah denganku

Tiga hari sebelum pesta, Adreanna pergi menemani Ella ke sebuah butik gaun, yang telah menjadi tempat langganan Ella sejak kecil.

“Kenapa harus ke sana?” tanya Adreanna di mobil.

“Gaunnya berkualitas tinggi! Variasinya pun banyak. Kau tahu? Di setiap sudut butik itu, ada tema yang berbeda-beda. Di sanalah kita bisa memilih sepuasnya!” ujar Ella dengan berapi-api.

“Dan kudengar, desain abad ke-19 ada di sana! Jadi kita tidak perlu ke butik lain!” kata Ella menambahkan, membuat Adreanna tertawa pelan karena sahabatnya begitu antusias.

Sesampainya mereka di butik tersebut, Ella disambut sopan oleh seluruh pelayan, dan bahkan pemilik butik tersebut. Adreanna terkagum-kagum melihat butik yang sangat luas itu.

“Selamat datang, Nona Ella. Akhirnya Anda membawa seorang teman,” kata sang pemilik butik yang berdandan elegan.

“Tentu saja, Bibi Riene!” sahut Ella sambil tersenyum lebar. “Kami ingin melihat-lihat gaun pesta bernuansa abad ke-19,” lanjut Ella.

Riene mengangguk. “Mari ikut saya, nona-nona sekalian,” kata Riene sambil tersenyum hangat.

Ia lalu menggiring dua gadis itu menuju ke deretan gaun tebal di salah satu sudut ruangan. Tatapan mereka berbinar melihat bermacam-macam gaun yang terlihat begitu elegan dan klasik. Setelah itu, Riene undur diri dari hadapan mereka karena mendapati pengunjung lainnya.

“Ren, coba lihat yang satu ini! Pasti akan terlihat sangat cocok denganmu!” ujar Ella, sembari menyodorkan sebuah gaun berwarna kuning dengan belahan dada rendah pada Adreanna. Gaun itu tidak berbeda jauh dengan gaun yang dikenakan Si Cantik dalam film Si Cantik dan Si Buruk Rupa.

“Sepertinya gaun ini terlalu terbuka,” gumam Adreanna sambil mengamati gaun kuning tersebut.

Ella memutar bola matanya dan berkata, “Ini akan membuatmu tampil lebih memesona, tahu!”

Adreanna, yang sedang melihat-lihat gaun lainnya, akhirnya berhenti dan menatap datar Ella.

“Jika aku tidak senang saat memakainya, maka aku tetap tidak akan tampil memesona,” sahut Adreanna sambil kembali memilah-milah gaun di sana.

Ella akhirnya menghela napas dan manggut-manggut. Harapannya untuk mendandani Adreanna pupus seketika.

Sementara itu, di sebuah pusat perbelanjaan lainnya, seorang lelaki baru saja keluar dari kamar pas dengan setelan jas hitam yang terlihat klasik.

“Lebih bagus yang tadi atau yang ini, ya?” gumamnya sambil berbalik dan menatap pantulan dirinya di cermin.

“Menurut saya, lebih bagus yang itu, Tuan Muda. Itu adalah desain ekslusif dari brand kami yang sangat sesuai dengan Anda,” ucap seorang wanita yang merupakan pemilik butik tersebut. Lelaki itu hanya berdehem mengiyakan.

"Untuk apa repot-repot memilih pakaian bagus jika pada akhirnya, kau tidak akan berdansa dengan seorang gadis?"

Lelaki yang sedang menghadap cermin itu mengernyit kesal melihat lelaki lain melintas di bayangan cermin.

“Apa yang kau lakukan di sini? Ini, ‘kan, kawasan pusat perbelanjaan milik ayahku,” ujar John ketus. Ya, dia adalah lelaki yang sedari tadi sibuk bercermin.

“Ayahmu juga tidak akan menolak uangku jika aku beli pakaian di sini,” sahut Leon dengan santainya. “Aku bosan berbelanja di pusat perbelanjaan ibuku sendiri,” sambung Leon sembari menyunggingkan senyum arogan.

Sang pemilik butik hendak menahan John menghampiri Leon, tapi John menatap sang pemilik butik agar tidak ikut campur. Leon pun hanya menatapnya santai.

“Setelan itu membuatmu terlihat seperti kakek-kakek abad ke-19,” ejek Leon.

"Ha! Kau sendiri terlihat seperti pria bertopeng yang suka melakukan aksi kriminal di film-film!" sahut John ketus.

“Setidaknya aku punya peran. Kau? Hanya jadi figuran di blur area,” timpal Leon.

“... Masalahmu apa, sih? Kenapa setiap hari, hidupku yang damai harus terusik dengan keberadaan makhluk sepertimu?” gerutu John.

“Apakah ada cermin besar di sini?! Besaaar sekali! Lebih besar dari yang ada di kamar pas!” pinta Leon dengan lantang.

“Aduh, pergi kau!" seru John marah.

Hingga pada akhirnya, perdebatan mereka harus berakhir ketika dua orang petugas keamanan yang dipanggil pemilik butik datang, untuk menertibkan situasi damai yang hancur akibat dua lelaki itu.

Di waktu yang bersamaan, Adreanna dan Ella baru saja selesai membeli gaun, topeng, serta beberapa aksesoris lainnya. Mereka juga membeli sepatu pesta yang serasi dengan gaun mereka.

“Ren, gaunmu klasik sekali! Tapi, yah, seleramu boleh juga. Kau terlihat sangat elegan saat mencobanya tadi!" puji Ella, mengingat gaun yang Adreanna pilih memiliki renda yang rumit.

“Hm, ya, begitulah," sahut Adreanna acuh. "Ngomong-ngomong, aku harus segera pulang untuk membersihkan rumah,” lanjutnya.

“Kau ini rajinnya bukan mai—”

“Akhirnya kau menyadarinya.”

“Jangan potong ucapanku dulu. Kau yakin tidak ingin kucarikan pembantu? Aku tahu beberapa orang yang bisa dipercaya dan tidak akan berkoar yang aneh-aneh soal rumahmu,” kata Ella.

Adreanna menatap bingung Ella. "Memangnya ada apa dengan rumahku?” tanyanya.

“Um ... barangkali mereka akan menyebarkan rumor yang tidak benar pada masyarakat. Itu berbahaya. Toh sebenarnya, kau juga tidak kenapa-kenapa di sana, ‘kan?” tanya Ella, langsung mendapat anggukan dari Adreanna.

“Tidak, terima kasih, Ella. Aku masih bisa membersihkan rumahku sendiri,” ucap Adreanna. Ia pun pergi.

Ella menghela napas kecil melihat sahabatnya yang berusaha untuk terlihat tegar itu.

...***...

Dua hari telah berlalu. Waktunya pesta dansa topeng pun tiba.

Pukul delapan malam, Adreanna tiba di sekolah. Rambut cokelatnya digulung bak putri kerajaan. Gaun berwarna zamrud yang dikenakannya tampak kontras dengan kulit putihnya. Sama halnya dengan topeng, sepatu, beserta aksesorisnya yang berwarna hijau senada.

Saat berjalan di lorong menuju aula, ia melihat banyak orang yang berjalan bersama pasangannya. Sempat terlintas di pikirannya tentang ajakan dansa dari John dan Leon. Namun, ia segera mengalihkannya dengan pikiran lain.

Ketika memasuki aula besar, Adreanna nyaris mengira bahwa ia terlempar ke abad ke-19 yang sesungguhnya.

Bagaimana tidak? Bukan hanya seluruh hadirin yang tampak seperti para putri dan pangeran dari negeri dongeng, tapi aula sekolah itu pun telah disulap menjadi layaknya aula istana kerajaan. Alhasil, gadis itu berdecak kagum, merasakan nuansa klasik yang begitu nyata.

"Reanna!"

Adreanna menoleh ketika Ella memanggilnya. Gadis itu terlihat menawan berkat rambutnya yang terurai dan topengnya yang terlihat serasi dengan gaun cokelat keemasannya.

"Bagaimana bisa kau mengenaliku?" tanya Adreanna, terheran-heran.

Ella yang berdiri di sampingnya tersenyum lebar. "Aku, 'kan, sahabatmu. Auramu itu sudah sangat familier di mataku, sekalipun dari jauh," jawab Ella, merangkul sahabatnya.

Saat semuanya sudah berkumpul, Bu Levinna, yang merupakan salah satu panitia, berdiri di belakang podium sambil berseru meminta perhatian seluruh murid.

“Semuanya, mohon perhatiannya sebentar. Pesta ini akan berakhir pada pukul dua belas malam. Kalian bisa langsung berganti pakaian dan langsung pulang setelah pesta berakhir," ujar Bu Levinna sembari memandang para hadirin pesta.

"Sekarang, selamat menikmati pestanya! Kami juga telah menyuguhkan minuman dan potongan kue yang sesuai dengan jumlah kalian,” lanjutnya dengan senyum hangat, disambut riuh gembira yang menggema dan tepukan tangan meriah oleh para murid kelas dua belas.

Pesta dimulai. Tidak ada musik modern, hanya ada instrumen musik klasik yang dimainkan oleh kelompok orkestra sekolah. Meski begitu, semua murid tampak menikmati pestanya.

Adreanna dan Ella sedang memegang segelas sirup raspberry di dekat bufet sambil bercakap-cakap.

“Lihat, deh, mereka! Sepertinya mereka anak kelas unggulan yang terkenal dengan paras rupawan mereka!” bisik Ella pada sahabatnya, pun menoleh ke arah empat lelaki yang sedang bergurau tak jauh dari mereka.

Adreanna menyipitkan matanya, berusaha mengenali empat lelaki itu, meski hasilnya nihil karena lekuk wajah mereka tersembunyi dengan baik di balik topeng.

“Yah, sepertinya,” sahut Reanna dengan acuh tak acuh.

Ella mendengus. “Kau yakin tidak mau mendekati mereka?” tanya Ella, memancing reaksi Adreanna.

“Kalau kau sebegitu inginnya mendekati mereka, jangan jadikan aku sebagai umpan, ya. Aku tidak suka berada di kerumunan laki-laki," jawab Adreanna sebelum meneguk minumannya.

Ella tersentak. Dengan sedikit gelagapan, ia pun menyahut, "S-siapa juga yang ingin menjadikanmu sebagai umpan?! Aku hanya bertanya, kok!"

Mereka sibuk mengamati suasana pesta, hingga seorang lelaki bertopeng tiba-tiba menghampiri Ella.

“Hai, mau berdansa denganku? Acara dansanya akan segera dimulai,” ucap lelaki itu ramah, membuat Ella tercengang.

“Wah ... Reanna, aku duluan, ya! Semoga kau segera menemukan pasangan dansa-mu!” ujar Ella, tertawa riang, membuat Adreanna menggeleng-gelengkan kepalanya sembari terkekeh geli. Gadis itu pun melambai kecil pada Ella, yang ditarik lelaki tersebut menjauh darinya.

Musik klasik mengalun lembut. Semua orang berdansa dengan lawan jenisnya, diselingi percakapan ringan. Meskipun begitu, Adreanna tetap tidak tertarik untuk berdansa. Salah satu faktornya, yaitu karena ia tidak memiliki pasangan dansa. Ia ingin keluar dari aula itu sekarang juga.

Namun, kemudian, tangannya ditarik oleh seseorang dari belakang. Tubuhnya pun tertarik dan menabrak orang tersebut. Rupanya, sang penarik adalah seorang lelaki berjas biru tua. Posisi mereka berdua kini seperti pasangan yang hendak berdansa.

“... Siapa?” tanya Adreanna sedikit kesal karena orang itu tidak berkata apa-apa setelah menarik tangannya. Namun, melihat tatapan dingin di balik topeng biru tua itu, Adreanna seketika membelalakkan matanya.

"Leon!" pekik Adreanna spontan.

“Sstt!” desis Leon cepat sambil meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya. Ia mengajak Adreanna ke lantai dansa, melingkarkan lengannya di pinggang gadis itu.

“E-eh?!” kaget Adreanna saat Leon menepis jarak di antara mereka berdua dengan cepat.

“A-aku tidak bisa berdansa!” bisik Adreanna gelagapan sembari memalingkan wajahnya yang memerah. Jantungnya berdebar-debar.

“Ikuti saja gerakanku,” ucap Leon lirih. Lalu, lelaki itu mulai melangkahkan kakinya ke samping, diikuti Adreanna dengan ragu-ragu. Gadis itu menunduk sekilas, memastikan kakinya tidak akan menginjak kaki pasangan dansa-nya.

Saat Adreanna mendongak, tatapannya bertemu dengan sepasang mata Leon, yang sedang melihat ke arah lain dengan serius.

“Um ... ada apa?” tanya Adreanna, ikut menoleh. Tatapannya seketika terkunci pada pasangan dansa yang sedang berdansa tak jauh darinya. Yang perempuan adalah Ella, sedangkan yang laki-laki belum dikenalinya. Lelaki itu mengenakan topeng berwarna hitam, sewarna dengan setelan jasnya.

“Dia John, ‘kan?” tanya Leon, membuat Adreanna menatapnya heran.

“Mana kutahu? Tapi kalau benar, memangnya kenapa?” tanya Adreanna balik sambil meluruskan kepalanya, menatap Leon yang juga tengah menatapnya.

“Tidak apa-apa,” jawab Leon datar, membuat Adreanna semakin bingung.

Keduanya melanjutkan dansa mereka, hingga Adreanna berhasil menguasai gerakan dansanya. Leon diam-diam tersenyum puas melihat gadis itu yang cepat belajar.

“Bagaimana rasanya?” tanya Leon.

“Soal apa?” sahut Adreanna, menaikkan satu alisnya.

“Menjadi pasangan dansa-ku,” ucap Leon.

Adreanna menundukkan pandangannya. Mendadak, ia merasa malu untuk mengatakan bahwa ia nyaman berdansa dengan Leon. Karena itu, ia memutuskan untuk diam saja.

“Reanna,” panggil Leon pelan.

“Ya?” balas Adreanna spontan sambil mendongak dan menatap Leon.

"Kau benar-benar masih menyukaiku?"

Pertanyaan Leon berhasil membuat Adreanna terdiam. Perlahan, ketenangannya lenyap dari dirinya, bergantikan perasaan gelisah.

“Kenapa kau tanya begitu?” tanya Adreanna, berusaha untuk menyembunyikan kegelisahannya.

“Aku hanya penasaran, kok,” jawab Leon santai.

Adreanna terdiam untuk yang kedua kalinya. Dansa mereka menjadi canggung seketika.

Memang, Leon sedikit kesal dengan respon Adreanna, yang membuatnya semakin penasaran. Namun, ia pun tidak bisa memaksa Adreanna untuk menjawabnya segera. Ia tahu bahwa gadis itu sedang merangkai kata-kata yang tepat di otaknya.

Sementara itu, Adreanna—sesuai dugaan Leon—sedang memikirkan apakah ia harus menjawab 'ya' atau 'tidak'.

Sejak SMP, ia dan Leon memang bersahabat. Namun, jika sudah menyangkut perasaan, Adreanna khawatir jawaban 'tidak' akan membuat lelaki itu tersinggung.

Ia tidak bisa fokus memikirkan jawabannya karena terlalu fokus berdansa dengan Leon. Sedetik ia merasa nyaman, di detik berikutnya ia akan terheran-heran mengapa ia merasa nyaman. Terlebih, aroma parfum di tubuh Leon berhasil memusatkan otak dan hati Adreanna padanya.

Terpopuler

Comments

Innaz

Innaz

unik sekali ceritanya, menarik

2021-06-29

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!