Pasangan Pesta Dansa Topeng

Akhir pekan yang sangat diharapkan semua orang di sekolahnya takkan pernah berakhir, akhirnya berakhir juga. Dengan segala rumus dan tulisan-tulisan yang telah bersarang di otak, Adreanna dan teman-temannya mengerjakan setiap soal ujian dengan sungguh-sungguh.

Begitu ujian hari pertama berakhir, para peserta ujian saling bercerita tentang bagaimana perasaan mereka saat ujian. Tegang, cemas, gugup, itulah kata-kata yang menggaung di sepanjang koridor.

“Hei, Reanna!”

Gadis bersurai cokelat itu menoleh ke John, yang mempercepat langkahnya demi dapat berjalan sampingnya.

“Bagaimana hari pertama ujiannya?” tanya John dengan cengiran khasnya.

“Yah, tidak buruk,” jawab Adreanna datar, mengundang kekehan dari John.

“Seperti biasa, kamu selalu tidak peduli dengan apa pun. Kamu pun tidak peduli dengan siapa yang berada di sampingmu. Tetapi, itulah yang membuatku nyaman berada di dekatmu, Reanna,” ujar John dengan senyum hangat.

Lelaki itu menghentikan langkahnya dan menoleh ke Adreanna, membuat gadis itu ikut berhenti. Keduanya bertatapan sejenak.

“Em … oke?” jawab Adreanna, sedikit bingung, tapi akhirnya, ia kembali berjalan.

Bagi sebagian orang, John mungkin akan terlihat seperti tipe lelaki yang gemar merayu perempuan. Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya, John memang selalu spontan bersikap lembut pada setiap perempuan, khususnya Adreanna.

“Kamu tahu? Beberapa hari yang lalu, kedua orangtuaku ikut rapat wali murid dengan kepala sekolah. Mereka pun mengusulkan supaya diselenggarakan pesta dansa topeng sebelum pengumuman kelulusan. Keren, ‘kan?” tutur John panjang lebar.

“Benarkah?” sahut Adreanna dengan tatapan antusias. “Itu pasti keren, tapi hanya untuk kalian,” lanjutnya, sambil mengembalikan ekspresi datarnya.

John mendengus kecil melihat betapa cepatnya perubahan ekspresi Adreanna.

“Kenapa kamu bilang begitu?” tanya John, mengangkat setengah alisnya.

Adreanna menatap sebal John dan menjawab, “Yah ... karena pesta dansa topeng, ‘kan, berpasangan? Kalau tidak membawa pasangan, bukan pesta dansa namanya.”

John tertawa renyah melihat Adreanna yang menekuk alisnya. Ia pun berkata, “Jangan kesal begitu. Kamu bisa jadi partner-ku nanti.”

Tiba-tiba Leon menabrak bahu John, membuat John mengaduh kecil. Emosinya meningkat begitu melihat Leon pergi begitu saja.

“Apa-apaan, sih, kau?” desis John kesal, gaya bicaranya yang lembut berubah ketus seketika.

Leon berhenti dan berbalik menghadap John.

“Heh, kau yang apa-apaan? Memangnya ayahku sudah menyetujuinya?” tanya Leon tajam. Adreanna, yang berdiri di sebelah John, merasakan hawa tidak enak di sampingnya.

“Tentu saja! Kalau belum, aku tadi tidak akan berkata begi—tunggu! Kau menguping percakapanku dengan Reanna?” tanya John, melotot tidak terima.

“Kau yang bicaranya terlalu keras, bodoh,” sangkal Leon, menyeringai, membuat John mematung dan menahan emosinya. Akhirnya, ia hanya bisa mendecih pelan.

“Terserah,” ucap John acuh, berusaha menjaga image dirinya.

“Ngomong-ngomong, Reanna, aku pergi du—eh?”

Tidak hanya John, Leon pun bingung karena tidak melihat Adreanna di samping John.

“Ini semua gara-gara kau! Aku hanya ingin mengajaknya menjadi partner dansa-ku!” tukas John sambil menatap tajam Leon, seolah-olah Leon adalah orang paling dibencinya di muka bumi ini.

“Bukannya tidak wajar, ya, kalau anak kelas lain bersikeras ingin menjadi partner dansa-nya, padahal sudah ada teman sekelasnya yang ingin menjadi pasangannya?” sanggah Leon, mendengus sinis.

“Bicara soal batas wajar, kau sendiri sembarangan menginterupsi percakapan orang! Memangnya itu wajar?!” kesal John.

Mereka terus saja beradu mulut hingga beberapa detik kemudian, mereka saling menghindar dan pergi.

...***...

Pada hari terakhir ujian, sebelum pulang ke rumah masing-masing, para murid kelas dua belas diminta berkumpul di aula sekolah. Saat ini Adreanna berdiri di samping Ella, di antara sekian banyaknya murid.

“Terima kasih karena sudah menyisakan sedikit waktu kalian untuk berkumpul di sini. Saya, selaku kepala sekolah, akan menyampaikan pengumuman terkait agenda berikutnya sebelum kalian menerima hasil ujian dan ijazah,” ujar sang kepala sekolah yang berdiri di depan mimbar, Pak Threonne.

“Pihak sekolah sepakat akan mengadakan pesta dansa topeng bertema kerajaan abad ke-19. Acara ini akan diselenggarakan seminggu lagi sehingga kalian bisa bersiap-siap. Dan sesuai namanya, kalian diwajibkan mengenakan topeng, tanpa perkecualian. Semoga hari kalian menyenangkan. Sekian, terima kasih.”

Suara tepuk tangan meriah menggema di aula megah tersebut. Terlihat jelas sambutan suka cita dari seluruh murid kelas dua belas.

Setelah pengumuman selesai, Adreanna keluar bersama Ella, begitu pula dengan murid-murid lainnya. Tapi tiba-tiba, Adreanna menghentikan langkahnya karena mendengar suara langkah yang tak asing baginya.

“Kenapa, Ren?” tanya Ella heran. Sedetik kemudian, matanya membulat melihat Leon dan John berjalan menuju mereka secara beriringan.

Ia nyaris menjerit histeris jika tidak cepat-cepat membungkam mulutnya sendiri. Bayangkan saja, dua siswa populer di sekolah sedang berjalan dengan santainya ke arah mereka.

Leon menatap serius Adreanna. Sambil menunjuk John, ia berkata pada Adreanna, “Kau tidak akan menjadi pasangan dansa-nya, ‘kan? Jadi pasanganku saja.”

Sontak Ella, Adreanna, dan John membelalak mendengarnya.

“Leon, aku mau pulang. Ada apa, sih, dengan kalian berdua? Sejak hari itu, kalian terus-menerus membahas pasangan dansa,” gerutu Adreanna sembari berjalan menjauh. Ella menoleh sejenak ke dua lelaki itu sebelum akhirnya, ia berlari kecil menyusul Adreanna.

Adreanna terkejut karena Leon tiba-tiba menarik tangannya. Ia menoleh dengan tatapan tajam pada Leon, yang menatapnya sungguh-sungguh.

“Kenapa kita membahas hal itu sejak kemarin, katamu? Itu karena ... banyak teman-teman kita yang sudah punya pasangan dansa, sedangkan kita belum,” sahut Leon, mengalihkan tatapannya dengan sedikit malu.

Ella menahan jeritannya saat melihat adegan tersebut, sedangkan Adreanna hanya menatap heran bercampur kesal pada dua lelaki yang masih setia menunggu jawabannya tersebut.

Gadis itu bahkan sempat berpikir selama lima detik, mencari jawaban yang dapat meloloskannya dari suasana ini.

“Oke, aku akan jadi pasangan dansa-mu, Leon,” jawab Adreanna dengan entengnya, membuat John membelalakkan matanya.

Ia menarik lengan kanan Adreanna sehingga genggaman Leon lepas dari lengan Adreanna yang satunya. Dengan penuh penekanan, John berkata pada Leon, “Dia *p*artner-ku, titik!”

Ella tidak dapat menahan rasa takjubnya lagi, melihat sahabatnya diperebutkan oleh John dan Leon.

“Hei! Lepaskan tanganku! Kalian aneh sekali, sih .... Ya sudah, nanti akan kupikirkan lagi,” ujar Adreanna sambil menepis tangan John. Ia lalu melenggang pergi, meninggalkan Ella, John, dan Leon, yang mematung di tempat.

“Ella, kalau temanmu yang satu itu tidak mau jadi partner-ku, besok aku terpaksa meminta bantuanmu untuk mendapatkannya,” ucap John datar, membuat Ella tersentak.

“Kau sedang mengancamnya atau selera humormu memang seburuk itu, hah? Dasar aneh,” celetuk Leon. “Ella, biarkan saja Reanna mau memilih siapa. Toh, dia sudah dewasa, bukan anak kecil,” lanjutnya sebelum berjalan menjauh, membuat Ella dan John mengerjapkan mata mereka, kebingungan.

“Kau lebih aneh karena bertingkah seperti perempuan yang labil!” seru John lantang, membuat beberapa siswa menoleh terkejut ke arahnya, diikuti tatapan tajam siswi-siswi yang merasa tersinggung dengan ucapannya.

Ella pun menatap sinis John, yang dengan tidak tahu malunya pergi begitu saja meninggalkan area sekolah.

...----------------...

Malam tiba. Bulan tiga perempat muncul di langit. Seorang gadis yang mengenakan piyama sedang menopang dagunya di pembatas balkon, sembari menghela napas.

Ia memang senang karena ada yang memerhatikannya hari ini, terutama Leon—yang dulunya sikapnya sedingin es di kutub bumi. Tampaknya, pemanasan global tidak hanya telah mencairkan es di kutub, tapi seolah-olah ikut mencairkan es di hati Leon.

Namun, ia sedikit gundah. Entah mengapa, di balik rasa senangnya itu, seakan-akan ada hal tidak beres yang sedang menantinya di masa depan.

Dirinya tengah membayangkan warna gaun dan topeng yang akan ia kenakan saat pesta nanti. Ia pun membayangkan dengan siapa dirinya akan berdansa.

“Oh!”

Lampu bersinar terang di atas kepalanya, membuat Reanna manggut-manggut.

Aku tinggal tidak usah memilih satu pun di antara mereka. Mudah, bukan? Hmm, aku memang jenius, pikirnya, merasa bangga dengan dirinya sendiri.

Terpopuler

Comments

Innaz

Innaz

kisah percintaan dua pria memperebutkan seorang gadis memang selalu menarik. Membuat saya selalu ingin membaca kelanjutannya

2021-06-29

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!