“Pst, Reanna!”
Kepalaku tertoleh ke pemilik suara yang merupakan teman sebangkuku, Ella Credhiston. Ella merupakan sahabatku yang memiliki warna rambut cukup unik—merah pekat mendekati cokelat. Aku pernah bertanya apakah rambutnya yang berwarna merah itu dicat, dan Ella menentangnya. Katanya, ia mendapatkan warna rambut itu sejak kecil.
“Apa?” tanyaku balik dengan berbisik pula. Aku tidak ingin dikeluarkan dari kelas karena ketahuan bercakap-cakap di saat guru sedang menjelaskan sesuatu.
“Jam berapa pengarahannya selesai? Lama sekali!” bisik Ella menggerutu. Aku hanya mengangkat bahu pelan. Aku tidak heran melihatnya bosan. Selain aku, ia dan kebanyakan temanku sudah tahu mengenai isi pengarahannya.
Melihat presentasi yang membosankan ini membuatku lama-kelamaan jadi ingin melihat reaksi teman-teman sekelasku.
Ketika kepalaku menoleh ke kiri, aku terkejut ketika tatapanku bertabrakan dengan tatapan Leon, yang duduk selang dua bangku di sebelah kiriku.
Tanpa menunggu apa pun, aku buru-buru meluruskan pandanganku, berpura-pura menonton presentasi Pak Thomas sambil menetralkan degup jantungku yang berdebar-debar. Astaga, kenapa aku jadi seperti ini?
Dan ada yang aneh dengan Leon.
Sewaktu SMP, ketika guru sedang presentasi, terutama di dalam kegelapan, merupakan kesempatan emas bagi lelaki itu untuk tidur. Tidak jarang ia ketahuan dan dihukum dengan dikeluarkan dari kelas. Kebiasaannya itu selalu membuat seisi kelas geleng-geleng kepala. Pasalnya, tidak ada siswa semalas lelaki itu.
Namun, bahkan kini ia terjaga? Meski harus kuakui ia jadi lebih rajin sejak masuk SMA, tapi aneh saja melihat Leon terjaga di tengah presentasi yang membosankan seperti ini.
“Eh, tadi Leon melihat ke arahmu, tahu!” bisik Ella dengan antusias.
“Terus kenapa?” tanyaku berbisik, berusaha bersikap tenang, meski sebenarnya aku juga sempat salah tingkah tadi.
“Yah, barangkali dia ingin berkata sesuatu padamu?” jawab Ella, lebih seperti orang bertanya.
Tidak mungkin. Leon yang dingin itu nyaris tak pernah terlihat berbicara pada seorang pun di kelas ini. Aku sampai berpikir bahwa ia mungkin selalu bertelepati dengan makhluk-makhluk halus di sekolah ini.
Pengarahan berakhir dua jam kemudian. Seperti murid lainnya, aku pun ingin segera pulang, meski pintu kelas sangat penuh sesak karena mereka keluar dengan berebut. Ayolah, teman-teman, jangan samakan pintu kecil itu dengan gerbang raksasa!
Lalu, aku mendengar seorang siswa laki-laki menyebut nama Leon.
“Leon! Ada apa dengan ekspresimu? Kau sedang ada masalah?”
Aku tidak berminat menoleh karena menurutku percuma jika aku menoleh hanya untuk memerhatikan tanpa berbuat apa pun—berhubung aku bukan orang yang suka membuang-buang waktuku untuk meladeni urusan orang lain.
Memang, aku tidak pernah bercita-cita menjadi psikiater atau pun dokter jiwa. Bukannya aku menyelesaikan masalah mereka, bisa-bisa aku jadi gila duluan.
Ngomong-ngomong, urusanku sudah selesai. Jadi, aku tak punya alasan lagi untuk berlama-lama di sekolah.
“Aku pulang ....”
Aku mendengar suaraku sendiri begitu memasuki mansion. Rasanya agak sedih ketika aku mengabarkan kepulanganku pada diriku sendiri. Pasti menyenangkan jika aku dapat mengatakannya pada kedua orangtuaku yang sedang duduk santai di sofa atau berada di meja makan, menungguku bergabung makan malam bersama mereka.
Namun, segera kutepis pikiran itu. Besok adalah hari Sabtu, dua hari sebelum ujian. Ah, mengingatnya langsung membuatku tersenyum masam.
...***...
Keesokan harinya, pukul 6.59 pagi.
Ada banyak ruangan yang harus kubersihkan hari ini juga, jika aku tidak ingin mansion besar yang kutinggali berdebu.
Hanya terdengar suara penyedot debu yang digerakkan oleh tanganku di ruang tamu. Aku sempat berharap ada banyak pembantu yang akan mengerjakan tugas-tugas rumah tangga ini. Tapi, Reanna, bangunlah dari mimpimu! Hanya ada kau seorang di sini.
“Oke, lakukan saja, Reanna,” gumamku pada diriku sendiri sambil melanjutkan bersih-bersih.
Siang hari tiba. Aku terpaksa mandi lagi karena tubuhku sudah dibanjiri peluh hasil kegiatan bersih-bersih tadi. Setelah mandi, aku yang awalnya ingin mengistirahatkan tubuh sejenak, tiba-tiba saja ingin membaca buku, mengingat sewaktu aku bersih-bersih, aku menemukan sebuah perpustakaan pribadi.
Krieet ....
Pintu perpustakaan terbuka. Di sana, terdapat banyak rak yang dipenuh oleh berbagai macam buku. Oh, yang benar saja. Siapa yang akan membersihkan buku sebanyak itu, padahal membersihkan setengah dari mansion ini saja sudah membuatku kelelahan setengah mati.
Aku mendekati salah satu rak buku, mengamati berbagai buku di sana. Walaupun aku melihat ada banyak buku yang dapat kumanfaatkan sebagai bahan belajar untuk Ujian Nasional, tanganku bergerak ke deretan buku fiksi.
Yah, mau bagaimana lagi? Rasa penasaranku tidak bisa ditunda dibandingkan dengan keinginanku untuk belajar.
Aku mengambil beberapa buku fiksi yang menurutku menarik lalu menumpuknya menjadi sebuah menara buku. Dengan hati-hati, aku membawa menara buku itu menuju kamarku.
“Duh! Berat sekali!” keluhku begitu meletakkan buku-buku itu di lantai kamar. Aku langsung duduk bersila di sofa antik, membaca masing-masing judul buku yang ada.
“... Oidipus sang Raja, Dewi Olympia Terakhir, … ah, serius, ini semua buku mitologi?” heranku begitu mengetahui arti dari judul buku-buku yang akan kubaca.
Tapi berikutnya, mataku menangkap keberadaan sebuah buku bersampul biru muda pucat. Pangeran Terakhir? Judulnya lebih aneh dari buku-buku tadi.
Meski begitu, rasa penasaran yang kuat tiba-tiba muncul di benakku, mendorongku membaca buku tersebut. Kuharap isinya bukan mitologi lagi.
Bulan purnama menyinari daratan dan lautan. Malam yang hampa. Tidak ada angin yang berhembus maupun suara burung hantu, seolah-olah apa pun di sana sedang memandangi dua makhluk paling berpengaruh terhadap takdir dunia dan kerajaan mereka berikutnya.
Wajah mereka sedingin embusan angin malam yang pernah datang. Tubuh mereka tinggi, setinggi ambisi mereka untuk menyingkirkan satu sama lain. Mereka pun bertarung dengan sengit seolah tiada hari esok.
Sayap perdamaian tak pernah terbentang di antara kedua makhluk agung bertaring tersebut. Mereka saling memperebutkan tahta dan kekuasaan.
Cahaya matahari dan cahaya bulan menyeruak dari balik tatapan mereka yang sedalam lautan serta setajam mata pedang. Api dan es beradu dalam kegelapan malam. Yang satu ingin melukai, yang satunya lagi ingin melindungi.
... Baiklah, cukup! Aku akan membaca buku yang lain! Buku biru ini berhasil membuatku pusing. Kutarik penanda buku yang terbuat dari pita biru, lantas menempatkannya di antara dua halaman yang kubaca tadi.
Aku suka membaca cerita, bahkan cerita fantasi. Namun, entah mengapa, hanya dengan membaca beberapa paragraf tadi membuat kepalaku berputar. Mungkin kata-katanya terlalu sulit kupahami.
Kutolehkan kepalaku ke arah balkon. Cahaya jingga menyeruak masuk ke dalam kamarku. Aku melirik tumpukan buku yang ada di sekitarku.
Sekarang kalau dipikir-pikir lagi, apa sebaiknya kubaca semua, ya? Karena aku pun penasaran apakah isi buku-buku lainnya seaneh buku bersampul biru pucat tadi atau tidak.
Tunggu sebentar, tadi aku melihat kata ‘makhluk agung bertaring’. Apa itu maksudnya … vampir?
Yang benar saja. Mana mungkin ada vampir sungguhan di dunia ini, di zaman modern?
Jujur, kalimat itu masih terngiang-ngiang di kepalaku, seolah-olah itu adalah rumus Fisika dan Matematika yang harus kuhafalkan demi ujian nanti.
Aku tahu, menghafalkan sebuah rumus memang lebih sulit dibandingkan membaca banyak cerita legenda. Namun, tetap saja, aku harus belajar dengan giat untuk ujian itu agar ilmuku selama tiga tahun tidak sia-sia.
Setelah memilih beberapa buku yang akan kutaruh di kamarku, akhirnya aku mengambil sebagian dari mereka untuk kukembalikan ke perpustakaan. Salah satunya adalah buku biru yang memusingkan itu.
Karena kedua tanganku penuh dengan buku-buku, aku menggunakan kakiku untuk membuka pintu perpustakaan yang sengaja tidak kututup rapat tadi. Aku menghela napas melihat rak buku yang banyak itu, lagi.
Kuletakkan tumpukan buku itu di samping meja kerja yang ada di sana karena aku terlalu malas untuk menatanya di rak berdasarkan urutan huruf depan judulnya. Aku tak peduli jika itu akan membuat perpustakaan ini tampak berantakan.
Toh, siapa lagi yang akan masuk ke perpustakaan ini kalau bukan aku sendiri?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Innaz
setiap kata dari isi buku biru membuat merinding seakan-akan kita masuk ke dalam dunia dalam buku tersebut, salut sama penulisnya
2021-06-29
2