Sang Pangeran Terakhir
Taksi berwarna hitam ini akhirnya berhenti setelah menempuh perjalanan yang jauh. Aku keluar dari taksi sambil menggendong tas ranselku. Mataku melirik Pak Sopir yang beranjak dari jok pengemudi, membuka bagasi mobil dan membantuku mengeluarkan koperku.
“Terima kasih, Pak,” ucapku sambil memberikan beberapa lembar uang padanya. Ia tersenyum singkat padaku sebelum mengemudikan mobilnya menjauh dari area ini.
Tanganku merogoh saku celana jeans-ku untuk mengambil sebuah kunci. Lalu, aku membuka pintu mansion yang tinggi dan besar—ini pasti pintu utama. Saat pintu terbuka, terdengar suara decitan khas pintu yang sudah lama tidak dibuka.
Aku tidak langsung masuk begitu saja. Kuamati sejenak bagian depan mansion. Rumah ini terlalu besar untukku seorang. Tapi, aku pun tidak punya pilihan lain. Akhirnya, aku melangkah masuk sambil menarik koperku, tak lupa menutup kembali pintunya.
Setelah menyalakan sakelar lampu pusat, seluruh lampu di mansion ini menyala. Mansion berdinding krem pucat ini tidak seseram beberapa detik yang lalu. Sungguh, saat aku tiba tadi, mansion ini terlihat seram.
Namaku Adreanna Berenice, panggil saja Reanna. Usiaku delapan belas tahun, tepatnya berada di kelas akhir SMA. Aku pindah ke mansion klasik ini atas isi surat wasiat usang yang kutemukan di laci meja kerja orangtuaku. Isinya adalah apabila kedua orangtuaku dalam bahaya, maka siapa pun yang menemukan surat tersebut, harus membawaku ke mansion ini.
Dalam surat wasiat itu pun ditekankan bahwa seluruh biaya hidupku akan ditanggung oleh seseorang. Tentunya, terbesit rasa penasaran di dalam hatiku untuk mencari tahu siapa dermawan itu. Namun, rasanya energiku sudah terkuras habis, bahkan hanya untuk memikirkan bagaimana cara menemukan orang tersebut. Ah, semoga aku dapat bertemu dengannya suatu saat nanti.
Di balik tirai jendela kamarku, tampak langit biru muda dan pepohonan. Aku berdecak kagum. Kira-kira ... berapa puluh buku, ya, yang bisa kubaca sambil menikmati pemandangan ini?
Perjalanan panjang membuat perutku meraung-raung, memaksaku berhenti memikirkannya.
Begitu aku membuka kulkas di dapur, hanya ada bahan mentah seperti sayuran, buah-buahan, ikan serta daging mentah. Jika kupikirkan lagi, itu bukan ‘hanya’. Maksudku, ada banyak bahan mentah segar di hari pertama aku tiba di mansion. Rasanya seperti aku sedang berlibur di vila saja.
Aku menyeruput sup buatanku sendiri sembari mengamati ruang makan yang klasik ini. Setiap ukiran di pilar dan langit-langitnya membuat ruangan ini tampak seolah-olah keluar dari sebuah lukisan Eropa.
Bahkan ketika aku berkeliling mansion pada malam harinya, aku dapat merasakan nuansa abad pertengahan yang kental di setiap lorongnya. Angin malam yang berembus masuk melalui ventilasi membuatku menggigil. Daripada aku membeku, lebih baik aku bergegas ke kamar.
Langkahku terhenti saat aku melewati sebuah pintu. Mataku menatap lekat-lekat pintu tersebut. Sekilas tidak ada bedanya dengan pintu lainnya yang berwarna putih. Namun, terdapat ukiran unik di gagang pintunya, yang tidak kujumpai di pintu-pintu ruangan lainnya.
Tanpa ragu-ragu, aku membuka pintu ruangan itu. Mulutku sedikit melebar begitu menemukan sebuah ruangan perapian. Perapian yang tidak menyala, sofa khas zaman dahulu, dan lemari kayu tua di sudut ruangan menciptakan kesan antik di ruangan ini. Warna dinding dan perabotan perapian di sana sama seperti ruangan lainnya.
Semuanya tampak normal, kecuali ….
Mataku yang tadinya menyapu ke setiap sudut ruangan, berhenti pada semacam kapstok topi yang berdiri di tengah-tengah ruangan. Di bagian atasnya, terdapat dua buah lonceng tua yang menggantung seperti lonceng di pintu masuk toko antik.
Pikiran negatif mulai memenuhi kepalaku. Aku tidak ingin berada di sana lebih lama lagi sehingga aku bergegas keluar dari ruangan itu sebelum ada hal lain yang menyambutku.
“Itu … hiasan, kan?” gumamku begitu sampai di kamarku. Aku menghempaskan tubuhku ke atas tempat tidur, menghela napas lega.
“Setidaknya aku tidak menyentuhnya tadi,” gumamku berusaha menenangkan diriku sendiri.
...***...
Malam terasa begitu singkat ketika matahari telah bersinar terang kini. Hari ini aku akan pergi ke sekolah untuk mengikuti pengarahan Ujian Nasional sehingga aku tidak boleh terlambat.
Setelah mandi dan sarapan, aku bergegas mengenakan seragam sekolah berkemeja putih, dengan jas almamater biru dongker dan rok selutut motif kotak-kotak yang berwarna senada. Tak lupa kaos kaki hitam sepanjang betis dan sepatu fantofel hitamku.
"Baiklah, ayo berangkat!" ucapku, menyemangati diriku sendiri karena aku harus berjalan sedikit jauh dari mansion untuk memanggil taksi.
Sesampainya di sekolah, mataku melirik arloji yang melingkari pergelangan tangan kiriku. Masih ada sepuluh menit tersisa sebelum bel masuk berbunyi. Kulangkahkan kakiku di koridor megah sekolah ini.
Sekadar informasi, sekolahku adalah sebuah sekolah swasta khusus keturunan konglomerat dan setingkat itu. Jadi, ya, bisa dibilang aku adalah salah satu putri konglomerat di sekolah ini.
“Kau datang pagi-pagi sekali, bung!”
Saat aku hendak masuk ke kelas, aku mendengar suara seorang lelaki yang sedang berbicara dengan John. John adalah temanku dari kelas lain yang sangat terkenal di sekolah. Kedua orang tuanya merupakan donatur utama sekolah mewah ini.
Namun, perlu dicamkan bahwasanya John adalah orang paling menjengkelkan di dunia. Ia sering, ralat, selalu menjahiliku! Walau begitu, aku percaya bahwa sebenarnya ia adalah siswa yang baik.
Rumor yang beredar adalah John tidak tertarik dengan seluruh siswi di sekolah kecuali diriku. Aku tidak tahu mengapa. Terlepas dari itu, aku selalu berusaha berbaik hati pada anak donatur itu.
Ah, sudahlah. Toh, dia tidak menggangguku. Lebih baik aku langsung masuk daripada dituduh melihatinya terus.
Ketika aku sampai di bangkuku, mataku bertemu dengan Leon yang duduk tak jauh di sebelahku sembari membaca novel.
Nah, kalau Leon adalah teman dekatku sejak SMP, dan anak kepala SMA ini. Ia dicap sebagai most wanted oleh kebanyakan siswi di sekolah ini karena kekayaannya yang setara dengan John. Kadang, John dan Leon bertengkar, sebelum akhirnya mereka saling mengalah dengan sendirinya.
Jika John dikenal memiliki sifat hangat, maka Leon sebaliknya. Meski begitu, keduanya sama-sama menyebalkannya bagiku. Karena Leon yang bahkan satu kelas denganku jarang bersikap ramah padaku, sementara John yang berada di kelas lain malah terlampau ramah padaku—jahil.
Kini, aku punya taktik baru agar Leon mau menujukkan senyumnya padaku setelah berbulan-bulan tidak tersenyum padaku.
“Selamat pagi, Leon!”
Ya, begitulah aku memanggilnya dan menyapanya. Lelaki itu menatapku sejenak sebelum mengangguk sekali dan tersenyum singkat.
“Nah!” seruku spontan, yang di luar dugaanku malah mengejutkan lelaki itu. “Akhirnya aku berhasil membuatmu tersenyum,” lanjutku sambil terkekeh puas.
Kalian tidak akan bisa membayangkan seberapa puasnya diriku saat berhasil menemukan cara untuk membuat lelaki dingin ini tersenyum, setelah berkali-kali gagal membuatnya tersenyum.
Aku bahkan pernah menunjukkannya film komedi, dan ia hanya berwajah datar bak dinding, membuatku yang saat itu tertawa terpingkal jadi terdiam kesal. Aku yakin tidak hanya aku saja yang akan kesal ketika ada orang yang tidak tertawa saat menonton film komedi.
Bel tanda masuk berbunyi. Begitu seluruh siswa sudah memasuki kelas, seorang pria memasuki kelas dan berkata, “Anak-anak, hari ini saya akan memberikan pengarahan terhadap kalian. Tolong dengarkan baik-baik.”
Beliau adalah Pak Thomas, wali kelasku. Kelas dua belas terdiri dari beberapa kelas. Dan saat ini, masing-masing wali kelas diminta untuk memberikan pengarahan pada tiap kelasnya.
Pak Thomas menyalakan proyektor, dan secara otomatis lampu kelas perlahan padam layaknya lampu bioskop. Beliau menjelaskan apa yang harus dipatuhi dan dilakukan pada saat ujian. Tidak seperti ujian pada tahun sebelumnya, kali ini kami wajib mengerjakannya di komputer.
“... Apabila kalian menemukan kesalahan teknis ketika mengerjakan soal ....”
Aku menguap karena mengantuk. Selain karena posisi dudukku di paling belakang, aku juga sudah tahu seluk-beluk aturannya dari guru privatku dulu. Tunggu, jangan salah paham! Aku dapat mengetahuinya karena aku sudah terbiasa mengerjakan soal tryout yang diberikan oleh guru privatku tersebut.
Lalu, sebuah suara bisikan di dekatku berhasil menelan suara Pak Thomas seutuhnya.
“Pst, Reanna!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Innaz
bahasanya gak kaku dan sangat menarik, berasa Reanna adalah teman kita yang bercerita langsung ke kita. Di akhir episode juga ada trigger yang membuat penasaran dan ingin cepat-cepat membaca episode selanjutnya
2021-06-29
2