Bab 5

Permaisuri putra mahkota, Galuh Putrika Sundari mondar mandir di ruangan tengah kediamannya. Kakaknya, Bagus Saksena Sang Aryapati Janggala, duduk di kursi mengamati tingkah laku sang adik.

"Jadi menurut pengamatan pengawal rahasia kanda, Citrawani sedang merencanakan suatu usaha pergerakan? Tetapi mengapa harus berusaha sekeras itu, kanda? Apa hubungannya dengan kasih sayang dari pangeran mahkota?"

"Sundari, kamu tidak mengerti politik. Galuh Citrawani sedang memainkan trik politiknya untuk membangun citra diri yang baik di hadapan keluarga kerajaan. Ia sedang membangun dukungan dari rakyat untuk kedudukannya kelak. Ini bukan hal yang sepele, adikku ! "

"Aku tahu, kanda. Aku bukan wanita bodoh," Sundari tersenyum . "Sedikit banyak, sebagai tuan putri kerajaan Jenggala, aku mengerti politik. Yang aku ingin katakan pada kanda, tidak masalah jika Galuh Citrawani kelak berhasil memiliki dukungan rakyat dan keluarga kerajaan. Karena kelak yang memegang tahta adalah kakanda Raden Suryapaksi, dan yang menentukan keputusan akhir adalah suamiku terkasih."

"Apakah kamu yakin, kelak jika Citrawani sudah menguasai dukungan rakyat, dia tidak akan berusaha untuk merebut kasih sayang dan dukungan Raden Suryapaksi?"

"Aku yakin, aku telah menguasai segenap ruang hati kakanda Suryapaksi, tidak ada tersisa ruang untuk direbut wanita manapun."

"Termasuk jika Galuh Citrawani melahirkan seorang putra untuknya, dan kamu tidak?"

Galuh Sundari tercenung. Kata-kata kakak kandungnya sedikit mengguncangkan keteguhan hatinya.

"Apa yang harus dinda lakukan , kanda?" Galuh Sundari terduduk di kursi. Air mukanya berubah keruh.

"Sebisa mungkin, kita harus melakukan dua hal. Mencegah Galuh Citrawani mendapatkan kasih sayang Suryapaksi. Mencegah perempuan itu mendapat kepercayaan raja dan dukungan dari rakyat !"

"Kanda, bantulah aku untuk melakukan semua itu.." Sundari memohon kepada kakaknya.

"Tentu saja, adikku yang bodoh ! Mana mungkin kanda membiarkanmu tertindas di negara ini ! Kamu menikah ke sini bukan untuk menjadi yang di bawah dan terinjak !"

Mata Bagus Saksena yang tajam, berkilat-kilat.

"Serahkan saja semua pada kanda ! Kamu tinggal mengikuti apa yang kanda katakan, Sundari !"

.........

Beberapa bulan yang lalu, Galuh Sundari mengutus pelayan setianya Sari untuk mengirimkan surat kepada kakaknya, Bagus Saksena. Sundari memohon kakaknya untuk datang mengunjunginya di ibukota Panjalu. Sundari mengadu tentang rencana pernikahan suaminya dengan Galuh Citrawani, jodoh masa kecil Raden Suryapaksi.

Beberapa tindakan segera dilakukan Bagus Saksena. Ia memohon kepada ayahnya agar mengirimnya ke Panjalu sebagai utusan kekeluargaan Jenggala. Dikumpulkannya puluhan pengawal-pengawal rahasia yang paling mumpuni untuk mengiring kepergiannya ke kerajaan Panjalu.

Ia membawa hadiah pernikahan untuk Suryapaksi dan Galuh Citrawani. Beberapa kereta kuda yang mengangkut hadiah-hadiah itu, menunjukkan betapa tulus niat baik dari Jenggala untuk mempererat hubungan antar kerajaan.

Dari awal, mereka telah merencanakan banyak hal untuk melancarkan kejayaan dan kedudukan Galuh Sundari di Panjalu. Tetapi yang mengherankan bagi Bagus Saksena, ia telah merancang dengan rapi, tapi kenapa Galuh Citrawani selalu berhasil lolos dari jerat kematian?

Roda as kereta yang telah diutak atik oleh pengawal rahasianya, tidak berhasil mencelakai Galuh Citrawati. Gadis itu memang terbentur ketika keretanya jatuh, pingsan berhari-hari. Tetapi kemudian ia selamat, malah bangun menjadi gadis liar dan licik ! Obat herbal dicampur racun halus telah diberikan selama gadis itu pingsan, tetapi ia malah menjadi makin kuat dan lincah !

"Galuh Citrawani, sehebat apapun kamu, aku akan menjatuhkanmu. Jika tidak bisa merenggut jiwamu, maka jangan salahkan jika aku terpaksa mempermalukan nama baikmu !" Bagus Saksena mengepal tangannya.

"Kebo Prakasa!"

Syuuuhhh.

Sesosok laki-laki berpakaian hitam tiba-tiba telah muncul di hadapan Bagus Saksena. Ia pengawal rahasia paling lihai yang dimiliki oleh petinggi kerajaan Jenggala.

"Hamba siap menerima perintah !" Lelaki itu berlutut di hadapan majikannya, Sang Aryapati Jenggala.

"Aku punya tugas untukmu. Temui Darpa secara rahasia dan berikan surat perintahku ini padanya !"

"Baik, tuanku !"

Kebo Prakasa berkelebat dan menghilang dalam sekejap. Bagus Saksena menggosok telapak tangannya sambil mendengus. Galuh Citrawani, kali ini kamu tidak akan lolos dari telapak tanganku, Bagus Saksena sang Aryapati Jenggala ! Tunggu saja waktu kehancuranmu !

.....

Istana kediaman Galuh Citrawani selalu nampak hidup dan sibuk. Setiap hari para pelayan belajar di ruang keterampilan, mempelajari cara mengolah ulat sutra menjadi benang dan kain sutra. Pengajarnya adalah sang tuan putri sendiri.

Hampir seluruh pelayan dan pengawal harus mengikuti kelas ini. Mereka mempunyai tugas masing-masing, dari merawat tanaman murbai, merawat ulat sampai mengolah kepompong menjadi benang sutra.

Sebelumnya, mereka semua harus bangun pagi buta, untuk diajarkan olahraga beladiri oleh Citrawani bersama kepala pengawal Ki Parwata dan wakilnya, Ki Gajah Wana.

Setiap sore Citrawani dibantu seorang tabib ahli dari negeri jauh, Tabib Wong, mengajar akupuntur pada Sekar, Arum dan Wicaksana . Ketiga orang itu yang terpilih, karena hanya mereka yang berbakat di bidang ini.

Di sela-sela kesibukannya, Citrawani masih menyempatkan diri untuk sekali-kali berkeliling menyapa rakyat kecil di pasar dan di jalan-jalan kota . Ia melakukan perjalanan itu dengan menyamar, ditemani Sekar dan Gentini.

Hari ini Galuh Citrawani bersama kedua pelayan kesayangannya melakukan perjalanan keluar dari ibukota. Mereka menunggang kuda masing-masing, menuju beberapa desa di pinggir danau yang asri. Seperti biasa, Galuh Citrawani mengunjungi penduduk di pedalaman dengan menyamar sebagai tabib pengembara.

Di sebuah pasar desa, mereka tertarik dengan kerumunan orang. Terdengar suara hiruk pikuk yang ramai di sana. Galuh Citrawani mengajak Sekar dan Gentini menambatkan kuda mereka di bawah pohon, tak jauh dari pasar. Dengan santai Galuh Citrawati menghampiri kerumunan diiringi kedua pelayannya.

"Ada apa ini, kisanak?" tanya Sekar pada seorang lelaki paruh baya.

"Oh, itu tadi ada rombongan penari dan penyanyi jalanan, tuan. Tetapi kini seorang penabuh musik mereka tengah berkelahi melawan beberapa jagoan ."

"Kenapa sampai ada perkelahian, paman?" Gentini bertanya.

"Gadis penyanyi dan penari itu diganggu oleh seorang penonton. Penabuh musiknya tidak terima, lalu terlibat cekcok hingga berkelahi dengan penonton itu dan teman-temannya."

Galuh Citrawani yang merasa tertarik, maju menerobos arena perkelahian. Ia melihat seorang gadis berbusana penari sedang menangis di pojokan, dirangkul oleh seorang wanita tua yang berbusana sama. Yang terlibat perkelahian adalah seorang pemuda bersenjata alat musik rebab yang dikeroyok tiga orang berandal.

"Kalau kamu mau mohon ampun dan membiarkan adikmu pergi menghiburku, aku akan menyuruh pengawal-pengawalku pergi !" seru seorang pemuda perlente yang bertolak pinggang di pinggir arena. Pemuda itu berwajah tampan, pakaiannya mewah. Sekali lihat, Citrawani tahu pemuda itu jenis mata keranjang mesum yang suka mempermainkan gadis-gadis.

Si Pemuda gagah yang dikeroyok tiga itu tidak menyahut. Keadaannya terlihat sudah kerepotan dan payah . Ia menyabetkan rebabnya menyampok pedang yang mengarah leher. Tetapi sebuah golok sudah berkelebat menyasar pangkal pahanya dan ia nampak tidak berdaya untuk menangkis.

Para penonton menahan nafas. Mereka berteriak memperingatkan campur ngeri.

"Awas !"

Trang !

Sebuah pedang pendek menangkis golok itu, disusul tendangan melingkar berantai yang membuat si penyerang terpental kalang kabut. Citrawani lah yang menyerbu dari kerumunan penonton. Tangannya yang satu lagi memainkan sebuah gagang kipas mengetuk tengkuk seorang penyerang lain, sehingga orang yang tepat kena urat sarafnya itu menggeletak kesakitan setengah mati di tanah. Tangan seorang penyerang lain disabet dengan pinggir kaki hingga pedang orang itu terlepas dari pegangan.

Perkelahian seketika terhenti. Ketiga orang itu mundur- mundur sambil menatap Citrawani jerih.

"Siapa kau? Kenapa kau datang-datang membuat kekacauan di sini?" bentak si pemuda perlente dengan marah.

"Heh, tidak salah? Anjing menggonggong teriak anjing," Galuh Citrawani mendengus. "Heh, rambut berminyak, yang bikin keributan itu kamu dan tiga cecungukmu itu ! Enak saja menuduh aku . Cepat pergi kau ! Kalau tidak kupotong juga lehermu yang panjang itu !"

Si pemuda melotot pada Citrawani. Tapi kemudian ia beranjak pergi, setelah menoleh pada gadis yang berbusana penari.

"Tunggu dan lihat saja, Sawitri, aku tidak akan melepasmu !" ancamnya.

Citrawani menjadi geram. Ia menyentil sebuah kerikil kecil mengenai punggung pemuda itu yang segera melarikan diri sambil mengaduh-aduh, disoraki orang banyak.

Para penonton tertawa. Setelah perkelahian itu bubar, mereka ikut membubarkan diri, hingga arena perkelahian di pinggir pasar menjadi sepi. Si gadis penari masih menangis ketakutan, dihibur oleh sang ibu.

"Saya Sawitra, menghaturkan banyak terimakasih atas pertolongan tuan, " kata pemuda yang telah ditolong Citrawani dengan sopan. " Kami adalah perantau yang berpindah-pindah tempat, saat ini kebetulan kami menetap sementara di desa ini. Siapakah nama tuan penolong, jika boleh kami tahu?"

"Namaku Citragada dan ini teman-temanku, Gentono dan Sokor ," Citrawani memperkenalkan diri dan kedua pelayannya dengan tenang dan kalem. Kedua abdinya memalingkan wajah, menyembunyikan tawa mereka yang hampir terkekeh keluar dari balik caping.

Gentono? Sokor? Apa tidak ada nama samaran lain yang sedikit lebih bagus? Rutuk hati mereka , kesal campur geli.

"Tuan Citragada, sekali lagi saya, adik dan ibu menghaturkan terimakasih yang sangat dalam ! Jika tidak ada pertolongan tuan, tentu saya saat ini telah menjadi mayat. Dan kehormatan adik kami hancur."

Sawitri melepaskan diri dari pelukan sang ibu. Tanpa ragu ia menghampiri Citrawani. Tahu-tahu gadis cantik itu melemparkan diri berlutut di bawah kaki Citrawani.

"Tuan, budi kebaikan tuan sangatlah besar. Bagi kami, kehormatan lebih berharga dibandingkan secuil nyawa kami ini. Sawitri bersedia menjadi pelayan tuan untuk membalas budi ."

"Eh, bangunlah nona, jangan berlutut begini ... Tidak usah terlalu sungkan. Tolong menolong adalah hal yang wajar di antara sesama manusia, bukan?"

"Tuan Citragada memang berhati mulia," si kakak memuji. "Alangkah senangnya jika kami bisa menjalin persahabatan dengan tuan."

"Ah, saya hanyalah seorang tabib pengembara. Tidak ada salahnya kita menjalin persahabatan. Tetapi kami juga tidak menetap di suatu tempat. Nah, karena suasana sudah aman, biar kami melanjutkan perjalanan," kata Citragada, lalu memberi isyarat pada kedua pelayannya untuk beranjak pergi.

Sawitri menjatuhkan diri , berlutut lagi di depan kaki Citrawani.

"Tuan Citragada, tolong bawalah saya untuk menjadi abdi pelayan tuan. Jika saya belum membalas kebaikan tuan, hati ini akan terasa sangat tidak mengenal budi."

Sawitra dan ibunya saling pandang. Terbit senyum dikulum di sudut bibir keduanya .

"Hm, maafkan saya nona Sawitri. Saya tidak memiliki tempat tinggal tetap. Mana mungkin saya bisa membawa nona bersama kami, sementara hidup kami sendiri tidaklah menentu."

"Tuan, kalau begitu ijinkan kami menjamu tuan di tempat tinggal sementara kami..." sang ibu mencakupkan kedua tangannya. "Kami mohon, sudilah tuan menerima undangan kami. Agar hati kami terasa ringan tanpa beban hutang budi ."

"Ah, masalah ini tidak usah diperpanjang lagi, bibi. Saya tulus melakukan semua itu dengan didasari nurani belaka. Nah, kami mohon diri dulu."

"Tuan Citragada, tunggu !" Sawitri dengan mata berkaca-kaca, memohon. "Sudilah tuan singgah di pondok kami sebentar saja, agar kami dapat mempersembahkan sekedar hidangan , sekali saja ."

Citrawani tercenung. Ia berpandangan dengan kedua pelayannya, lalu menganggukkan kepala.

"Baiklah kalau begitu, kami terpaksa merepotkan kalian."

Sawitri dengan riang gembira menunjukkan jalan di depan, menuju ke pondok mereka. Ibu dan kakaknya mengikuti di belakangnya, disusul Citrawani , Sekar dan Gentini. Kuda-kuda mereka dituntun melewati jalan setapak yang menanjak menuju sebuah bukit di belakang danau. Setelah berjalan cukup jauh, tibalah mereka di sebuah pondok sederhana yang menyendiri di punggung bukit.

"Inilah pondok sementara kami, tuan-tuan. Silahkan masuk," Sawitra mempersilahkan tamunya memasuki pekarangan pondok. Mereka bertiga duduk di bale-bale bambu di bawah pohon. Sawitri dan ibunya mengundurkan diri ke belakang untuk mempersiapkan hidangan.

"Kakang Sawitra, sudah berapa lama tinggal di pondok ini?" tanya Citrawani sambil mengamati sekitar.

" Sudah sekitar dua bulan, tuan. Kami menyewa pondok ini dengan harga sangat murah, karena hanya segini kemampuan kami."

"Biasanya Kang Sawitra tinggal berapa lama di suatu tempat?"

"Paling lama sekitar setahun, atau setengah tahun, biasanya kami pindah daerah baru lagi ..Yah, beginilah pekerjaan kami sebagai seniman keliling," tutur Sawitra .

Dua jam kemudian, hidangan yang menggugah selera telah terhidang di hadapan mereka. Ada sebakul nasi jagung, sayur urap-urap dengan pepes ikan yang masih mengepul dan mengeluarkan aroma sedap.

Sawitra mengeluarkan sebuah bumbung dari dalam pondok. Isinya adalah air nira manis yang ia sadap dari pohon tidak jauh dari pondok.

"Mari, mari silahkan tuan-tuan, dinikmati hidangan ala kadarnya," Sawitri membagikan anyaman bambu ceper dengan daun pisang untuk alas makan.

"Terimakasih," Citrawani menganggukkan kepalanya pada Sekar dan Gentini. Mereka menyinduk nasi dan lauk pauknya, lalu makan dengan perlahan dan malu-malu. Kebetulan hari telah sore dan perut mereka terasa lapar.

Sawitra menuangkan nira manis kepada ketiga tamunya, yang disambut dengan antusias. Ia dan ibunya saling pandang, lalu tersenyum gembira.

"Ini air nira termanis yang pernah saya minum," Citrawani tersenyum. "Hidangannya juga enak sekali. Bibi dan nona Sawitri sangat pintar memasak ."

"Hanya masakan orang desa, tuan Citragada. Tabib yang telah banyak mengembara seperti tuan, tentu telah banyak mencicipi makanan dari berbagai daerah."

" Tuan Sokor dan tuan Gentono terlihat masih sangat muda. Apalagi tuan Citragada, yang sangat tampan dan muda belia. Semuda ini sudah menjadi tabib. Hati kami sungguh sangat kagum," sang ibu memuji-muji.

"Bibi terlalu memuji," kata Sekar. Ia menguap. Matanya terasa agak kabur, sehingga ia menggoyangkan kepalanya perlahan.

"Aah, aku merasa ngantuk sekali...angin di sini sejuk sekali...," Citrawani menguap berkali-kali.

"Biasalah, tuan. Kalau sudah kenyang, pasti mengantuk, " Sawitra tersenyum.

Citrawani tersandar di batang pohon.Kepalanya terkulai. Ia telah tidak sadarkan diri. Sekar dan Gentini berseru kaget. Mereka melihat ketiga tuan rumah yang ramah itu kini tersenyum, menyeringai dengan mata bekilat sinis.

"Kalian .. Bajingan ! Kalian ...telah membius kami..." teriak Sekar marah. Ia dan Gentini hendak menerjang, tetapi kepala mereka terasa berat dan badan melemah.

Mereka pun terkulai di atas meja.

..........

Terpopuler

Comments

The Taste Of Love👩‍🍳👨‍🍳

The Taste Of Love👩‍🍳👨‍🍳

waduh, sianida nih

2023-11-18

0

R⃟ Silu ✰͜͡w⃠🦃🍆(OFF)

R⃟ Silu ✰͜͡w⃠🦃🍆(OFF)

next

2022-02-20

1

maDENa

maDENa

ini cerita unik.. bru pertama bc yg bgini di nt. kmrn smpet bc time travel tp ttg kerajaan china. bagus jg.. smpe end bacanya.
skrg time travel rasa nusantara.. bayangin kyk angling dharma😁

2022-02-15

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!