Bab 3

Hari purnama karo, cuaca dingin dan sedikit berkabut.

Sekar dan Gentini baru saja melangkah keluar dari sanggar pamujan kecil di istana keputrian, ketika seorang pelayan berjalan cepat dan menabrak mereka. Sebuah keranjang bambu kecil jatuh terhempas dan bunga-bunga di dalamnya berserakan di tanah berumput.

"Kau !" Sekar marah. Ia memungut keranjang yang jatuh dan mengumpulkan kembali bunga-bunga yang berserakan.

"Sari, kenapa kamu menabrak kami?" Gentini marah-marah pada pelayan itu.

"Kalian yang tidak melihat jalan." Cetus Sari acuh tak acuh. "Oho, kalian mengumpulkan kembang ya! Sepertinya ada yang tidak puas dengan kehidupannya, dan ingin mengubah nasib dengan mandi kembang di malam purnama. Siapa tahu ada panglima prajurit gagah perkasa yang jatuh cinta. Hihihi."

"Tahu apa kamu ! Ini bunga rampe untuk tuan putri Galuh Citrawani ! Beliau hendak menyucikan diri setelah kecelakaan kereta. Ini tanda syukur kepada Sang Pencipta. Dasar kamu pelayan terbelakang, tahu bergunjing aja !"

"Huh !" Sari berlalu dengan mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Ia tidak tahu kalau beberapa langkah di depannya menyala sebuah pasepan di perempatan jalan setapak.

Ia yang mengarahkan pandangan ke atas, tanpa sengaja melanggar pasepan itu, hingga ia menjerit kaget. Lalu jatuh terguling di rerumputan sambil terus menjerit kepanasan dan kesakitan. Kakinya melepuh.

Sekar dan Gentini tertawa hingga keluar airmata.

"Huh, rasain !" sorak Gentini puas.

"Angkat dagu tinggi-tinggi, biar nyangkut di tali jemuran!" teriak Sekar terbahak-bahak.

"Aduh, aduuh, awas kamu ya.." ancam Sari sambil meringis menahan sakit pada kakinya. Terpincang-pincang ia menghilang di tikungan.

"Kenapa Sari sombong sekali pada kita, ya? Mentang-mentang pelayannya permaisuri Sundari. Ia sengaja selau memusuhi dan mencari gara-gara dengan kita."

"Wajar. Majikannya adalah madu dari majikan kita. Jadi dia pikir dia harus memusuhi kita, untuk membela majikannya. Meskipun permaisuri Sundari selalu pura-pura baik pada tuan putri Citra."

"Sst, awas ada yang dengar.."

Sekar melirik beberapa pelayan bagian upacara yang tengah berlalu sambil menyunggi peralatan sembahyang. Mereka tersenyum dan saling menyapa. Setelah rombongan itu berlalu, Sekar menyenggol siku Gentini.

"Gentini, kamu lihat tadi? Para pelayan upacara itu sebagian besar adalah orang-orangnya permaisuri Sundari. "

"Memang, sejak permaisuri Sundari masuk istana, ia membawa banyak pengikut dari Jenggala. Mereka semua melayani dia untuk ditaruh di dapur, di bagian upacara, di gudang obat dan sebagainya."

"Wah, hebat juga pengaruhnya. Bahkan Raden Suryapaksi pun bertekuk lutut padanya..."

Mereka memasuki halaman kediaman Galuh Citrawani. Berjalan langsung menuju ke belakang untuk menyiapkan air mandi kembang. Dan mereka tercengang, melihat tuan putri mereka sedang jungkir balik dengan kepala di bawah !

"Jagat Dewa Batara ! Tuan putriii ! Apa yang terjadi?" Histeris, Sekar dan Gentini menghampiri .

Citra salto beberapa kali sebelum mendarat kembali ke tanah. Peluh bercucuran di sekujur tubuhnya, senyumnya berseri-seri. Pakaian yang dikenakannya adalah kostum senam yang dimodifikasinya sendiri.

"Enak banget ya abis senam yoga pagi begini ! Tubuhku jadi segar, kulitku pun kelihatan lebih merona..." Citra merasa puas. Disekanya peluh di dahi dengan sehelai saputangan sutra.

Gerakannya terhenti ketika ia menyadari kedua pelayannya dilanda shock. Mereka terpaku memandanginya dengan tatapan horor.

Citra terbahak geli ketika ia menyadari situasinya. Kedua gadis pelayan dari jaman kuno itu, tentu tidak pernah melihat seorang putri kerajaan memakai kostum senam, jungkir balik dan salto di udara. Terlebih seorang Galuh Citrawani yang terkenal lemah lembut dan sangat feminin.

"Sekar, Gentini, maaf yaa bikin kalian shock...Hahahaha...." Galuh Citrawani tidak bisa berhenti tertawa.

Sekar dan Gentini hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Sejak terbangun dari pingsan, tuan putri mereka berubah menjadi lain sama sekali. Lebih lincah dan gesit. Sering mengucapkan kata-kata aneh. Ini pasti akibat dari lupa ingatan.

Meski junjungannya telah berubah, kedua pelayan itu dengan setia dan tabah tetap mematuhi dan menuruti setiap perintah Galuh Citrawani.

"Tuan putri, ini kembang harum yang anda minta. Hamba akan suruh pelayan belakang untuk menyiapkan air mandi sekarang."

"Air panas jangan terlalu banyak, hangat kuku saja. Tambahkan segenggam garam dapur yang kasar. Setelah itu baru taburkan bunga di atasnya ya."

"Baik, tuan putri."

....

"Ini namanya mandi spa, Sekar. Kamu lihat itu bunga melati, cempaka, kenanga, mawar dan irisan pandan wangi ini... ini bisa bikin badan segar dan pikiran rileks .."

"Mandi...apa?"

"Mandi spa, Gentini." Citra terkikik geli. Menjelaskan berbagai 'budaya' jaman modern kepada orang kuno, sangat menghibur. Citra sangat menikmati ekspresi heran, bingung campur melongo di wajah mereka. Ini selingan baginya di antara kemonotonan gaya hidup kuno yang membosankan.

Di saat udara peralihan senja ke malam yang dingin, memang sangat nikmat berendam air hangat bertabur bunga. Citra menyandarkan kepalanya di tepi kolam kecil, tubuhnya yang hanya berbalut selendang tipis terasa nyaman berbaring. Air hangat yang wangi memenuhi kolam hingga sebatas lehernya.

Citra bernyanyi-nyanyi kecil sambil memejamkan mata. Lagu lama 'melati dari jayagiri' yang menjadi favoritnya sejak kecil.. Citra diajari lagu ini oleh mendiang neneknya. Ia diajari juga memainkan beberapa alat musik klasik, seperti biola, suling dan harpa.

Ia, Citra Kartika, adalah anak tunggal. Cucu tunggal pula, karena ibunya putri semata wayang dari seorang seniman yang terkenal. Sayang, ibunya meninggal ketika melahirkan, sehingga ia diasuh oleh kakek neneknya.

Sejak kecil, Citra tidak mengenal ayahnya.

Ia pernah begitu menggebu ingin bertemu ayahnya. Pertama kali Citra dibawa ke rumah ayahnya, saat ia berusia 5 tahun. Ayahnya yang telah menjadi milik dari keluarga barunya, keluarga politik kelas atas.

Setelah dewasa, Citra memahami dunia politik. Politik itu kejam, membunuh orang tanpa perlu berdarah. Yang dibunuh adalah karakternya. Demi untuk melindungi karir politik ayahnya, Citra harus menjadi keponakan dari ayah kandungnya sendiri.

Itulah sebabnya kenapa Citra memilih untuk masuk akademi polisi, ketika ia lulus sekolah menengah. Ia ingin tampil di medan terdepan, menangkap penjahat dengan berani, dengan senjata di tangan. Ia ingin menunjukkan sisi dirinya yang bertolak belakang dengan ayahnya.

Semua yang pernah diusulkan ayahnya, ia lakukan sebaliknya. Dan ia cukup puas dengan dirinya sendiri.

Ia tumbuh menjadi pemberontak, pemberani, pribadi yang tangguh dan belum pernah terkalahkan di bidang apapun yang ia geluti. Dan itu untuk menunjukkan pada ayahnya, bahwa ia, putri yang tidak diakui, lebih bisa diandalkan daripada putra kebanggaan yang disanjung-sanjung sang ayah.

....

Raden Suryapaksi memasuki istana keputrian, menuju kediaman Citrawani. Ia menyuruh pengawalnya menunggu di depan pintu gerbang. Ia dengan pasti langsung melangkah ke belakang, ke taman permandian, di mana Citrawani tengah berendam air hangat bertabur bunga.

Para penjaga keamanan wanita diberi isyarat agar tidak mengumumkan kedatangannya. Sekar dan Gentini yang menunggui majikannya di balik tirai bambu, terkejut dengan kedatangan Raddn Suryapaksi. Tetapi mereka terpaksa menutup mulut dan pergi menjauh setelah diperintah melalui isyarat mata.

Suryapaksi melangkah pelan-pelan menghampiri. Citra berbaring di kolam, membelakangi arah masuk. Gadis itu memejamkan mata sambil menyanyi. Suryapaksi mengerutkan alisnya. Suara gadis itu merdu, alunan nada yang dinyanyikannya terdengar aneh dan asing, tetapi enak didengar.

"Siapa kamu?" Citrawani tiba-tiba membentak. Tanpa mengubah posisinya, ia membuka mata dan memutar kepalanya. Gadis itu terkejut melihat seorang laki-laki. Orang itu dengan percaya diri melipat tangan di dada, berdiri bebarapa langkah di sana sembari memandanginya.

Sraaasshh!!

Citrawani meloncat seperti terbang dari kolam, menyambar kain yang ditumpuk di samping pemandian lalu ditutupkan di tubuhnya. Semua itu ia lakukan hanya dalam hitungan detik.

"Sekar, Gentini !" teriak Citra. Tetapi kedua pelayannya itu tidak kunjung datang. Citra menggertakkan giginya, geram. Entah apa yang dilakukan lelaki ini pada kedua pelayannya.

"Siapa kamu?" ulangnya pada orang asing yang masih menatapnya, kali ini pandangan lelaki itu berubah . Pandangan orang yang shock, seperti pandangan pelayan-pelayannya. Tetapi hanya sekejap. Beberapa saat kemudian, pandang mata lelaki itu kembali dingin dan skeptis.

"Oh, kamu tidak mengenaliku? Jadi benar kata-kata orang, kamu mengalami lupa ingatan?"

"Huh, buat apa aku mengenalmu? Kamu lelaki mesum, penyusup ! Beraninya memasuki kolam mandi keputrian dan mengintip istri putra mahkota yang sedang mandi ! Beraninya kamu !"

"Kenapa aku tidak berani?"

"Kamu cari mati!"

"Siapa yang berani menghukum aku?"

"Memangnya kamu raja? Tidak ada yang berani menghukum kamu, katamu? Kalau begitu biar aku yang menghukummu !" Dengan marah, Citra meraih sebuah nampan perak yang ada di sisi kolam lalu dilontarkan. Benda itu berdesing dan mengarah pada lelaki itu dengan teknik pelempar senjata rahasia yang akurat.

Suryapaksi menyambut lemparan 'senjata' itu dengan sebelah tangan. Nampan itu lalu ia banting hingga penyok di lantai batu.

"Citrawani, beraninya kamu menyerangku!"

"Kamu melakukan pelanggaran berat ! Raden Suryapaksi tidak akan mengampunimu !"

"Oh, kamu ingat yang mana namanya Raden Suryapaksi?"

Tatapan lelaki itu seperti mengejeknya. Citrawani panas. Ingin dirinya mengiyakan. Tetapi ia tidak bisa berbohong. Dengan kesal, ia mendengus.

"Huh ! Ada urusannya hal itu denganmu!?"

"Tentu saja ada. Karena akulah Jayanti Suryapaksi!"

"Apa?"

Citrawani terbelalak. Rahangnya terbuka. Dengan setengah tak percaya, ia menatap lelaki di depannya lekat-lekat.

"Kamu..kamu..Raden Suryapaksi?"

Dan Citrawani baru menyadari, pakaian yang dikenakan lelaki ini mewah, lain dari orang biasa. Jadi ini Raden Suryapaksi, putra raja yang menjadi suaminya? Tanpa sadar Citrawani mengamati lelaki itu dari kepala hingga ke kaki dengan rasa penasaran.

"Bagaimana? Kamu sudah menyadari siapa aku? Aku Raden Jayanti Suryapaksi, suamimu, Galuh Citrawani Diah Paramhita!"

"Aa..iya. aa aku tidak tahu kalau kamu adalah...su maksudku, Raden Suryapaksi..." Citrawani gugup. Diam-diam ia merutuki dirinya sendiri. Kenapa harus gugup? Apakah karena menyadari kalau dirinya telah kelepasan tangan menyerang suaminya sendiri? Atau karena tatapan mata lelaki yang setajam elang Amerika ini serasa menembus tulang ?

"Maafkan hamba, hamba benar-benar tidak mampu mengenali kakanda Raden, karena hamba... mengalami amnesia, lupa ingatan."

Citrawani mencakupkan kedua tangannya dan menyembah. Ia dengan fasih segera mengubah gaya bicaranya yang lugas dan kasar menjadi penuh hormat.

Suryapaksi berdehem.

"Hm, jadi kamu sama sekali tidak ingat dengan semua masa lalumu? Juga kenangan masa kecil kita?"

"Tidak ingat sama sekali. Tetapi hamba malah bersyukur. Karena dengan melupakan masa lalu, hamba terhindar dari kekecewaan. Dengar-dengar , seseorang kabarnya juga melupakan jodoh masa lalu , padahal tidak mengalami benturan di kepala." Sindir Citrawani.

"Hm, aku baru tahu kalau lupa ingatan juga bisa membuat seseorang menjadi lebih pintar bersilat lidah, " Suryapaksi balas menyindir.

"Yah, begitulah kakanda. Bahkan lebih dari itu. Hamba mohon kakanda tidak akan kaget melihat begitu banyak perubahan, karena anda sendiri telah berubah banyak. Kakanda mungkin harus belajar dulu untuk menghadapi diri sendiri sebelum mengkritik orang lain."

"Pintar!" dengus Raden Suryapaksi. "Jika aku tidak melihat dan mendengar sendiri, aku tidak akan percaya ini kata-kata kamu, Citrawani."

Citrawani tersenyum.

"Ampuni hamba, kakanda. Tetapi dunia ini sudah mengajarkan banyak hal kepada hamba. Seorang joker yang jahat berasal dari orang baik yang tersakiti. Hamba bersyukur belum menjadi orang jahat."

"Kamu merasa tersakiti, Citra? Kamu pikir aku menyakitimu?"

"Hamba tidak ingat lagi, kakanda. Semua yang hamba ketahui sekarang, berasal dari penuturan orang lain, terutama pelayan hamba."

"Dan apakah yang dituturkan mereka tentang diriku, Citrawani?" Raden Suryapaksi mendekat perlahan, sembari menatap Citrawani, mengintimidasi.

Citrawani memegangi kain yang menyelubungi tubuhnya erat dan reflek melangkah mundur. Suryapaksi tidak menghentikan langkahnya. Ia mengungkung Citrawani yang tersudut di antara tubuhnya dan tembok pembatas taman pemandian.

"Apakah mereka menceritakan pernikahan pertamaku yang belum menghasilkan keturunan? Dan memintamu untuk segera membuat bayi denganku? Untuk itukah kamu mandi kembang di waktu sandikala begini?"

"Apa sih? Menjauhkan sedikit, Kakanda Suryapaksi !" Citrawani mendorong dada lelaki itu dengan sedikit ragu. Tetapi otot dada itu tebal dan kokoh seperti otot binaragawan.

"Bukankah ini yang kamu inginkan, Citrawani? Kamu ingin mempersembahkan cucu untuk ayahanda? Kalau memang itu yang kamu inginkan, aku akan memberikannya ! Aku akan memuaskanmu, asalkan kamu tidak mencari masalah dengan dinda Sundari."

"Hummh, kakak mengadu pada anda secepat itu?" Citrawani tersenyum, tatapan melecehkan sengaja tidak ia sembunyikan dari matanya. "Apalagi yang kakak katakan, kakanda? Tidakkah ia meminta anda untuk meninggalkan hamba secepatnya?"

"Jangan mengatakan hal buruk tentang Sundari seperti itu, Citrawani ! Dia tidak serendah yang kamu pikirkan. Apa kamu sengaja bertingkah laku seperti ini, untuk menarik perhatianku? "

"Menarik perhatianmu? Buat apa, kakanda? Apakah anda pikir, semua wanita di dunia ini ingin sekali mendapatkan perhatian anda?"

Suryapaksi menatap tajam Citrawani. yang dibalas gadis itu dengan lebih tajam dan berani.

"Apakah kamu tidak? Siapa yang dulu memohon kepadaku untuk tidak memutuskan tali pertunangan? Aku tahu kamu tidak ingin melepaskan status istri putra mahkota ! Aku tahu, yang kamu inginkan adalah melahirkan penerus kerajaan ini! " Lengan Suryapaksi terulur, hendak meraih Citrawani dengan kasar.

Tetapi gadis itu lebih cepat, menepis tangan Suryapaksi, lalu menyelinap seperti belut di celah yang tercipta antara dirinya dan lelaki itu. Dengan kemampuannya yang tinggi, dalam beberapa detik Citrawani telah menjauhkan dirinya dari suaminya.

"Maafkan hamba harus mengecewakan kakanda, tetapi apa yang kakanda katakan tidak sesuai dengan isi hatiku. Maaf, hamba pamit dulu," tanpa menunggu jawaban, Citrawani melesat pergi dari taman permandian.

Di luar taman, dengan lincah ia meloncat dari satu dahan pohon ke dahan berikutnya, hingga sampai di depan kamarnya. Citrawani menyelinap masuk tanpa diketahui oleh beberapa pelayan yang masih beraktivitas di kediamannya.

Terpopuler

Comments

R⃟ Silu ✰͜͡w⃠🦃🍆(OFF)

R⃟ Silu ✰͜͡w⃠🦃🍆(OFF)

baru disini tokoh ceweknya kuat tidak mudah ditindas dan nangisan

2022-02-20

2

el_shiraz

el_shiraz

suka klau MC ny g lembek,,👍

2022-02-11

1

Charli Apriani

Charli Apriani

bagus...jgn mw ditindas citra..

2022-02-05

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!